Kaum jagabaya ini sedang ada di fase lupa akan jati dirinya. Lupa akan hakikat tugas dan amanah dari rakyat yang yang ditaruh di pundak mereka.
“Minum dulu, Kin.” Kanapi mengulurkan botol kaca bekas sirup yang diisi air putih dari kulkas. Dengan cepat Solikin menyambar dan lantas menenggaknya. Hampir setengah botol ia tandaskan, tapi dadanya masih tampak naik-turun, nafasnya sedikit terengah.
“Ini dibakar dulu sebatang, biar nggak kemerungsung lagi, Kin.” Goda Pardi diiringi lemparan sekotak rokok. Menyaksikan pemandangan itu, Cak Narto yang masih bertudung sarung hanya cekikikan di atas jok motornya.
Dari selepas isya sampai menjelang warung Yu Marmi tutup, perdebatan penuh nuansa kemarahan, belum juga usai. Melihat itu Kanapi mengajak forum untuk bergeser ke depan bengkelnya.
“Sampean jangan cuma prengas-prenges, Cak. Ini lho mbok Solikin dihibur, biar nggak ngomel-ngomel terus. Kasihan dia nggak bisa melampiaskan kemarahannya. Hehehe.” Goda Kanapi sambil menggelar tikar.
“Apa lagi yang mau dibahas, Pi. Wong semua sudah jelas gitu, kok.” Cak Narto melompat ke atas tikar, melipat kaki, dan menggosokkan kedua telapak tangan, mengusir dingin hawa kemarau.
“Kalau semua sudah jelas, berarti Sampean sama saja sepakat dengan apa yang mereka telah lakukan, Cak. Kesewenang-wenangan, kekerasan, dan penindasan mereka, polisi-polisi itu” tembak Solikin lugas.
“Lho lho lho, ya nggak gitu dong, Kin. Diam bukan berarti setuju. Aku diam karena menurutku, memang hanya itu yang bisa dilakukan…” Cak Narto menggerus kreteknya yang sisa seisap, “…sebab rasanya semua usaha sudah dicoba, dan nyatanya sia-sia belaka.” Dibakarnya cepat batang kretek baru.
“Ya harus dilawan dong, Cak. Karena diam adalah pengkhianatan” tukas Solikin geram. Kepalannya dipukulkan ke telapak kakinya sendiri.
“Melawan dengan metode apa, Kin? Wong protes lewat unjuk rasa damai, ya digebukin, kayak teman-temanmu mahasiswa itu. Dan seperti yang sudah-sudah, melawan mereka dengan benturan fisik sudah pasti kita, orang sipil begini, pasti kalah telak. Wong mereka terlatih dan dipersenjatai, kok.” Asap dari mulut Cak Narto berhamburan.
“Ibarat pertandingan, metode perlawanan berbasis fisik sudah jelas bukan pertandingan yang seimbang, Kin. Sudah bisa ditebak siapa pemenangnya.” Tambahnya.
“Mau perang gagasan lewat tulisan? Menurutku kok ya percuma. Itu kemarin liputan investigasi yang begitu bernas saja malah distempel sebagai berita hoax sama mereka. Lantas medianya diserang sampai nggak bisa diakses lagi. Besoknya sudah menjadi perang trending dan arak-arakan tagar di medsos. Percuma, Kin. Sia-Sia.” Tandas Cak Narto agak lemas.
Hening menyela. Suara tonggeret dari persawahan menggerus suasana.
“Enggg… kalau aku, Cak, tetap pada posisi melawan. Menurutku metode yang paling pas saat ini, ya itu tadi: anarkisme. Dihapus aja konsep bernegara, toh memang tidak menciptakan kesejahteraan. Dan dihapus juga semua perangkat yang menumbuhsuburkan penindasan itu” ujar Solikin berapi, sambil mengacungkan telunjuk kiri.
“Aish… ra mashoook” Tanpa aba-aba Kanapi dan Pardi menyela argumen Solikin berbarengan. Cak Narto tambah cekikikan.
“Wajar saja, Kin, kamu masih muda. Jiwa berontak dan melawanmu masih meledak-ledak. Nanti seiring bertambahnya usia juga kamu akan ngerti apa yang aku maksud dengan ‘kesia-siaan’ itu tadi.” Cak Narto menyeka linang air mata tawanya, “Dan bahwa melawan kekerasan dengan kekerasan hanya akan menghasilkan kehancuran.”
“Lagian, Kin…” belum selesai rupanya kalimatnya, “…sehancur apa pun reputasi mereka di media massa, toh nyatanya profesi seorang polisi tetap menjadi salah satu impian sebagian besar masyarakat kita, tho.”
“Iya ya, Cak. Fenomena ini unik juga, ya. Di satu sisi masyarakat menghujat, tapi di sisi lain antrean untuk jadi polisi tetap nggak pernah sepi tiap tahun.” Tukas Pardi heran.
“Termasuk orang-orang sini to, Ndes. Sampai rela jual sawah dan ternak demi mewujudkan cita-cita punya anak berpangkat dan nenteng bedhil.” Tambah Kanapi.
“Iya, ya… lucu juga, ya.” Ujar Pardi sambil menggaruk kepalanya yang tidak benar-benar gatal itu.
“Menurutku jawabannya sederhana, Ndes. Fenomena ini, animo masyarakat untuk jadi polisi itu, adalah salah satu residu Orde Baru.” Jawaban Cak Narto mengambang. Mereka bertiga malah saling berpandangan dengan kening yang mengernyit.
“Gini lho, Ndes, kan Orde Baru berkuasa begitu lama. Dan selama itu supremasi kaum jagabaya bersenjata sangat luar biasa. Narasi superioritas dan kegagahan jagabaya itu dijejalkan sedemikian rupa, dari pusat hingga pelosok desa, sampai akhirnya secara tidak sadar masyarakat, terutama kelas bawah, ingin menjadi bagian dari mereka. Setidaknya mencicipi rasanya hidup dengan kuasa semacam itu.”
“Ooo…” bibir Solikin mecucu, “Narasi gimana maksud Sampean, Cak?”
“Ya macam-macam, Kin, tapi menurutku yang paling berhasil adalah narasi sejarah. Bahwa kemerdekaan bangsa kita itu semata-mata diraih lewat jalan angkat senjata kaum jagabaya dengan mengabaikan peran diplomasi-diplomasi tokoh sipil.” Cak Narto menjeda, mengisi ulang cangkir kopinya yang mulai kosong.
“Hal itu sedikit banyak berefek ke mimpi-mimpi masyarakat sipil untuk menjadi bagian dari mereka, kaum jagabaya ini. Lain kali deh kita ngomongin sejarah. Hehehe.” Entah mengapa kali ini Cak Narto yang nampak kikuk.
Hening kembali menelusup. Pardi menatap kosong ke arah lampu balai desa di seberang jalan. Tapi, tiba-tiba ia melontarkan tanya, “Meski begitu, Cak, sejarah mencatat keberadaan jagabaya sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari masyarakat kita. Majapahit aja punya Bhayangkara, sebagai institusi jagabaya kerajaan.”
“Nah itu dia, Ndes…” Cak Narto mengatur duduknya, “…itulah mengapa gagasan anarkisme nggak relevan bagi bangsa kita. Keberadaan mereka memang sangat penting bagi keberlangsungan hidup bersama. Hehehe.” Mendengar itu air muka Solikin semakin mlotrok.
“Kalau memang sebegitu adiluhungnya peran mereka, kenapa yang terjadi justru sebaliknya, Cak? Penindasan dan kesewenang-wenangan yang menjadi makanan sehari-hari. Sampean jangan pura-pura tidak tahu gitu, dong.” Solikin melengos kesal.
Pardi dan Kanapi yang kali ini cekikikan saling sikut. Melihat Cak Narto dibombardir oleh Solikin selalu menjadi hiburan bagi mereka berdua.
“Berkelindan, Kin. Ruwet.” Kilah Cak Narto, “Lha gimana, Ndes. Memang begitu situasinya. Kaum jagabaya ini sedang ada di fase lupa akan jati dirinya. Lupa akan hakikat tugas dan amanah dari rakyat yang ditaruh di pundak mereka. Mereka seperti seorang tunabrata: tak mampu mengendalikan diri. Lupa akan sumpah dan janji-janjinya. Lupa bahwa pisau kuasa yang sedang ada di tangan adalah titipan dari rakyat. Jangan malah digunakan untuk menusuki rakyat.” Nada putus asa seperti menggantung di ujung kalimat Cak Narto.
“Aishhh, manusia kok ndak solutip. Kalau cuma fafifu wasweswos mah siapa saja bisa, Cak.” Ejek Solikin.
“Iya, Cak, mbok ya dipungkasi dengan solusi gitu lho. Setidaknya biar Solikin pulang nanti nggak mecucu gitu terus. Hehehe.” Pardi malah mengompori.
Cak Narto berdiri, menggerus kreteknya dengan tumit. Sarungnya ditarik menutupi kepala.
“Tidak semua permasalahan ada solusi konkritnya, nDes. Kalaupun ada, tanpa dibarengi kerendahan hati dan kesadaran, semua itu akan sia-sia belaka. Kita cuma bisa berharap dan berdoa supaya mereka, kaum jagabaya ini, sadar dan ingat apa hakikat keberadaan mereka. Meski itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Tiba-tiba Cak Narto sudah di atas jok motor, “Akhir kata, matur nuwun kopi dan gorengannya, wassalamualaikum.” Tanpa mengindahkan forum, motor butut itu dipacu menggerus aspal desa, menembus halimun subuh.
***
Iring-iringan sepeda para ibu penjual sayur menuju pasar tampak begitu rapi. Diselingi tawa, lamat-lamat terdengar cerita bangga seorang dari mereka, anaknya minggu depan dilantik menjadi seorang bintara, katanya.
Semburat kemuning pagi membanjiri desa. Di pepohonan, burung bercericit saling beradu bait. “Celakalah nasib orang yang terbuai kuasa dan lupa akan hakikat hidupnya”, kata seekor burung dungu di ujung dahan.