Mahasiswa UI yang nggak bawa kendaraan ke kampus dan terpaksa jalan kaki pasti tau Jembatan Aborsi, deh.
Universitas Indonesia adalah satu nama kampus yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Satu nama kampus yang dianggap sulit untuk “dicapai” karena ujian masuknya yang juga tak mudah. Saya sungguh beruntung bisa diterima di kampus tersebut dan menjadi salah satu mahasiswanya. Begitu merasakan secara langsung bagaimana rasanya menjadi mahasiswa pemegang Jaket Kuning, saya lantas mengamini betapa besar perjuangan yang perlu dilakukan untuk bisa “survive” di UI.
Akan tetapi, perjuangan yang saya maksud di sini nggak cuma berkaitan dengan tugas atau pekerjaan akademik yang perlu dilakukan, melainkan juga perjuangan di luarnya. Bagi mahasiswa UI yang nggak memiliki kendaraan pribadi dan mesti berjalan kaki ke area kampus, tentu sudah akrab dengan Jembatan Aborsi. Menurut saya, jembatan ini merupakan contoh paling nyata dari beratnya perjuangan mahasiswa UI.
Daftar Isi
Apa sih Jembatan Aborsi Itu?
Untuk masalah penamaan, sejujurnya saya kurang mengerti kenapa bisa dinamakan Jembatan Aborsi. Namun kalau kalian memperhatikan rupanya, kalian pasti langsung bisa menerka-nerka dan membuat kesimpulan sendiri.
Jadi, Jembatan Aborsi adalah sebutan bagi jembatan penyeberangan orang (JPO) yang menghubungkan wilayah Barel dengan wilayah UI. Mengapa perlu menggunakan JPO? Ya karena di bawah Jembatan Aborsi terdapat lintasan rel dari Stasiun Universitas Indonesia. Kalau nggak pakai JPO, badan kalian akan auto berciuman dengan kereta api.
Jembatan Aborsi ini biasa dipakai mahasiswa yang datang dari arah Margonda dan ingin masuk ke wilayah UI dengan berjalan kaki. Untuk mencapainya, kita perlu melewati Barel, baru kemudian melewati Jembatan Aborsi yang sungguh terkenal itu.
Percayalah, Jembatan Aborsi merupakan jembatan penyeberangan paling menyiksa yang pernah saya naiki. Lantaran di bawahnya terdapat lintasan kereta api, maka JPO tersebut dibuat dengan tinggi yang lumayan menjulang agar nggak terkena badan kereta api. Oleh sebab itu, bagi para pejalan kaki, Jembatan Aborsi adalah mimpi buruk karena jumlah anak tangganya yang sangat banyak. Saya nggak bohong.
Baca halaman selanjutnya
Populer di kalangan mahasiswa UI yang “miskin”…
Populer di kalangan mahasiswa UI yang “miskin”
Kalau kalian berpikir bahwa semua mahasiswa UI itu kaya-kaya dan berdompet tebal, kalian salah besar. Banyak juga, kok, mahasiswa yang kantongnya tipis dan harus merasakan kehidupan ala anak kos yang pas-pasan. Mahasiswa yang setiap hari makan di warteg dengan lauk yang nggak jauh dari tempe, tahu, ataupun telor dadar, lalu di akhir bulan jadi mesti makan mi instan dengan tambahan promag, dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah saya. Hehehe.
Oleh sebab itu, saya layak digolongkan ke dalam mahasiswa UI yang “miskin”. Terlebih, saya nggak memiliki kendaraan, sehingga sudah menjadi rutinitas saya untuk melewati Jembatan Aborsi. Sebelum kalian berpikir saya lemah dan melebih-lebihkan “kedahsyatan” Jembatan Aborsi, mending buka media sosial, deh. Di sana, kalian akan menemukan banyak meme atau video lucu yang menunjukkan potret “mahasiswa miskin” UI tengah berjuang di atas Jembatan Aborsi. Jadi, saya memang nggak lebay, kok, banyak juga yang ingin “curhat” tentang Jembatan Aborsi.
Alih-alih tersinggung, saya justru tertawa terbahak-bahak setiap menemukan konten-konten semacam itu. Dengan begitu, saya jadi paham bahwa bukan cuma saya yang harus mengalami penderitaan itu. Masih banyak mahasiswa “miskin” lainnya yang senasib dengan saya.
Contoh nyata beratnya perjuangan kuliah di UI
Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, mungkin bisa dibilang tingkat kesulitan dunia perkuliahan saya nggak seberat jurusan lain seperti Teknik, Hukum, atau bahkan Kedokteran. Walau nggak seberat prodi-prodi tersebut, bukan berarti saya bisa melewati masa-masa kuliah ini dengan mudah. Ada kalanya saya mesti begadang karena ngerjain tugas, juga tak jarang dibuat pusing karena nggak tahu menyelesaikan tugas yang diberikan para dosen.
Nah, selain perjuangan “di depan layar” tersebut, ada perjuangan lain yang mesti saya lalui, salah satunya adalah melewati Jembatan Aborsi tadi. Coba bayangkan: setiap akan pergi kuliah, saya harus melewati Jembatan Aborsi, terkadang sambil membawa laptop dan buku-buku pula di dalam tas. Kemudian, ketika hendak pulang, saya juga harus kembali melewati rute yang sama, lengkap dengan beban di dalam tas dan tubuh yang lelah setelah dihajar dengan materi-materi kuliah sepanjang hari. Terbayang kan perjuangan saya kuliah di UI?
Jadi, buat adik-adik yang sebentar lagi masuk ke UI dan menjadi mahasiswa di sini, ketahuilah bahwa kuliah di UI nggak melulu hal-hal keren kayak foto di depan Rektorat atau merasakan pakai Jaket Kuning. Ada juga kisah pilu soal menaiki Jembatan Aborsi yang bagi saya merupakan contoh nyata perjuangan berkuliah di UI.
Akhir kata, izinkan saya menutup tulisan ini sampai di sini saja. Saya mau mempersiapkan diri dan mental dulu karena sebentar lagi saya akan menaiki jembatan tersebut.
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Intan Ekapratiwi