Kalian salah besar kalau menganggap Mojokerto adalah kota kecil yang tenang-tenang saja. Kenyataannya, salah satu sudut di Mojokerto, Jalan Kuwung, begitu menggeliat. Bahkan, saya sampai sulit membedakan ini Mojokerto atau di kawasan Dau, Malang yang terkenal itu.
Jalan Kuwung Mojokerto adalah pusat kehidupan anak muda kalcer. Di sana banyak kafe-kafe aestetik dengan berbagai macam konsep. Dicatat ya, kafe bukan warung kopi.
Semua sudut di Jalan Kuwung seperti sudah disiapkan jadi latar OOTD. Lengkap dengan lampu temaram, tanaman rambat, dan meja-meja kayu minimalis. Tidak ketinggalan, para pengunjung dengan gaya kalcer dari ujung kepala sampai kaki.
Saya mendadak merasa salah kostum karena datang hanya dengan mengenakan kaus polos dan sandal jepit. Namun, tampilan ini lebih baik dibanding kakak saya yang pernah datang hanya dengan mengenakan sarung. Sepanjang nongkrong dan ngopi jadi kurang tenang hanya kerena perkara pakaian.
Kafe di Jalan Kuwung Mojokerto tumbuh karena ada pasarnya
Saya yakin, kafe-kafe di sana tumbuh subur karena ada permintaan pasar. Tidak heran kalau kafe-kafe di sana punya banyak konsep. Ada kafe yang cocok untuk ramai-ramai nongkrong hingga tempat kencan yang menggemaskan.
Bahkan, tidak sedikit kafe yang cocok untuk baca buku atau nulis-nulis sambil ngopi. Beberapa bahkan menyediakan spot outdoor dengan tanaman gantung dan suara musik jazz pelan-pelan, bikin siapa pun betah berlama-lama tanpa merasa riuh.
Ada satu kesamaan di antara kafe yang muncul dengan berbagai konsep itu. Harga makanan dan minumannya yang lumayan bikin kantong bergetar. Anehnya, kafe-kafe di sana selalu dipadati pengunjung.
Ternyata ada banyak anak muda kalcer di Mojokerto
Pandangan saya akan Mojokerto yang adem ayem dan nggak neko-neko berubah setelah mampir ke Jalan Kuwung Mojokerto. Salah satu sudut kotanya ternyata menyimpan ekosistem kalcer yang dirawat oleh anak-anak muda dengan penuh suka cita. Entah siapa yang memulai. Namun, kawasan ini berkembang jadi pusat nongkrong anak muda dengan atmosfer urban yang kental.
Di sinilah letak keheranan saya. Mojokerto bukan kota besar. Bukan daerah yang diserbu anak rantau dari Jaksel atau kota besar lain. Tapi, atmosfer di Jalan Kuwung bisa ala-ala Jakarta Selatan (Jaksel) atau kota besar lain ya.
Geliat kalcer di Jalan Kuwung memang tumbuh dari dalam. Bukan karena pengaruh luar, melainkan murni inisiatif lokal. Pemilik kafenya orang Mojokerto. Desain tempat, menu, sampai branding sosial medianya dikerjakan dengan niat. Bukan cuma ikut-ikutan tren, tapi benar-bena memikirkan dan menyesuaikan pasar. Mungkin ini yang membuat atmosfernya terasa lebih hidup.
Saya jadi membayangkan, bukan tidak mungkin suatu saat orang luar kota ke Mojokerto untuk menikmati sudut-sudut kalcer ini. Tidak hanya berwisata religi atau mengulik sejarah Trowulan.
Kalau kalian penasaran, silakan datang dan buktikan sendiri. Tapi, saran saya, pakai baju yang agak niat. Karena di Jalan Kuwung, kalian akan memasuki dunia yang berbeda, dunia yang benar-benar Kalcer. Sampai sekarang saya masih mbatin, kok bisa hal beginian ada di Mojokerto.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Saya Sepakat kalau Mojokerto Dianggap Kota Layak untuk Hidup Bahagia sampai Tua, asalkan…
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
