Sebagai pemuda yang belum jadi orang tua, tentu saya tak berani berkomentar miring soal Bu Megawati yang tak mau punya menantu tukang bakso. Setiap orang tua tentu boleh memiliki kriteria mantu yang ia inginkan untuk mendampingi putrinya. Apalagi ini adalah keluarga yang berisi orang-orang hebat.
Bu Megawati bukan tokoh sembarangan, ia adalah tokoh besar yang tak pernah lupa menjunjung tinggi sejarah ayahnya. Soal apa kehebatan dirinya sendiri, entahlah saya kurang tahu. Oleh karena itulah, ia tentu tak sembarangan bikin pernyataan semacam itu.
Saya yakin Bu Megawati bukanlah orang yang asal ngomong ngawur, kemudian berharap semua orang setuju dengan dirinya. Sejak awal ia sadar bahwa apa pun yang diomongkan dirinya bukan kaleng-kaleng. Dengan gaya yang tangkas dan penuh percaya diri, ia dengan lugas berpidato di mana pun itu tanpa rasa takut. Segala yang diucapkan blio mengisyaratkan kemegahan dan kecerdasan. Bayangkan saja, punya 11 gelar doktor, sudah pasti ucapannya punya dasar akademis yang bisa dipertanggungjawabkan ke publik. Secara blio adalah ketua dewan pengarah BRIN.
Memang sudah seharusnya kita menyadari hal itu sejak awal. Blio adalah seorang cerdas yang bukan hanya punya banyak gelar. Ia adalah orang yang pantang menyerah. Bayangkan, dapat gelar S1 di satu jurusan saja sulit bagi banyak orang. Blio justru seperti hobi mencari gelar. Sungguh inspiratif. Hal ini sudah seharusnya menjadi bukti bahwa Ibu Megawati tak asal bicara dan ngawur. Dengan semua gelarnya, tak mungkin ada kalimat buruk yang keluar dari pita suaranya yang merdu dan berwibawa.
Banyak juga yang menganggap bahwa ibu kita semua ini sangat borjuis dan merasa lebih tinggi dari kaum lain. Tapi, ini masalah kriteria, Bung! Terserah blio mau bikin kriteria seperti apa pun. Apalagi partai miliknya sering mengaku sebagai partai pembela wong cilik. Ini terlihat di banyak baliho, poster, bahkan pidato para anggotanya.
Meski, mengaku membela dan benar-benar berada di pihak rakyat, adalah dua hal yang sangat berbeda.
Oleh karena itu, tak mungkin Bu Megawati menghina tukang bakso, sebuah profesi yang halal, juga mulia. Bisa saja blio kurang sreg dengan tukang bakso karena partai miliknya bergambar ruminansia juga. Secara bakso dibikin dari spesies yang tak jauh berbeda dengan banteng. Atau bisa saja blio tak suka bakso sejak dahulu kala. Saya sering menemui manusia-manusia antibakso. Atau kemungkinan yang paling masuk akal adalah: punya trauma. Entah karena pernah keselak atau kelolodan bakso, atau justru Mbak Puan yang pernah kecelakaan seperti itu saat kecil. Ah, intinya kita tak pernah benar-benar tahu.
Memang, banyak dari kita yang sangat tak terima dengan pernyataan blio. Kita semua tahu, tukang bakso tanpa HT jauh lebih dibutuhkan daripada sebuah partai maupun seorang politikus. Di taman-taman, pasar, mall, sekolah, perkotaan, pedesaan, mereka semua ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Tukang bakso juga tak pernah menjual aset negara, dan kena operasi tangkap tangan KPK. Jadi, apa salahnya profesi tukang bakso? Atau pertanyaan yang paling penting adalah, emang ada tukang bakso yang mau jadi menantu Bu Megawati?
Eh, ya pasti ada, lah. Anak proklamator, je!
Ini juga bukan polemik pertama yang timbul dari pidato blio. Banyak banget hal yang dianggap blunder oleh banyak orang terkait pidatonya. Ada yang bilang tak berempati, rasis, tak paham soal kebangsaan, dan lain sebagainya. Tapi itu hanya tuduhan, dan saya yang tak berpendidikan tinggi ini nggak berani ikut berpendapat. Saya tak pernah mengerti dan paham apa yang Bu Mega sampaikan dalam pidatonya. Saya tak sehebat anggota-anggota partainya yang selalu tertawa ngakak pada setiap jokes yang blio keluarkan.
Mungkin karena pidato orang-orang pintar tak pernah terasa jelas maksudnya bagi orang awam seperti saya. Yah, blio hanya benar-benar cerdas kepolen saja, sundul langit.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGAÂ Mendukung Ide Hebat Rompi Penangkal Korupsi Ciptaan KPK