Sejak tren Citayam Fashion Week menggema, banyak orang yang jadi penasaran dengan daerah Citayam. Wajar, karena daerah ini memang jarang terekspos media, jadi bisa dibilang kalau daerah ini nggak terkenal.
Jadi, Citayam itu dulunya hanya daerah kampung yang berada di pinggiran Jakarta, dan terbagi dalam dua pemerintahan administratif. Sebagian kecil masuk wilayah administrasi Kota Depok, yaitu kecamatan Cipayung, dan sebagian besar masuk wilayah Kabupaten Bogor, mencakup kecamatan Bojong Gede dan Tajurhalang.
Dengan kata lain, Citayam menghubungkan antara wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok, di Jawa Barat. Kalau kita mau menuju ke Citayam dari Jakarta, bisa naik kereta, turun tepat di Stasiun Citayam. Waktu tempuhnya kira-kira sekitar 30 menit, tapi bisa lebih cepat lagi tergantung dari stasiun mana kita berangkat. Sementara kalau menggunakan kendaraan pribadi, seperti motor, kira-kira waktu perjalanannya 1 jam, juga tergantung situasi lalu lintas.
Jadi, sebelum kita mengupas kondisi yang sebenarnya, kita ketahui dulu bahwa Citayam mulai jadi pilihan daerah hunian alternatif sejak awal 1990, ketika harga tanah di Jakarta semakin melonjak. Saat itu banyak pengembang kecil yang membangun perumahan sederhana di sini, karena harga tanah yang masih relatif terjangkau.
Perumahan-perumahan itu juga menawarkan harga rumah yang lebih murah dibandingkan lokasi lain, bahkan sebagian bersubsidi. Sejak banyaknya perumahan dibangun, para pekerja kelas menengah ke bawah di Jakarta pun mulai beramai-ramai hijrah ke Citayam. Dan hingga kini bisa dibilang wilayah Citayam jadi salah satu kantong terbesar permukiman kelas menengah ke bawah yang bekerja di Jakarta.
Tapi sayang, berkembangnya wilayah Citayam sebagai daerah pemukiman tidak dibarengi dengan kesiapan pemerintah daerah setempat dalam menyediakan infrastruktur yang baik dan ruang-ruang publik untuk warga. Jadi jangan heran, ketika kita keluar dari Stasiun Citayam, kesemrawutan langsung terlihat dengan jelas dan tidak bisa dihindarkan.
Jalan di depan Stasiun Citayam sebetulnya cukup sempit dan hanya muat untuk dua mobil yang berpapasan. Tapi di sisi kiri dan kanannya sudah “dijajah” barisan angkot yang ngetem nunggu penumpang, lapak pedagang kaki lima, dan tukang ojek pangkalan.
Suara keras calo-calo angkot kepada penumpang yang baru keluar dari stasiun, bersama dengan suara deru kendaraan dan bunyi sirine palang perlintasan kereta, juga memicu kebisingan yang perlu ditolerir oleh telinga.
Posisi Stasiun Citayam memang dekat dengan palang perlintasan kereta yang sering tertutup, setidaknya dua hingga tiga kali dalam waktu 10 menit. Sekali menutup durasinya bisa mencapai tiga hingga empat menit. Jadi bisa dibayangkan, efek kemacetan yang ditimbulkan.
Menghindari macet dengan berjalan kaki juga bukan ide yang bagus, karena hampir tidak ada trotoar di seluruh wilayah Citayam. Ketika hujan turun, genangan muncul di mana-mana karena saluran air yang dibuat sesukanya. Got di kanan-kiri jalan rata-rata kecil dan sudah tertutup tanah bercampur debu. Sebagian lain menghilang karena dijadikan halaman toko yang berhimpitan.
Di pinggir jalan, tiang-tiang listrik dipancang tanpa memperhatikan keamanan warga. Pada beberapa titik, antara kabel listrik dan tanah bahkan hanya berjarak sekitar 2,5 meter. Kabel-kabel listrik yang menjulur ke bawah itu bisa saja suatu saat putus karena tersangkut kendaraan molen pengembang rumah yang melintas serampangan.
Tidak jauh dari Stasiun Citayam, terdapat Pasar Citayam yang dalam waktu dekat akan direnovasi. Ini merupakan satu-satunya pusat perbelanjaan bagi warga, karena sampai saat ini belum ada mal atau plaza yang berdiri.
Dan jangan pula dibayangkan pasarnya bersih dengan penataan pedagang yang rapi. Tumpukkan sampah basah yang teronggok di depan pasar mengeluarkan aroma busuk. Air sampahnya meluber hingga ke jalan. Pejalan kaki yang melintasi tumpukan sampah itu pasti akan menutup hidung. Pasar Citayam memang minim tempat pembuangan air. Saluran yang ada tidak bisa diandalkan alias mampet. Ini pula yang membuat Pasar Citayam sering kebanjiran kala musim hujan.
Masuk ke dalam pasar, kondisinya juga kotor, becek dan kumuh. Jumlah pedagang yang sudah membludak, antara kios dan kaki lima sudah tidak seimbang. Bahkan banyak pedagang yang berjualan di lorong kios dan sempadan jalan. Peletakan antara pedagang pasar basah dan kering juga sudah bercampur. Selain itu, pasar tidak memiliki lahan parkir yang layak dan pengelolaan lahan parkirnya dilakukan oleh masyarakat secara swadaya.
Di Citayam juga tidak ada ruang publik yang menarik untuk jadi tempat tongkrongan anak mudanya. Ketika Roy cs memilih pergi ke Dukuh Atas, sebagian anak-anak muda lainnya tetap memilih menghabiskan waktu luang di halaman rumah, tanah lapang, atau lebih tepatnya lapangan sepak bola.
Ya, selain jadi tempat olahraga, lapangan bola juga menjadi pilihan warga sebagai ruang interaksi, atau tempat bertemu orang-orang dari berbagai latar belakang. Dan lapangan itu akan sedikit berubah wajahnya ketika masuk musim kawin di bulan-bulan tertentu, di mana akan disulap menjadi panggung hiburan dangdut yang cukup besar oleh yang punya hajatan.
Selain di lapangan, ruang interaksi warga juga biasa terjadi di kedai-kedai kecil yang banyak ditemui di pinggir jalan. Biasanya, tempat ini jadi pilihan para ABG untuk bertemu teman. Tapi, untuk bercengkerama di tempat seperti ini tentunya mereka harus mengeluarkan uang terlebih dulu. Jadi dengan kurangnya fasilitas publik di Citayam, maka tidak heran kalau remaja Citayam sekarang menginvasi kawasan Sudirman, di Jakarta.
Tapi yang perlu diingat, fashion nyentrik yang ditampilkan para remaja Citayam di ibu kota itu sebetulnya sangat kontras dengan keadaan Citayam yang sebenarnya. Bahkan, stempel Citayam Fashion Week justru telah mengaburkan pandangan orang terhadap wilayah Citayam. Sejak nama Citayam dikenal luas khususnya oleh orang Jakarta, banyak yang penasaran lalu datang ke Citayam untuk melihat wujud asli. Ternyata yang ditemui jauh dari stigma yang selama ini digaungkan.
Jadi, itulah wajah sebenarnya daerah yang namanya sedang jadi buah bibir masyarakat seantero Indonesia. Di balik gemerlap, ada sisi yang tak tertangkap kamera.
Penulis: Fajar Fery Ferdiansyah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Memahami Logika Cerdas Baim Wong Mendaftarkan Citayam Fashion Week ke HAKI