Jarak pandang yang terbatas
Saat masih melintasi kabupaten dengan julukan kota di atas awan (baca:Wonosobo), mobil yang saya kemudikan dikepung oleh kabut. Hal ini biasa terjadi di daerah dengan dataran tinggi seperti Wonosobo. Hal ini membuat jarak pandang saya terganggu. Saya yang biasa menancap gas dari 80-100 km/jam, hanya berani menjalankan mobil dengan kecapatan rata-rata 50 km/jam saja.
Jarak pandang yang terbatas membuat saya kesulitan untuk menerka arah jalan. Jalan yang penuh dengan kelokan begitu menguras konsentrasi saya dalam berkendara. Kabut pun tak kunjung menghilang. Akhirnya, setelah saya memasuki tugu selamat datang di Kabupaten Banjarnegara, barulah kabut mulai memudar.
Semakin malam, jalanan semakin mencekam
Saya sebenarnya sedikit percaya diri saat pertama masuk jalan besar area Wonosobo. Hal ini karena pada saat itu sudah pukul 23.00. Saya kira kendaraan yang melintas hanya truk bermuatan besar yang melaju dengan kecepatan di bawah 50 km/jam. Anggapan saya ternyata salah besar. Saat sudah sekitar 5 menit menggilas jalanan, ternyata masih banyak mobil pribadi yang melintas. Selain itu, saya juga berpapasan dengan beberapa bus besar dengan sopir yang nggak mau ngalah hingga mengambil jalur lawan untuk menyalip. Meski sudah saya beri tanda dengan lampu jarak jauh, masih saja nggak mau ngalah. Sialnya lagi mata saya yang dipaksa untuk melotot ini menjadi pegal dan gatal.
Itulah keresahan saya saat menggilas aspal jalanan dari Kabupaten Wonosobo hingga Kabupaten Banjarnegara. Selain skill yang mumpuni, kalian juga harus menyiapkan mental yang tangguh saat menghadapi supir-supir yang nggak mau ngalah di jalanan sepanjang Wonosobo dan Banjarnegara.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Temanggung dan Wonosobo, Tempat Wisata Paling Ideal buat Pemalas dan Kaum Mageran