Buat apa jadi pendekar?
Tidak semua anggota perguruan silat yang bergabung ingin menjadi atlet atau pesilat profesional. Hanya sekedar ingin belajar bela diri, ya jangan praktik tanding atau tarung di sembarang tempat. Buat apa susah payah latihan fisik, menghafal berbagai gerakan dan jurus, lalu ikut ujian kenaikan tingkat (UKT), kalau ternyata cuma bisa pentung-pentungan dan lempar batu kalau ketemu musuh? Apa kalian tidak ingat jurus pukulan, tendangan, tangkisan, dan serangan yang diajarkan oleh senior? Sehingga pikiran anggota-anggota perguruan silat ini hanya berisi dendam dan ego atas alasan apalah itu.
Saya yakin orang-orang seperti itu tak bisa jadi representasi perguruan. Tapi, publik bisa jadi sudah mengecap buruk mereka. Yang rugi banyak, cuman karena sumbu pendek beberapa orang yang pengin banget mendaku diri jadi jagoan.
Pemerintah, Polri, dan TNI sudah berupaya menciptakan rasa aman di masyarakat dari gesekan antar perguruan silat. Contohnya membuat event kejuaraan pencak silat antar perguruan serta pendekatan. Sayangnya, pendekatan yang dilakukan hanya pada sesepuh lan pinisepuh. Anggota-anggotanya juga perlu didekati agar tidak bertindak gegabah. Selain itu, aparat keamanan dan sesepuh perguruan harus memberikan efek jera bagi anggota yang berbuat onar. Seperti diproses secara hukum dan dicabut keanggotaannya dari perguruan seumur hidup.
Itu jika memang ingin menyelesaikan masalah yang selama ini selalu terulang. Jika nggak, ya jangan berharap apa-apa.
Penulis: Audina Hutama Putri
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sisi Gelap Julukan ‘Madiun Kota Pendekar’