Menurut pengamatan saya, memanjakan kucing liar dengan makanan, baik berupa makanan manusia atau makanan khusus hewan peliharaan, adalah bentuk pembunuhan karakter. Kucing juga berhak untuk berkembang, mereka perlu a very particular set of skill untuk bertahan hidup di alam bebas. Memberi makan kucing tanpa niat untuk mengadopsinya adalah sikap yang keliru sekaligus salah.
Ini bukan hanya perkara alasan klasik tentang memberi makan kucing liar, akan datang segerombolan lainnya esok hari seperti yang ditulis Mbak Reni Soengkunie beberapa waktu lalu. Detik pertama si kucing mau mendekat pada manusia dan mencicipi makanan dari manusia, detik itulah si kucing jadi lemah. Harga diri dan kehormatannya hancur karena telah ia gadaikan demi sesuai nasi atau ayam yang diberikan oleh manusia gagal paham. Begini, saya jelaskan dulu pelan-pelan, dengan sangat hati-hati dan perlahan.
Apakah kalian pernah memperhatikan kucing rumahan yang pergi dari rumah, lalu suatu saat ia pulang dengan langkah terseok, napas tersengal, sekujur badan penuh luka dan korengan? Bahkan, ekstremnya si kucing bisa pulang dengan kaki pincang dan mata buta sebelah. Rasa ngilu dan hancur perasaan seperti itulah yang saya rasakan ketika melihat kucing adopsi saya bersama sepupu pertama kali pulang setelah sempat hilang satu bulan.
Kami tidak menelantarkan si kucing, kalau kalian berpikir kami kejam karena kurang ngasih makan sampai-sampai si kucing minggat tidak karuan. Malahan makanan kucing kiloan yang kami berikan tiap hari selalu bersisa, tapi toh kucing itu tetap bosan dengan kehidupan rumah tangga. Mungkin ia berpikir untuk mencari kucing liar lain yang selalu ia lihat di halaman belakang rumah. Oh, sungguh bebas, pikirnya.
Akan tetapi, kucing kami lupa bahwa ia bukan kucing liar lagi. Ia lupa bahwa perutnya sudah gendut tidak ketulungan. Lari keliling rumah saja boleh jadi ia sudah ngos-ngosan. Ia sudah lemah, tidak segarang dan perkasa seperti dulu di kala muda. Maka, sekali saja pergi agak jauh dari rumah, ia lupa jalan pulang, tak tahu caranya cari makan, bahkan tak kuasa mengejar tikus got obesitas. Akhirnya, ia hanya jadi sasaran empuk perundungan kucing lain yang lebih liar, lebih ganas, dan lebih buas.
Jadi, detik pertama kalian memberi makan pada kucing liar, detik itulah kalian harus bertanggung jawab untuk mengadopsi kucing tersebut sebagai kucing rumahan. Memberi makan kucing liar tanpa mengadopsinya akan mengganggu siklus hidup si kucing liar. Mereka akan kehilangan kemampuan dasar untuk bertahan hidup di alam liar.
Kita tidak pernah tahu betapa nelangsanya hidup mereka selama ini. Kucing yang juga mengalami segala ketidakberuntungan seperti manusia, mereka di-bully oleh kucing yang lebih kuat, direbut makanannya, mendapatkan sexual harassment yang tak berkesudahan, hingga mempertaruhkan nyawa untuk sekadar menyeberang di jalan raya manusia.
Lantas, bagaimana solusinya? Komunitas pencinta kucing Indonesia harus mendesak Pak Presiden untuk menyediakan satu pulau khusus untuk para kucing. Belajarlah dari dua pulau kucing di Jepang yang sempat viral, Aoshima dan Tashirojima. Pulau khusus ini saya yakini dapat menjadi salah satu destinasi wisata otentik yang akan meningkatkan geliat pariwisata turis lokal dan internasional pasca-pandemi.
Oleh karena itu, jalan pikiran yang benar bukanlah galang donasi untuk kucing liar, tetapi mencari adopter yang bersedia bertanggung jawab atas kemaslahatan harian si kucing. Adopter yang mampu memberi makan dan rumah yang layak, serta mengajarkan skill baru agar si kucing tidak buang kencing dan berak sembarangan. Selain itu, tentu saja dapat memberikan fasilitas sterilisasi pada si kucing, baik berupa orchiectomy, kastrasi, kebiri, maupun ovariectomy dan ovariohysterectomy.