Jadi orang yang baik, itu bagus. Namun, jadi orang yang terlalu baik, tidak. Dan yang lebih buruk ketimbang itu adalah jadi orang yang terlalu baik di Jakarta.
Di Jakarta, terutama di lingkungan kerja, jadi orang yang terlalu baik akan bikin hidupmu kesusahan. Anda bisa jatuh ke lubang hitam “people pleaser”. Keluar dari lubang, takut karier kenapa-kenapa, nggak keluar kok hidup susah.
Orang-orang Jakarta (tidak semua, tapi mayoritas yang saya temui) suka sekali dengan orang yang suka menolong ini. Karena bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Jahat memang kalau dibayangkan, tapi kenyataannya banyak yang seperti itu di Jakarta. Saya yakin, di kota lain pun begitu.
Memang secara tindakan, “people pleaser” ini terlihat sama dengan seseorang yang “being nice”. Letak perbedaannya hanya dapat dilihat pada motif melakukan kebaikan itu.
Dilansir dari situs James Madison University, people pleaser adalah orang-orang yang cenderung melakukan sesuatu untuk menyenangkan orang lain dengan menjadi individu yang paling bisa membantu. Sikap ini hadir karena seseorang “terpaksa” atau “dipaksa” oleh lingkungannya untuk menjadi penurut, nggak enakan, pekewuh ketika menolak permintaan seseorang. Biasanya perilaku ini dilandasi karena khawatir atau takut akan konsekuensi-konsekuensi buruk yang bisa saja diterima ketika menolak. Misalnya, takut dianggap jahat, takut karena nggak disukai, takut nggak dianggap teman, atau takut karena ada tekanan atas relasi kuasa.
Sementara being nice sendiri adalah sikap baik seseorang yang secara motif memang datang dari diri sendiri. Mereka melakukan kebaikan atau menolong seseorang ya karena mereka mau dan mampu. Tidak ada intervensi apa pun dari sisi eksternal dirinya. Tindakannya pun dilandasi bukan karena kekhawatiran atau takut, tapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya positif.
Di Jakarta, sering kali saya melihat teman-teman yang bekerja di bidang kreatif diminta membantu pekerjaan atau aktivitas yang nggak ada hubungannya dengan pekerjaan inti mereka. Bahkan untuk hal-hal sepele seperti diminta beli makanan. Nasib baik kalau duitnya diganti, ini kadang nggak diganti.
Waktu kerjanya bisa terbolak balik karena keseringan dimintai tolong, baik dari teman kerja, saudara, maupun senior. Jam kerja yang harusnya dibuat ngerjain tugas-tugas pekerjaan yang sudah deadline, eh malah dibuat bantuin ngerjain desain atau project dari orang lain sehingga kerjaannya diselesaikan saat malam hari yang harusnya dibuat istirahat.
Jika sikap terlalu baik karena nggak enakan, penurut, dan pekewuh ini dilakukan terus menerus, dampaknya bisa sangat buruk bagi kesehatan mental. Kita jadi selalu overthinking dengan persepsi orang, otak dan hati nggak akur karena nggak sejalan. Otak ingin kita cepat nyelesain kerjaan, menyusun target hidup, atau sekadar istirahat dalam berpikir. Tapi, dorongan hati ingin kita menolong mereka karena ketakutan akan konsekuensi-konsekuensi buruk setelahnya. Akibatnya, kehidupan kita hanya dipenuhi oleh kubangan stres, cemas, dan frustasi.
Hal-hal yang harus kita pahami bahwa, meski kehidupan sosial di Jakarta atau kota-kota besar lainnya yang terkenal kompetitif, sesekali mengatakan tidak itu bukan berarti kita adalah orang yang buruk. Kadang kata tidak itu menjadi batasan yang perlu diucapkan agar orang-orang tahu bahwa kita juga punya kehidupan yang juga sama padatnya. Selain itu membuat kita bisa lebih berdikari.
Untuk menghindari intervensi yang kuat dari orang lain, kita juga wajib punya tujuan. Karena hidup ini tentang memprioritaskan sesuatu, entah itu target, cita-cita, atau keinginan. Itu bikin kita lebih menempatkan diri sendiri sebagai prioritas dalam hidup dibandingkan orang lain.
Jakarta memang kejam, begitu juga hidup. Tanpa pijakan yang kuat, tanpa keteguhan hati yang mantap, kota ini akan menelanmu hidup-hidup. Baik boleh, terlalu baik, jangan.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Alasan Masuk Akal untuk Tidak Tinggal di Jakarta