Bapak-bapak memiliki peran sentral dalam tradisi rewangan saat hajatan di desa. Jika bapak-bapak nggak ada, ya, wassalam, ibu-ibu pasti akan kebingungan. Maka dari itu, monggo dipunsayangi maleh bapak-bapakke, nggeh, Bu.
Di daerah terpencil seperti desa saya, tradisi rewangan dalam hajatan tampaknya masih kental. Saya sendiri menyaksikan langsung, betapa solidnya masyarakat di perdesaan dengan tradisi ini. Ngomong-ngomong, kenapa saya memikirkan tradisi rewangan ini? Pasalnya, kemarin di akhir bulan Besar/Dzulhijah, tetangga saya telah selesai mengadakan hajatan pernikahan.
Bagi yang belum tahu istilah rewang, mungkin definisi paling tepat adalah aktivitas gotong royong para tetangga dalam menyukseskan acara yang diselenggarakan tetangga lainnya. Uniknya, tetangga yang rewang nggak mengharap imbalan apa pun. Dengan kata lain, mereka datang dengan ketulusan mereka bersama.
Nggak usah jauh-jauh, ibu saya merupakan salah satu atlit perewang yang andal. Pasalnya, blio ini sering mendapat pesanan kue untuk acara hajatan, entah itu mantu, sunatan, slametan, dan lain sebagainya. Ibu saya memang ahli dalam membuat kue, dan menempati kasta tertinggi di dunia perewangan. Sebab, nyatanya dalam rewangan pun peran ibu-ibu memiliki beberapa tingkatan atau kasta. Di antarannya, kasta adang (bagian ibu-ibu yang menanak nasi), kasta njangan (bagian ibu-ibu yang memasak sayur), dan kasta ibu saya, kasta jajan (bagian yang ditunjuk membuat jajan/kue).
Namun, di sini saya nggak akan membahas peran ibu-ibu dalam dunia perewangan, sebab itu sudah umum. Yang saya mau bahas adalah peran si bapak-bapak dalam dunia perewangan itu sendiri. Pasalnya, istilah rewang acap kali identik dengan ibu-ibu. Akan tetapi, sebenarnya peran bapak-bapak dalam dunia perewangan juga cukup signifikan pengaruhnya, dan itu harus diapresiasi bersama-sama.
Nah, di bawah inilah, saya akan menjelaskan sekaligus menguraikan peran apa saja yang dilakukan bapak-bapak dalam dunia perewangan. Nggak usah kelamaan, ini dia uraiannya.
#1 Membuat pawonan
Istilah pawonan mengacu pada jenis tungku api tradisional di kalangan masyarakat desa. Hal ini memungkinkan bahwa masyarakat desa seperti daerah saya, sering menggunakannya dalam acara-acara yang besar. Sebab, para ibu-ibu yang berada di kasta adang dan njangan nggak mungkin memakai kompor untuk menjalankan tugasnya. Pasalnya, hal itu terbilang boros dan nggak mengenakkan.
Selain itu, biasanya, bapak-bapak yang bertugas membuat pawonan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sampai-sampai, dalam setiap acara hajatan di desa saya, bapak-bapak bisa membuat pawonan dari tiga hingga lima buah sekaligus. Hal ini menurut saya adalah wajar karena ibu-ibu nggak mungkin menempati satu pawonan yang sama. Misalnya, dalam penggunaannya, dua pawonan terkadang hanya digunakan untuk menanak nasi saja, dan sisannya untuk njangan (memasak sayur), beserta keperluan lainnya.
#2 Membuat payon
Kemudian, peran bapak-bapak dalam rewangan adalah membuat payon (tenda). Sebab, di dalam acara hajatan, nggak mungkin para perewang terpaku di dalam rumah saja. Misalnya, seperti ibu-ibu kasta adang dan njangan tadi, pasti selalu outdoor. Nah, untuk mengatasi cuaca panas maupun hujan yang nggak bisa diprediksi, bapak-bapak dengan segala keterampilannya saling gotong royong membuat payon.
Biasanya, payon yang dibuat pun, ya, payon sederhana, bukan payon dari asbes atau perkemahan pramuka, yakni sebuah payon yang hanya terbuat dari terpal bekas penutup padi dan jagung. Namun, wong namanya bapak-bapak, selalu jenaka dalam setiap aktivitasnya. Sesekali nyelethuk, “Piye, Yu Sri? Payone wes enak opo durung? Lak kurang tak gawekno soko baliho Kepak Sayap Kebhinakaan, kae, lho.” (Gimana, Yu Sri? Tendanya sudah pas apa belum? Kalau kurang aku tambahi dari baliho Kepak Sayap Kebhinekaan itu, lho). Hehehe.
#3 Nonjok
Eits, jangan salah. Nonjok di sini bukan bermaksud meninju atau memukul. Tetapi, istilah nonjok berarti mengirimkan undangan dalam bentuk nasi kotak. Biasanya, di dalamnya terdiri dari nasi, mi, sambel goreng, daging ayam/sapi, dan aneka jajanan buatan ibu saya. Memang, dalam masyarakat tradisional di desa saya, aktivitas tonjok-menonjok sangat lazim dilakukan.
Nah, jika tadi para ibu-ibu memiliki tugas membuat makanan, si bapak-bapaklah yang bertugas membagikan makanan. FYI aja, nih, Gaes, biasannya, untuk orang-orang di desa saya yang sedang menggelar hajatan, bisa mengundang 600-1500 undangan/tonjokkan. Dan, berarti, si bapak-bapak kaum nonjok ini harus mengundang ke 600-1500 rumah juga.
#4 Ngudeg jenang
Selanjutnya, untuk bagian ini, biasa dilaksanakan pada rewangan khusus acara mantu (pernikahan) saja. Sebabnya, kehadiran jenang memiliki makna filosofis tersendiri di kalangan masyarakat tradisional. Plisss, jangan tanya saya, soalnya saya juga nggak tahu apa makna filosofis jenang itu.
Ngudeg jenang atau mengaduk jenang, dalam hal ini pasti dilakukan oleh bapak-bapak. Bagaimana tidak, jenang yang dimasak dengan kuwali jumbo dengan waktu berjam-jam nggak mungkin dilakukan oleh ibu-ibu. Kadang-kadang, setiap udeg-an jenang pun terdiri dari dua sampai tiga bapak-bapak. Dan, setiap 15-20 menit sekali, bapak-bapak ini pasti rolling.
Selain dimasak dengan porsi yang besar dan waktu yang lama, perubahan tekstur jenang yang semakin mengental juga memberikan effort lebih bagi bapak-bapak. Maka dari itulah, kenapa aktivitas ini memilih bapak-bapak sebagai aktornya, sebab kalau saya yang disuruh, palingan hanya 3 menit saja saya bertahannya.
#5 Nyembelih pitik
Peran bapak-bapak berikutnya adalah sebagai eksekutor. Cukup menarik, bukan? Yup, geng bapak-bapak ini selalu dicari ibu-ibu bagian pawon sekadar untuk menyembelih ayam. Eits, kegiatan ini nyatanya nggak main-main, lho. Setiap acara, tuan rumah biasa menyiapkan 10 ekor ayam kampung atau lebih untuk dijadikan ingkung (ayam panggang tradisional). Dan, yang mungkin bikin malas bapak-bapaknya, bukan terletak pada banyaknya ayam, tetapi ketidak-efisiensi waktunya.
Pasalnya, ibu-ibu selalu menyuruh bapak-bapak untuk menyembelih ayam secara nyicil. Kadang, bapak-bapak hanya disuruh menyembelih satu hingga hanya dua ekor saja. Sampai-sampai, bapak-bapak kadang mangkel juga, “Mbok, ya, disembelih kabeh, ngunu, lho. Bene nggak celuk-celuk wae.” (Mending disembelih semua jadi satu gitu, lho. Biar nggak panggil-panggil saja).
#6 Njagong tamu
Terakhir, adalah bapak-bapak bagian penjagong (penerima tamu). Pada saat ‘dong’-nya (hari H-nya) biasanya bapak-bapak ditempatkan tuan rumah untuk menerima tamu. Pasalnya, ya, tugas mereka memang seperti itu di dalam rewang. Setelah siangnya repot dengan segala macam aktivitasnya, baru malam harinya mereka dandan ganteng. Yakni, pakai setelan batik, songkok, celana kain, dan parfum isi ulang.
Bapak-bapak penjagong pun nggak cuma menerima tamu, tapi dibagi lagi ke dalam beberapa bagian. Ada yang menyambut tamu di gapura, ada yang mempersilakan tamu menuju ke prasmanan, dan yang terakhir adalah bapak-bapak yang bertugas mengajak ngobrol (njagongi) tamu undangan. Gokil, nggak?
Nah, untuk saya, kalangan anak muda, dalam rewang memang punya tempat tersendiri, yang nggak berat-berat amat tentunya. Biasanya, anak muda kalau nggak disuruh nyatet amplop, ngangkat piring kotor, ya, jaga parkir. Itu saja wes.
Namun, itulah yang sangat saya apresiasi dari tradisi rewangan ini. Di tengah perkembangan zaman yang semakin modern, tradisi seperti ini harus tetap dilestarikan. Sebab, solidaritas harus tetap perlu antar tetangga. Bahkan, guru pondok saya saja sempat membuat guyonan seperti ini,
“Kamu nanti kalau meninggal, nggak mungkin orang Indonesia yang bantu nggotong dan nguburin jenazah kamu.”
“Terus, siapa, Kiai?” tanya saya.
“Ya, tetanggamu dhewe, lah, pasti.”
BACA JUGA Tradisi Rewangan Adalah Ajang Kompetisi MasterChef Indonesia Versi Local Pride dan tulisan Adhitiya Prasta Pratama lainnya.