“Maka, yang dibutuhkan adalah semacam buku babon, Kin, tentang apa yang terjadi sebelum dan sesudah Oktober ’65.” Bisik Cak Narto.
Malam ini para pemuda melakukan semacam syukuran di halaman rumah Dhe Kosim, mantan Jagabaya desa yang juga mantan pemain voli kenamaan. Syukuran itu untuk merayakan kemenangan tim bola voli karang taruna kampung pada pertandingan yang diadakan di lapangan belakang Koramil sore tadi. Setelah semua meninggalkan tempat, tinggal Solikin dan Cak Narto yang tersisa di sana.
“Buku tentang itu sudah banyak, Cak. Dari sejarawan lokal seperti Asvi Warman Adam, Nugroho Notosusanto dan Hilmar Farid, sampai yang internasional macam Ben Anderson, John Roosa, dan Rex Mortimer.” Suara Solikin tak kalah lirih.
“Terus?”
“Ya, ngapain kita nyusun buku baru dari sesuatu yang sudah gamblang seperti itu? Apalagi, Cak, kalau yang bikin buku itu pemerintah, nanti narasinya akan didominasi dan disetir oleh mereka. Dan fakta-fakta akan dikaburkan lagi, seperti di buku pelajaran sejarah Orde Baru itu.”
“Iya, aku tahu, Kin. Tapi gini, bahwa penumpasan anggota PKI dan orang-orang yang yang dituduh sebagai anggota PKI itu terjadi begitu masif, aku setuju. Dan sudah sepatutnya kita mengutuknya. Tetapi, apa yang terjadi pra-65 juga harus dibuka selebar-lebarnya. Dibedah dan dianalisis bersama, sehingga menjadi terang benderang apa yang melatarbelakangi tragedi kemanusiaan itu. Apa yang membuat sesama rakyat dengan mudah saling bunuh.”
“Propaganda, Cak. Apalagi, coba?” Lempang suara Solikin.
“Propaganda jelas berperan, Kin. Tapi, kan tidak mungkin serta merta membuat apinya membara begitu tinggi, jika sebelumnya tidak ada bara yang mendekam di dalam tumpukan sekam sejarah.”
“Menurut beberapa sejarawan, Cak, tragedi itu memang berkelindan dengan situasi Perang Dingin dan intrik di internal Angkatan Da…”
“Sik, sebentar, jangan ke arah sana dulu…” Cak Narto memotong, “…yang banyak diabaikan adalah fakta bagaimana pola agitasi PKI di tahun-tahun sebelum meletusnya tragedi itu, Kin. Betapa arogan dan serampangannya narasi-narasi PKI di sini, di desa-desa begini…”
“…itu yang membuat perdebatan tentang ‘65 menjadi mandeg dan tidak pernah klir. Padahal, jika permasalahannya ditelaah lebih detil, jelas akan ketemu alasan kenapa sampai ada sesama saudara sampai tega membunuh hanya karena berbeda pandangan. Apalagi cuma pandangan politik. Menurutmu orang-orang di desa begini apa peduli tentang politik praktis dan situasi internasionalnya?” Cak Narto mulai beretorika.
“Emmm… oportunisme, Cak, dari segelintir orang dan beberapa Jenderal Angkatan Da…”
“Lho, iya…” Cak Narto memotong lagi, “…propaganda, oportunisme dan dendam yang melatari tragedi itu memang nyata adanya, Kin. Tapi gini, balik lagi, ya, bahwa semua itu tidak akan bekerja semengerikan itu kalau tidak ada pemicu-pemicunya. Yang sudah sejak lama tertanam di tataran bawah.”
Solikin bergeming, hanya tangannya yang sibuk mengeluarkan biji kedelai rebus dari kulitnya. Suara kentut mereka berdua sesekali terdengar bersahutan.
“Tapi menurutku, Cak, negara tetap berutang maaf kepada korban tragedi ’65 dan tertuduh simpatisan PKI. Juga kepada keluarga mereka yang harus menanggung beban stigma yang berbuah kesulitan-kesulitan hidup setelahnya…” Solikin menatap kosong ke arah langit malam.
“Jelas itu, Kin. Aku setuju. Agar tidak terjadi repetisi narasi berita tiap tahun menjelang bulan Oktober. Juga agar isu seperti ini tidak lagi digunakan sebagai anak tangga kepopuleran para politisi tengik.” Timpal Cak Narto.
“Repetisi yang mana, Cak?”
“Lho itu tadi, tho… Pak Mantan Jenderal yang tadi kamu bilang sedang nggoreng isu komunisme ke publik. Tiap tahun kan selalu ada, tuh. Kalau tidak dari golongan kanan, ya pasti datang dari mantan jenderal yang sudah mulai nggak relevan di mata publik lagi.”
“Oooo…” Anggukan Solikin diiringi kepulan asap dari mulutnya, “…tapi kok ya ada ya, Cak, orang-orang yang tega menunggangi isu seperti ini untuk sebatas kepentingan popularitas politik?”
“Ya karena mereka tidak punya kompetensi lain, Kin. Makanya mereka memilih jalan merawat romantisme ketakutan masa lalu. Harapannya dengan begitu dia akan dianggap tetap relevan keberadaannya di mata publik. Dianggap bisa berguna. Dan, itu adalah senista-nistanya manuver seorang figur publik.” Seperti tidak ingin mendengar tanggapan, Cak Narto melengos mengatakan kalimatnya.
“…agar generasi di masa depan tidak buta terhadap masa lalu memang kita harus mengingat petuah Bung Karno, Kin. Jas Merah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah…”
Langit mulai mendung. Hujan akhir September bersiap menghajar desa. Mereka berdua berdiri.
“…tapi selain itu, Kin, kita juga butuh Baju Putih: Belajar, Maju, Pun Terlatih. Dengan cara rekonsiliasi bangsa yang bertujuan menyusun buku babon sejarah pra dan pasca ‘65. Yang ditulis secara adil dan rendah hati. Supaya sejarah itu dapat dipelajari oleh generasi di masa depan agar mereka tetap bergerak maju dan akhirnya terlatih mempersetankan pihak-pihak oportunis yang tiap tahun rutin menggoreng isu komunisme itu. Dan terlatih membaca arah bandul sejarah, bagaimana harus bersikap dan mengambil keputusan bersama.”
“…aishh, kalimat Sampean ngglambyar, Cak. Sampean emang nggak cocok jadi orator apalagi politisi.” Solikin terkekeh.
Keduanya meninggalkan halaman rumah Dhe Kosim setelah membantu meringkasi piring, gelas, dan sampah-sampah.
***
Hujan yang reda menjelang subuh menyisakan kawanan kodok sawah yang bersahutan. Diiringi gemericik air dari selokan menuju sawah, mereka berdengkang seolah berdebat.
“Lima ratus ribu jiwa…” suara sumir kodok di ujung pematang.
“Dua juta nyawa…” balas yang lain.
“Disembelih…” suara lain dari tengah sawah.
“Diberondong peluru…” timpal yang lain.
“Nyawa-nyawa…jiwa-jiwa…angka-angka… perbincangan tak pernah bermakna. Para oportunis menjejalkan ketakutan, retorika, dan romantika. Entah sampai kapan akhirnya.” Dengkang lantang seekor kodok hijau yang terlihat putus asa.