Saya baru saja membaca tulisan Mochamad Firman Kaisa berjudul Logika Kacau Operasional Perpustakaan Daerah: Buka Saat Orang Sibuk, dan Tutup Saat Orang Punya Waktu. Jujur, saya sangat sepakat dengan isinya. Tak ada satu pembahasan pun yang saya tidak sepakat. Hanya saja, setelah dipikir lagi, operasional yang aneh itu bukan cuma milik perpustakaan daerah, melainkan hampir semua pelayanan publik kita.
Iya, masalah birokrasi ini bukan milik perpustakaan saja. Ini wabah nasional. Layanan publik kita, entah itu perpustakaan, dinas kependudukan, BPJS, sampai Mal Pelayanan Publik, semua sama. Yakni, buka di waktu yang tidak logis bagi mayoritas orang yang butuh layanan.
Iya, entah kenapa mereka buka tepat di jam ketika sebagian besar orang sedang bekerja, kuliah, atau sekolah. Ketika kita akhirnya punya waktu di akhir pekan atau malam hari, pintunya sudah terkunci rapat. Seolah-olah layanan publik ini hanya disediakan untuk makhluk-makhluk yang tidak bekerja dan tidak punya aktivitas lain.
Mal Pelayanan Publik: siapa sebenarnya yang dilayani?
Sedikit cerita, saya pernah ke Mal Pelayanan Publik di Lamongan. Tempat ini digadang-gadang sebagai solusi satu pintu untuk memudahkan urusan administrasi masyarakat. Semua layanan pemerintah dikumpulkan di satu lokasi agar warga tak perlu lagi berpindah dari kantor satu ke kantor lainnya. Secara konsep terdengar menjanjikan.
Tapi ketika saya mencoba sendiri di Lamongan, kenyataannya tidak se-ideal itu. Sebab, Jam operasional pelayanan hanya dari pukul delapan hingga dua belas siang. Setelah itu, yang tersisa hanyalah waktu untuk mengambil berkas sampai pukul dua sore.
Saya yang harus menempuh jarak satu jam setengah untuk sampai ke sini terpaksa harus gigit jari. Saya disarankan untuk datang lagi esok harinya. Remhok gaes.
Lantas, siapa yang benar-benar bisa dilayani jika rentang waktunya sesingkat itu? Kebanyakan warga bekerja di jam yang sama. Mereka yang ingin mengurus dokumen sering kali harus izin dari pekerjaan, mengorbankan pendapatan harian, atau bahkan mengambil cuti. Sementara layanan online pun masih dibatasi durasi yang sama, sehingga tetap saja tak membantu bagi pekerja yang baru bisa mengurus administratif di luar jam kantor. Bagian mananya yang pelayanan publik?
Kenapa tidak disesuaikan saja jam kerjanya?
Coba bayangkan kalau layanan publik dibuka siang sampai malam. Liburnya Senin–Selasa, bukan Sabtu–Minggu. Biar yang kerja nggak perlu drama ambil cuti hanya untuk ngurus fotokopian KTP yang entah kenapa harus difotokopi lagi, padahal mereka sendiri yang punya datanya. Mahasiswa dan siswa juga bisa mampir sepulang aktivitas, tanpa perlu bolos hanya karena negara butuh tanda tangan.
Kalau pusat perbelanjaan saja bisa buka sampai larut, bahkan kadang shift pagi–malam demi pelanggan, kenapa kantor layanan publik malah seperti menutup diri dari kenyataan? Bukankah yang dilayani itu publik?
Negara sering bilang ingin dekat dengan rakyat. Tapi kalau jam bukanya cuma pas rakyat lagi sibuk cari nafkah, siapa yang mendekati siapa? Kalau benar ingin melayani, ya fleksibel sedikit dong. Jangan sampai pelayanan publik cuma jadi pelayanan untuk publik yang kebetulan menganggur.
Pelayanan publik itu nyaris eksklusif untuk yang menganggur
Yang sering terlupa dari istilah pelayanan publik adalah kata “publik” itu sendiri. Publik itu bukan hanya mereka yang waktunya lowong dari Senin sampai Jumat. Publik itu ya semua warga yang bayar pajak, ikut pemilu, masih harus antre sembako ketika harga naik, dan pulang kerja dengan punggung pegal demi roda ekonomi tetap muter.
Maksud saya, kalau untuk sekadar memperpanjang KTP saja kita masih harus izin atasan, ngambil cuti, atau pura-pura sakit, ya jelas banyak yang pengin maido, “Negara ini kok melayani hanya saat rakyat lagi nganggur?”
Saya percaya jadwal pelayanan publik masih bisa disesuaikan dengan lebih masuk akal. Tapi harus ada kemauan lebih dulu. Karena slogan “Melayani dengan Sepenuh Hati” itu tidak akan ada artinya kalau pintu pelayanan tidak mudah diakses oleh siapa saja.
Pada akhirnya, layanan publik seharusnya membantu warga menyelesaikan urusan, bukan menambah beban hidup yang sudah penuh tuntutan. Jika negara ingin benar-benar hadir untuk rakyatnya, setidaknya logika operasional ini memang perlu direvisi total.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Magelang Boleh Kurang Ini Itu, tapi Perkara Kemudahan Birokrasi, Magelang Juara!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.















