Jadi Alumni UM Itu Enak: Kebanggaannya Tanpa Beban, Biasa Saja, dan Sak Madyane  

4 Pertanyaan yang Sebaiknya Nggak Ditanyakan kepada Mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) karena Bikin Emosi alumni UM

4 Pertanyaan yang Sebaiknya Nggak Ditanyakan kepada Mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) karena Bikin Emosi (Universitas Negeri Malang via Wikimedia Commons)

Jadi alumni UM Malang itu enak. Nggak ada beban, bisa biasa saja, dan tak perlu mencari validasi yang tak penting. Enteng, selow, yoman.

Membaca beberapa tulisan di Terminal Mojok mengenai gimana rasanya menjadi alumni beberapa kampus di Indonesia, ada perasaan yang menggelitik dalam diri saya. Saya melihat bagaimana perasaan (dan juga keresahan) mereka pribadi tidak hanya sebagai alumni sebuah kampus, melainkan gimana perasaan mereka mendapat cap dari orang-orang sebagai alumni dari kampus-kampus, terutama kampus yang ternama.

Ada Mas Rizky Prasetya, alumni UNY, yang bilang bahwa menjadi alumni UNY itu nggak ada beban, dan nggak ada yang bisa dibanggakan. Ada juga Mas Abdur Rohman, alumni Unesa, yang bilang bahwa alumni Unesa itu cuma pura-pura bangga karena disangka dari kampus ternama. Lalu ada juga Mas Afif Notodewo, yang bilang bahwa menjadi alumni UI itu bebannya ada dan nyata.

Membaca semua tulisan tersebut, sebagai alumni Universitas Negeri Malang (UM), saya jadi mikir dan bertanya, gimana rasanya menjadi alumni UM? Atau lebih tepatnya, gimana perasaan saya—sebagai alumni UM—menjadi alumni UM? Apakah saya bangga menjadi alumni UM, atau malah biasa saja.

UM memang kalah pamor dan kalah glamor dari UB, tapi justru itu enaknya jadi alumni UM

Jika bicara kampus di Malang, pikiran orang-orang pasti akan langsung merujuk ke Universitas Brawijaya (UB). Seakan-akan semua orang yang kuliah di Malang kuliahnya di UB (ya meskipun UB memang jadi favorit di Malang). Cukup bisa dimaklumi, sebab UB ini adalah kampus terbaik di Malang. UB juga merupakan kampus paling tenar di Malang.

Di antara banyak kampus di Malang, pamor UB benar-benar meroket sendiri. Ibaratnya, wajah kampus di Malang ya UB. Sementara itu, UM memang nggak seterkenal UB. Pamor UM masih kalah dengan UB. Dan nggak hanya pamor, UM juga kalah glamor dari UB. Kalau diamati, UB lebih terkenal akan keglamorannya ketimbang UM, baik dari segi kampusnya maupun mahasiswanya.

Namun, buat saya kekalahan pamor dan glamor ini justru membuat UM dan alumninya jadi seakan nggak ada beban. Alumni UM nggak punya beban menjadi alumni kampus terbaik di Malang. Alumni UM nggak dibebani dengan kebesaran nama, kebesaran pamor kampusnya. UM dan alumninya seakan sudah cukup dan puas dengan posisi dan pamor UM saat ini.

Inilah enaknya menjadi alumni UM, semacam menjadi underdogs. Kita memang kalah telak soal pamor dan glamor dari UB. Tapi ada masanya, ada kalanya, UM bisa mengungguli UB di beberapa aspek. Nggak banyak, tapi cukup. Seperti underdogs, kemenangan-kemenangan atau keunggulan-keunggulan kecil ini kadang yang memuaskan, juga membanggakan. Dan seperti underdogs pula, kalah pamor dan glamor jelas nggak jadi masalah.

Kebanggaan yang tanpa beban, kebanggaan yang sak madyane

Sebagai alumni kampus semacam UM, kita—setidaknya saya—nggak bisa berperilaku selayaknya sebagian alumni kampus-kampus ternama seperti UB, UGM, atau UI. Saya nggak bisa overproud dengan nama besar kampus kita. Ngapain dan buat apa juga, toh, saya juga sudah cukup dengan posisi UM dan posisi saya sebagai alumninya. Saya juga nggak bakal pakai status alumni UM untuk pamer. Selain norak, nggak banyak yang bisa dibanggakan juga, jadi ngapain?

Makanya, ketika ada pertanyaan apakah kita—atau saya—bisa bangga sebagai alumni UM, saya hanya menjawab tentu saja bisa. Kebanggaan saya sebagai alumni UM adalah kebanggaan yang tanpa beban, tidak dibebani dengan pamor dan glamor yang tersemat. Kebanggaan saya sebagai alumni UM adalah kebanggaan yang sak madyane, secukupnya, sepantasnya, sesuai dengan posisi UM yang memang madya, bukan yang terbaik, tapi juga sangat jauh dari yang terburuk.

Jadi alumni UM itu enak, kok. Jadi alumni dari kampus yang bukan kampus terbaik, kampus dengan nama besar yang mentereng itu enak. Bebannya nggak berat, dan nggak banyak. Alumni UM itu nggak punya beban moral untuk jadi orang besar, atau jadi tokoh. Kalaupun ada “beban”, paling ya soal anak UM yang selalu dikira jadi guru kalau lulus, meskipun bukan kuliah di jurusan pendidikan. Nggak apa-apa, itu “beban” yang sepele banget, kok.

Intinya, berbanggalah kalian alumni UM. Berbanggalah kalian dengan kebanggaan yang tanpa beban, kebanggaan yang sak madyane, seperti saya. Makanya, kalau kalian pengin kuliah di Malang tapi bingung mau kuliah di mana, mending kuliah di UM aja. Kampusnya enak, kuliahnya juga gampang (walau UKT-nya makin mahal). 

Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA UM Malang Adalah Kampus Paling Ramah Perantau di Malang: Asrama Memadai, Kos Murah, Lokasi Strategis!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version