Jangan Harap Menemukan Kehidupan Selepas Isya di Purworejo

Jangan Harap Menemukan Kehidupan Selepas Isya di Purworejo Mojok.co

Jangan Harap Menemukan Kehidupan Selepas Isya di Purworejo (unsplash.com)

Ada satu fenomena di Purworejo yang membuat saya sebagai pendatang geleng-geleng kepala. Kota ini seolah-olah tidak memiliki kehidupan selepas isya atau di atas jam 7 malam. Begitu adzan Isya berkumandang, semua aktivitas seolah berhenti dan sunyi. Kota seolah-olah kompak memutuskan untuk tidur lebih awal.  

Bagi saya yang berasal dari daerah yang penuh dengan hiruk pikuk tak kenal waktu, hal ini cukup unik. Tiap kali melewati jalur Jogja-Kebumen di malam hari, hanya lampu jalanan dan jangkrik yang menyapa. Sesekali spanduk rokok dan baliho caleg. Rasanya seperti masuk ke dunia yang nggak mengenal konsep begadang.  

Purworejo “terlelap” di malam hari 

Daerah dengan julukan Kota Pejuang ini tidak didesain untuk mereka yang mencari kehidupan malam. Bukan dalam artian negatif ya, kehidupan malam yang dimaksud seperti nongkrong, ngopi, atau sekadar bersosialisasi di warung atau angkringan Warga lokal seperti kompak memutuskan untuk istirahat setelah isya.    

Nongkrong dan keluar malam menjadi budaya yang asing di Purworejo. Kalian akan dituduh macam-macam kalau keluar di malam hari. Masih mending kalau para tetangga menganggap kamu sering keluar malam karena ada masalah hidup yang berat. Persoalannya, narasi yang sering beredar, kalian akan dituduh pulang dari hal haram kalau sering berkeliaran di malam hari. 

“Bro, di sini tuh malam ya buat tidur. Kecuali malam Minggu, baru ada kelonggaran,” kata salah satu kawan saya yang asli orang Purworejo. Benar saja, sabtu malam jadi semacam satu-satunya momen masyarakat keluar malam. Sisanya, malam tetap sunyi dan tenang.

Tidak cocok untuk mereka yang jam kerjanya di malam hari

Saya tidak sedang meromantisasi begadang, tapi kenyataannya banyak dari kita justru mendapat tenaga kreatif saat malam tiba. Terutama mahasiswa dan pekerja remote. Bagi orang-orang seperti ini, Purworejo jelas bukan daerah yang cocok untuk mereka. Terlebih, mereka yang mengandalkan kafe atau co-working space agar bisa produktif. 

Saya sempat bertanya pada teman perihal orang-orang yang kerja WFH di sana. Dia bilang, jangan sekali-kali berharap ada tempat semacam co-working space yang buka hingga malam hari di sana. “Paling ya orang-orang mengurung diri di rumah, itu pun sambil berjuang lawan rasa ngantuk,” kata kawan saya yang asli Purworejo. 

Bagi segelintir orang, Purworejo yang seperti kota mati di malam hari mungkin menyiksa. Namun, di mata saya, hal itu malah jadi semacam keunggulan. Entah mengapa, Purworejo kelihatan kalem dan adem. Mereka nggak punya banyak distraksi. Malam hari jadi waktu untuk rebahan, merenung, atau ngobrol ringan bersama keluarga dengan teh manis hangat. 

Malam hari di Purworejo bukan untuk pelarian, tapi buat “penyadaran”. Di kota lain malam hari dipenuhi aktivitas sosial yang bikin capek hati dan dompet. Di Purworejo, malam justru jadi waktu yang hemat energi dan hemat budget.

Pertanyaannya kemudian, apakah Purworejo yang terlelap di malam hari harus berubah seperti daerah-daerah lain? Tidak harus. Namun, saya yakin, perlahan tapi pasti budaya malam yang produktif dan aktif perlahan akan masuk juga di kota ini. Mungkin tidak akan seheboh Jakarta atau Jogja, tapi setidaknya mereka yang aktif di malam hari jadi punya opsi atau alternatif. Itu semua mungkin sebab ada pasarnya di Purworejo. 

Penulis: Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Purworejo, Kabupaten Penuh Potensi, tapi Ditinggal Kabur Pemudanya, Berpotensi Jadi Kota (yang Terpaksa) Tua!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

 

Exit mobile version