Jalan Imogiri Timur: Jalan Panjang Penuh Pesan, Aroma Sate, dan Ujian Kesabaran

Jalan Imogiri Timur: Jalan Panjang Penuh Pesan, Aroma Sate, dan Ujian Kesabaran Nasional

Jalan Imogiri Timur: Jalan Panjang Penuh Pesan, Aroma Sate, dan Ujian Kesabaran Nasional (Eka P. Amdela via Unsplash)

Sebagai orang Imogiri tulen—bukan hasil fotokopi, apalagi titipan keraton— saya bisa bilang satu hal pasti soal Jalan Imogiri Timur: ini bukan sekadar jalan penghubung, ini jalan spiritual. Jalan kehidupan. Jalan penuh liku, meski bentuknya lurus-lurus aja. Di sinilah pengendara belajar tiga hal penting dalam hidup: sabar, lebih sabar, dan sabar banget.

Buat yang belum akrab, Jalan Imogiri Timur itu jalur panjang yang menghubungkan peradaban Jogja dengan dunia “selatan” —alias Imogiri dan sekitarnya. Kalau kamu mau cari sate kambing, ini juga surga duniawi. Dari Pak Pong, Mak Adi, sampai Pak Jam, pokoknya asal Namanya diawali “Sate” dan diakhiri “nama orang,” kemungkinan besar mereka punya lapak sate di sini. Bukan jalan tol, tapi bisa dibilang tol rasa sate.

Saya sendiri sudah tujuh tahun lebih jadi pelanggan tetap Jalan Imogiri Timur. Dari masa-masa berseragam putih abu-abu sampai skripsi belum selesai, jalan ini tetap setia menemani. Motor sudah Ganti dua kali, tapi motor-motor yang main nyelonong muncul kayak NPC dari samping jalan, tetaplah sama: spontan, tiba-tiba, dan tanpa aba-aba.

Gang-gang kecil dan pengendara yang percaya takdir

Jalan Imogiri Timur ini punya fitur untuk: banyak gang kecil, dan banyak orang yang keluar dari gang dengan modal keyakinan. Tanpa toleh kiri-kanan, tanpa rem, tanpa rasa bersalah. Entah mereka merasa dilindungi doa ibu, atau memang sudah pasrah pada nasib.

Sebagai warga Imogiri yang menjunjung tinggi budaya elus dada, saya hanya bisa menggelengkan kepala tiap ada motor nyelonong dari gang. Klakson? Ah, terlalu mainstream. Marah-marah? Nanti dikira bukan asli Imogiri. Jadi, cukup pasrah dan bilang dalam hati, “Ya udah lah, yang penting masih selamat.”

Slow living ala Jalan Imogiri Timur

Pagi hari di Jalan Imogiri Timur itu syahdu. Embun masih nempel di daun, suara ayam kampung masih sayup-sayup terdengar, dan motor-motor melaju pelan ayak lagi cari sinyal. Tapi jangan salah, sore hari jauh lebih romantis. Asap sate mengepul di sepanjang jalan, aromanya meresap ke jiwa—kadang bikin pengendara yang lagi galau jadi sadar: hidup ini nggak seburuk itu, selama masih ada sate.

Namun, ada harga yang harus dibayar dari keindahan ini: kecepatan kendaraan berubah jadi kecepatan jalan kaki. Apalagi kalau bawa mobil. Pengendara roda empat sering terjebak dalam dilema: mau nyalip, tapi jalannya sempit; mau sabar, tapi udah ditinggal makan malam sama keluarga. Di sinilah karakter diuji. Siapa yang bisa tetap tenang di tengah jalur penuh jajanan, dia layak jadi calon menantu idaman.

Pesan tersirat dari semesta (versi Jalan Imogiri Timur)

Jalan Imogiri Timur mengajarkan kita bahwa hidup itu bukan tentang siapa yang cepat sampai, tapi siapa yang bisa bersabar. Kita nggak selalu butuh gaspol, kadang yang kita butuhkan adalah kelapangan dada dan dompet yang cukup buat beli sate satu porsi ekstra.

Kalau kamu sudah berkendara cukup lama dan mulai lihat patung kuda di persimpangan Imogiri, itu artinya perjalananmu sudah mendekati garis akhir. Tapi ingat, justru di detik-detik terakhir itulah biasanya kita lengah. Udah dekat rumah, eh malah nyungsep gara-gara ngelamun. Makanya, tetap focus ya, lur.

Dan satu pesan penting buat kalian semua yang lewat Jalan Imogiri Timur: jangan lupa mampir jajan. Satenya enak, banyak bakmi lethek yang rasanya nendang, dan suasananya bisa bikin kamu rindu pulang, meskipun belum pergi.

Salam dari selatan. Tetap hati-hati di jalan, jangan lupa helm, dan kalau bisa, bawa sabar dalam ukuran jumbo. Karena Jalan Imogiri Timur bukan cuma jalur lalu lintas, tapi tempat belajar hidup yang sebenarnya.

Penulis: Bonifacius Herlambang
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Tinggal di Banguntapan Bantul Itu Nggak Beda Jauh Sama Suburban Jogja, Jangan Dibilang Desa, dong

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version