Sudah banyak yang mengakui, kalau Nusa Tenggara Timur, utamanya Flores menjadi salah satu destinasi wisata yang diminati oleh turis dalam maupun luar negeri. Tidak melulu menawarkan perihal keindahan landscape alam, Flores juga manawarkan beragam situs-situs budaya yang berasal dari warisan para leluhurnya. Mulai dari keragaman suku, tradisi, hingga sistem sosial yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Dalam konteks suku sendiri, di Flores terdapat beberapa suku yang mendominasi, salah satunya adalah suku Lamaholot.
Bisa dibilang, suku Lamaholot ini merupakan penghuni mayoritas yang ada di kepulauan Flores. Secara struktur kesukuan, masyarakat Lamaholot ini terbagi lagi menjadi beberapa kelompok adat yang kecil-kecil, atau nama lainnya bisa kita sebut sebagai marga. Keseluruhan marga-marga dalam suku Lamaholot tersebar secara parsial di kabupaten Flores Timur, Alor, Solor dan Lembata.
Sebagaimana sebuah suku, Lamaholot tentu memiliki beberapa unsur yang menjadi konsensus agar tetap terlihat seragam. Unsur tersebut bisa berupa bahasa. Kalau kalian followers Instagram komika Abdur Arsyad, kalian pasti pernah nonton video parody yang sering diupload oleh bang Abdur ini. Di antara sekian banyak video parody yang diupload, beberapa diantaranya merupakan parody kritikan yang berbahasa Lamaholot.
Unsur-unsur lainnya bisa berupa tradisi, yang ditunjukan melalui sistem pernikahan yang maskawinnya berupa Gading Gajah, hingga aneka makanannya yang kebanyakan berbahan dasar jagung atau berasal dari hasil laut. Perihal makanan sendiri, sebagai seseorang yang punya darah keturunan Flores, ada satu makanan yang bagi saya, telah menjadi konsensus umum masyarakat Lamaholot sebagai makanan utama. Sebuah makanan yang secara implisit menjadi symbol ketahanan pangan Masyarakat Lamaholot. Makanan tersebut adalah Jagung titi.
Sejak zaman dahulu, jagung titi hadir sebagai ganti kelangkaan beras yang dialami masyarakat Lamaholot. Tanah yang cukup tandus, membuat masyarakat Lamaholot lebih memilih menanam jagung ketimbang padi. Musim kering yang sering akrab sepanjang tahun pun membuat masyarakat Lamaholot menciptakan alternative lain dalam memenuhi asupan makanan mereka, dan Jagung Titi adalah pilihannya. Karena selain jagung yang digunakan jenis jagung tua, jagung titi juga bisa bertahan lama. Asalkan ditutup rapat dalam toples, dan tidak lembab, makanan ini bisa bertahan hingga betahun-tahun.
Ini membuat masyarakat Lamaholot tidak terlalu khawatir dengan krisis pangan yang mengancam ketika musim dan panen pertanian sedang tidak bersahabat. Sebuah upaya sederhana untuk menciptakan ketahanan pangan.
Makanan ini sendiri dibuat dengan cara yang sederhana. Jagung jenis pulut atau putih yang sudah tua disangrai di dalam gerabah mini dengan tungku tersusun dari batu bata. Kemudian, jagung yang disangrai diambil beberapa biji hanya menggunakan tangan. Beberapa biji jagung diletakkan di atas batu induk bermuka datar yang cukup besar, setelahnya dihentakan atau dititi sekali-dua kali menggunakan batu oval seukuran bulatan penuh batok kelapa. Sehingga menghasilkan pipihan biji jagung serupa emping melinjo. Sudah begitu saja, tanpa diberi perasa atau bumbu tambahan.
Saya masih ingat ketika dulu masih kecil, saat saya dan teman-teman sedang bermain di hari minggu pagi. Biasanya terdengar hentakan batu yang bersahutan satu sama lain dari rumah-rumah sekitar. Hentakan itu berasal dari parade para pembuat Jagung Titi. Tidak jarang, ketika melewati rumah-rumah tersebut, kami dipanggi dan dipersilahkan mengambil makanan tersebut untuk bekal bermain.
Jagung titi bisa dibilang makanan yang terkesan dikultuskan hingga saat ini. Oleh masyarakat Lamaholot, makanan ini merupakan makanan yang selalu hadir dalam setiap momen kehidupan mereka. Mulai dari acara keagamaan, upacara-upacara adat, hingga aktivitas sosial seperti kerja bakti, suguhan utamanya ya jagung titi ini. Bisa dipastikan, setiap rumah-rumah masyarakat Lamaholot selalu tersedia makanan ini.
Mereka biasanya menikmati makanan ini dengan olahan tangkapan laut, seperti sop ikan, ikan bakar atau sayur – sayur berkuah yang berasal dari kebun mereka seperti tanaman kelor atau merunggai. Bahkan sering saya temui, jagung titi ini hanya dimakan dengan diseduh dengan air putih saja.
Lebih jauh, ketika mendengar cerita almarhum Nenek saya dulu, jagung titi adalah bekal perang para gerilyawan ketika menghadapi penjajah Portugis. Makanan ini sangat berjasa dalam menjamin dan menjaga kondisi tubuh Masyarakat Lamaholot agar tetap segar dan berenergi. Karena Jagung titi adalah jenis makanan yang mampu memberikan ketenangan kepada perut seseorang dari ancaman menakutkan dari rasa lapar.
Selain itu, secara filosofis, jagung titi merupakan simbol keperkasaan dan kemandirian perempuan-perempuan Lamaholot. Dengan anatomi jagung titih yang sangat pipih menandakan bahwa hentakan dari perempuan-perempuan Lamaholot begitu keras, dan sepanjang sepengetahuan saya, jagung titi ini hanya mampu dibuat oleh kaum perempuan.
Jagung titi merupakan contoh bagaimana masyarakat Lamaholot mempertahankan warisan nenek moyangnya. Secara turun temurun, keberadaan Jagung titi kini mulai bermetamorfosis menjadi makanan yang diolah menjadi keripik dengan varian rasa manis dan gurih, sebagai teman minum kopi ataupun teh di sore hari. Harapannya, semoga jagung titi ini tetap lestari, di tengah kehadiran makanan-makanan modern yang mulai menghegemoni.
BACA JUGA Suka Duka Pakai Honda Revo: Sering Dikira Debt Collector dan tulisan Muhamad Iqbal Haqiqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.