Saya laki-laki dan saya kuliah di International Women University Bandung. Iya, “women university”!
Sebenarnya keresahan ini sudah bertahun-tahun saya pendam sendirian. Walaupun saya yakin bahwa teman-teman saya yang laki-laki pasti pernah merasakan hal serupa saat menempuh pendidikan di International Women University Bandung.
Fyi, International Women University (IWU) adalah salah satu kampus swasta di Kota Bandung. Universitas ini menjadi universitas pertama di Indonesia yang mengedepankan pendidikan dan pengetahuan tentang gender, wanita, dan feminisme. Sayangnya, belum semua orang tahu seluk-beluk kampus ini, bahkan orang yang tinggal di Bandung sekalipun.
Kembali pada keresahan saya, gimana saya nggak resah coba? Dari namanya, sudah jelas kalau kampus yang satu ini menganduk unsur “women” yang secara harfiah menjurus pada perempuan dan sudah pasti membuat orang-orang berpikir bahwa ini adalah kampus khusus perempuan. Tapi faktanya, saya dan sekian banyak mahasiswa di luar sana berjenis kelamin laki-laki. Bahkan kalau nggak salah, jumlah laki-laki di angkatan saya lebih banyak daripada perempuan.
Sejujurnya saya malas menceritakan hal personal seperti ini. Tapi, berhubung beberapa hari lagi saya akan melangsungkan wisuda setelah 7 tahun kuliah, nggak ada salahnya bercerita sedikit sebelum saya benar-benar melepas titel mahasiswa (tua). Setidaknya, segelintir orang berhak tahu kebenarannya.
Daftar Isi
Bukan sampah, tapi sudah biasa dianggap mahasiswa buangan hanya karena kuliah di International Women University Bandung
Hal terberat saat menjadi mahasiswa baru ternyata bukanlah mata kuliahnya, melainkan ketidakmampuan untuk mempelajari mata kuliah tersebut di kampus yang diimpikan sedari dulu. Terlebih, sebagaimana mahasiswa dari kampus kecil pada umumnya, saya kerap terhimpit saat tengah berkumpul dengan teman-teman SMA yang kebetulan kuliah di kampus ternama. Belum lagi saat bergabung dalam seminar atau komunitas di luar kampus. Rasanya nggak lengkap kalau mereka belum menodong saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dimaksudkan sebagai candaan tapi jatuhnya malah seperti menyudutkan.
“Memangnya di Bandung ada kampus kayak gitu?”
“International Women University Bandung bukan khusus karyawan, kan?”
“Di sana lulusnya pasti gampang banget, ya?”
“Itu udah ada akreditasinya belum, sih?”
Namun, man of the match-nya adalah saat saya bertemu saudara atau kerabat jauh yang entah kenapa selalu bertingkah layaknya si paling tahu segalanya. Khususnya soal pendidikan.
“Oh, di Bandung. Kenapa nggak di Unpad atau UPI aja? Masuknya susah, ya?”
“Kalau swasta sih Telkom sama Unikom katanya bagus. Kenapa nggak nyoba daftar ke sana?”
Ironisnya, kebanyakan dari mereka yang ngomong bahkan nggak mengenyam pendidikan setinggi saya. Tapi, pemahaman mereka soal pendidikan seolah melebihi Menteri Pendidikan. Dan untuk kasus yang satu ini saya memilih lebih banyak diam. Sebab kalau saya bicara, hubungan persaudaraan kami pasti langsung berantakan.
Terpaksa berbohong kalau kuliah di International Women University Bandung
Hal yang nggak kalah menjengkelkan saat orang-orang tahu bahwa saya adalah mahasiswa International Women University Bandung adalah munculnya tuntutan untuk menjelaskan sejarah berdirinya kampus hingga alasan kenapa saya bisa berakhir di sana.
“Kenapa women, sih?” Ini adalah contoh pertanyaan template yang sudah pasti ditanyakan orang-orang. Sebuah pertanyaan singkat yang kalau saya jawab akan melahirkan seribu pertanyaan baru yang jelas-jelas terlalu membosankan untuk dijawab. Lebih membosankan lagi kalau yang menanyakan pertanyaan itu adalah kenalan baru atau driver ojol sok asyik yang kebetulan jasanya saya gunakan hampir setiap hari.
Basa-basi pertama pasti diawali dengan pertanyaan saya kuliah di mana. Saat saya menjawab International Women University Bandung, pertanyaan selanjutnya adalah soal lokasi kampus, dengan catatan mereka nggak bingung. Tapi apesnya, pernah ada dua atau tiga orang driver yang mengira saya seorang transgender begitu tahu bahwa saya kuliah di International Women University.
Mungkin para driver ojol itu memang sedang bercanda. Tapi, dari dulu saya kerap mengalami trust issue pada seseorang. Hingga akhirnya setiap kali driver ojol menanyakan saya kuliah di mana, saya pun menjawab bahwa saya kuliah di Unikom atau UPI dengan jurusan bla bla bla. Dan sudah bisa ditebak, pertanyaan seputar kuliah berakhir saat itu juga.
Perlakuan seperti di atas kadang masih saya rasakan sampai sekarang. Bedanya, sekarang saya sudah nggak terlalu peduli, bahkan tak jarang ikut menertawakan reaksi orang-orang yang baru tahu kalau ada kampus berunsur “women” yang ternyata nggak dikhususkan untuk women. Mungkin di tahun pertama saya masih dipenuhi ambisi dan cenderung baperan, tapi semua itu berubah saat saya mulai magang.
Skill over gengsi
Semakin lama menempuh pendidikan, saya semakin menyadari bahwa kuliah di International Women University Bandung bukan hal yang perlu saya sesali. Sebab, nggak semua mahasiswa di Indonesia memiliki privilese untuk mempelajari komunikasi gender yang kebetulan menjadi mata kuliah wajib semua jurusan di kampus saya.
Selain itu, nggak semua mahasiswa di Indonesia bisa belajar bahasa Korea selama 4 semester karena kebetulan IWU memiliki kerja sama internasional dengan beberapa kampus di Korea Selatan. Bahkan saat konsep titip absen ramai dilakukan teman-teman saya yang katanya kuliah di kampus negeri ternama, saya nggak punya alasan untuk nggak menjadi murid teladan karena saat itu di kelas saya isinya hanya 10 mahasiswa.
Akan tetapi yang benar-benar membuat saya nggak merasa minder lagi kuliah di International Women University Bandung adalah saat menjalani PKL. Pengalaman PKL di salah satu perusahaan media daring di Kota Bandung sebagai bagian dari tim Marketing Communication adalah pengalaman yang membuat saya akhirnya percaya bahwa skill jauh lebih penting daripada gengsi.
Pengalaman itu pula yang kemudian membuat saya makin percaya diri untuk mencoba banyak hal baru. Salah satunya melamar sebagai digital advertiser di salah satu perusahaan swasta di Kota Bandung. Percaya atau nggak, saya berhasil menyingkirkan 29 orang lainnya padahal sebagian dari mereka sudah punya pengalaman kerja dan lulusan kampus ternama. Sementara saya masih berstatus mahasiswa semester 6 di kampus biasa saja yang bahkan belum memiliki pengalaman kerja.
Mereka start jauh lebih dulu, wajar kalau mereka jauh lebih terkenal maju
Saya termasuk orang yang cukup setuju dengan istilah “masa depan ada di tangan kita”. Tapi, nggak bisa dimungkiri kalau menjadi mahasiswa dari kampus kecil memang butuh perjuangan ekstra. Apalagi saat saya masih tergolong angkatan pemula yang sistem dan fasilitas kampus saya belum sebagus dan selengkap kampus-kampus pada umumnya.
Saya ingat, sekitar 6 tahun lalu, saya mengajak 3 orang teman untuk mendirikan sebuah UKM bernama Tim Redaksi di kampus. Saya masih belum lupa seperti apa perjuangan untuk bisa merealisasikan UKM tersebut. Tapi, mengetahui bahwa UKM yang saya dirikan masih eksis hingga sekarang membuat saya merasa senang dan terharu sekalipun saya sudah pensiun dari sana. Dan saya yakin perasaan seperti ini nggak akan pernah dirasakan orang-orang yang kampusnya memang sudah maju.
Pada akhirnya, satu-satunya hal yang saya sesali adalah perasaan minder yang menggerogoti saya bertahun-tahun lalu. Entah berapa banyak hal yang bisa dieksplorasi kalau dulu saya bisa lebih percaya diri. Harusnya saya paham sampai kapan pun International Women University Bandung nggak bisa disandingkan dengan kampus-kampus ternama tempat teman-teman saya mengenyam pendidikan. Mereka start jauh lebih dulu, wajar kalau mereka jauh lebih terkenal maju.
Penulis: Halim Mohammad
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Mahasiswa Bandung yang Kuliah di ITB, UNPAD, UNPAR, UPI, dan UNISBA Punya Ciri Masing-masing.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.