Ini pantura, Bos, senggol dong!
Libur semester telah usai, waktu kuliah sebentar lagi tiba. Meski telah usai, cerita liburannya masih terngiang. Pada Januari lalu, saya merasa bosan berputar-putar di kota terbaik di Jawa Tengah (baca: Purwokerto).
Di tengah kondisi yang gundah gulana ini, salah seorang teman mengajak saya untuk berlibur ke Bekasi. Kebetulan kami memiliki teman kuliah yang berdomisili di Bekasi Timur. Awalnya sempat ragu untuk mengiyakan ajakan itu. Karena satu dan lain hal, dia memutuskan untuk berangkat terlebih dahulu. Sisa saya seorang. Keraguan semakin menghantui saya. Tapi, daripada liburan cuman tura-turu ora genah, ya sudah gasss saja lah.
Berhubung saya merupakan salah satu orang yang mudah kesepian, saya putuskan untuk mengajak salah seorang teman lainnya. Sebut saja namanya Abi (bukan nama asli). Setelah mandi dan sarapan, kami berangkat dari Purwokerto pukul 10 pagi. Karena masih fresh, saya putuskan untuk mengendarai motor terlebih dahulu. Kami melewati Kabupaten Brebes dan Tegal dengan aman dan sentosa.
Setelah dua jam perjalanan, sampailah kita di sebuah jalur neraka di utara Pulau Jawa: Pantura. Saya menyebutnya jalur neraka bukan tanpa alasan. Jalur ini tidak bisa dilalui oleh sembarang orang. Apalagi anak SMP yang baru bisa naik motor. Minggir!
Kami sampai di pantura tepat pukul 12.00 siang. Waktu sudah menunjukkan waktu salat zuhur, maka, kami putuskan salat zuhur terlebih dahulu. Setelah itu, sekitar pukul 12.30 kami mulai membelah jalanan Cirebon. Di sinilah lika-liku perjalanan dimulai.
Pantura, jalur petarung
Inilah pengalaman pertama saya menjelajah jalur pantura. Jalur ini bisa saya bilang sebagai jalur petarung. Hal ini karena pengendara di jalur ini sangat lihai mengendarai motor dan mobilnya. Saya mengendarai motor dengan kecepatan 90 km/jam, tapi, kok bolak balik diklaksoni sama pengendara belakang saya yang mau mendahului. Gila, udah sekenceng ini lho, masih aja disalip.
Haduh, mau nggak mau saya harus sering menyingkir demi mempersilakan kendaraan di belakang saya menyalip. Pokoknya kalau di pantura masih dengan kecepatan di bawah 100 km/jam ya ngalamat. Oleh karena saya termasuk pengendara yang indehoi, ya santai-santai saja, lah. Lagian mau cepat atau lambat, yang penting kan sampai dengan selamat. Betul, kan?
Selain pengendara yang bisa dibilang ugal-ugalan, jalur pantura juga sangat panas. Ya mau gimana lagi, jalur ini kan deket dengan Laut Utara Jawa. Sudah pasti panas. Bahkan, saat melintasi Cirebon, jalur pantura seperti persis di sebelah pantai. Kita bisa leluasa memandang hamparan laut. Oh ya, Bagi kalian yang ingin menempuh jalur pantura di siang hari, saya sarankan menggunakan jaket yang tebal. Hal ini supaya kulit kalian tidak terbakar matahari. Saya yang pakai jaket saja masih terbakar apalagi kalau kalian nggak pakai jaket. Wis pasti geseng, lur!
Saat saya sudah mulai terbiasa dengan jalanan panas dan pengendara yang ugal-ugalan, hujan pun datang. Hujan mengguyur tatkala saya memasuki Kabupaten Indramayu. Deras hujan membuat kami mengambil keputusan untuk berhenti di warung sejuta umat alias Indomaret.
Dibutakan hujan di Indramayu
Setelah menghabiskan sebatang rokok, kami putuskan untuk tancap gas lagi. Kali ini kami melewati jalanan Indramayu dengan derai hujan yang lebat. Saya tetap melaju dengan kecepatan awal. Tapi nahas, saya terlalu gegabah. Jalanan yang awalnya dapat dilihat jelas dengan mata dikaburkan oleh hujan. Hal ini membuat saya kerap kali tertipu melewati jalan yang berlubang. Mending kalau bergelombang, ini lubang, loh. Lubangnya juga nggak ngotak. Mungkin, kalau ditaruh bibit lele bisa, tuh. Apalagi kalau ditanam pohon pisang, barangkali bisa berbuah.
Oleh karena medan yang berubah, saya putuskan untuk gas tipis-tipis saja. Lagian bokong saya yang jompo ini sudah pegal. Tepat pukul 16.00 saya berhenti di sebuah masjid di Subang. Setelah itu, kemudi diambil alih oleh teman saya.
Kami sampai di Cikampek pukul 17.30 dan kami putuskan untuk makan nasi goreng di pinggir jalan. Hal ini karena tenaga kami yang habis terkuras tatkala melewati pantura. Alhamdulillah tepat pukul 20.00 kami sampai di rumah Bekasi dengan selamat. Syukurlah, akhirnya, bisa rebahan dengan leluasa.
Fyi, body depan motor vario saya pecah. Hal ini saya ketahui saat mencuci motor di Bekasi. Haduh, pantura memang bukan kaleng-kaleng. Terlepas dari lika-liku jalur pantura, saya rasa pengendara di jalur pantura memiliki solidaritas yang tinggi. Buktinya, saat plat motor saya hampir jatuh di Indramayu dan Subang. Ada salah seorang pengendara yang rela mepet motor saya untuk mengingatkan. Plat motor saya yang sudah di ujung tanduk bisa diselamatkan.
Pesan saya, jika kalian hendak menempuh pantura maka harus siap motor dan siap mental. Salam satu aspal, Sedulur!
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Di Balik Jalan Pantura yang Aduhai Jelek, Saya Merasa Ada Hikmah yang Kudu Diambil
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.