Perilaku main hakim sendiri sedang marak-maraknya dilakukan warga penghuni negeri dengan tagline negara hukum. Mulai dari Anggota DPR RI yang berlagak layaknya Polisi Pamong Praja. Sampai seorang pendaki gunung yang menggrebek pasangan yang asoy geboy di tenda. Apakah negara kita sudah benar-benar berubah dari negara hukum menjadi negara main hakim sendiri?
Perilaku main hakim sendiri adalah sebuah perilaku yang menghukum seseorang yang dianggap bersalah tanpa mengikuti proses peradilan yang legal sesuai hukum yang berlaku. Bahasa kerennya disebut vigilante. Sering kali sanksi yang diterima korbain main hakim sendiri lebih kejam dari proses hukum yang legal.
Lihat saja perilaku main hakim sendiri yang dilakukan anggota DPR RI yang tanpa perlu peradilan resmi langsung saja menjustifikasi bahkan menghukum seorang pekerja seks lebih kejam dari yang didapatkan jika yang bersangkutan terjaring oleh aparat hukum yang legal. Wanita ini mengalami diskriminasi sosial yang akan diterima seumur hidupnya. Hukuman yang mematikannya secara sosial bahkan ketika dia memutuskan untuk berubah menjalani hidup yang lebih dengan pekerjaan yang tidak melanggar hukum. Hal itu tidak akan bisa, karena hukuman moral yang diterimanya jauh lebih berat dari hukuman pidana. Meskipun saya masih tidak tahu undang-undang mana yang menyatakan bahwa PSK adalah perilaku melanggar hukum?
Saya tahunya PSK adalah perilaku yang tidak sesuai norma kesusilaan. Tapi jika ia benar adalah perilaku yang melanggar hukum mengapa yang menjadi fokus adalah pemberi jasa bukan penawar jasa?
Perilaku main hakim sendiri ini memang sudah mendarah daging di masyarakat kita. Jika kalian masih ingat tentang sepasang kekasih yang digrebek di sebuah kamar kos di Tangerang oleh warga beserta ketua RT. Mereka dipaksa keluar dan ditelanjangi karena dituduh berbuat asusila yang ternyata sama sekali tidak terbukti. Akhirnya bapak ketua RT yang terhormat dan beberapa warga selaku polisi moral ini masuk bui. Meski begitu hukum dan sanksi sosial yang diderita pasangan tadi tetap ia terima bahkan membuat keduanya mengalami trauma.
Dulu juga ada seorang yang dikeroyok dan dibakar hidup di Kecamatan Babelan, Bekasi karena disangka mencuri amplifier masjid. Padahal yang bersangkutan datang ke masjid untuk solat tapi malah menjadi korban main hakim sendiri. Setelah korban dipukuli keroyokan tanpa ada niat untuk mencaritahu kebenarannya, ia kemudian dibakar, barulah diketahui bahwa amplifier masjid masih utuh. Tak layak rasanya mengatakan perilaku ini sebagai main hakim sendiri karena hakim masih coba mendengarkan keterangan tersangka untuk membuktikan ia bersalah atau tidak. Ini tanpa ada niat untuk mendengarkan jawaban orang yang disangka melakukan tindakan kriminal tapi sudah melakukan penghukuman yang teramat kejam.
Baru-baru ini perilaku main hukum sendiri ini terjadi lagi. Sekarang setting lokasi tidak lagi di hotel atau kos-kosan. Setting lokasinya lebih liar tapi drama dan alur ceritanya selalu sama seperti yang sudah-sudah. Sekelompok orang merasa lebih bermoral dari lainnya dan melakukan penggerebekan terhadap aktivitas kelompok lainnya yang dianggap tidak bermoral. Tidak cukup hanya menggrebek, para pendaki gunung yang bertindak bak polisi moral ini juga merekam aktivitas yang dilakukan pasangan ini dan parahnya rekamannya terunggah di sosial media.
Saya mengatakan terunggah karena pelaku yang mengunggah rekaman video itu mengaku bahwa bukan dirinyalah yang merekam. Namun dengan sotoinya pengunggah ini menghukum pasangan yang melakukan aktivitas seksual di tenda dengan mengunggah rekaman tersebut. Lebih dari pelaku pengunggahan yang mengaku pecinta alam ini mengundang netizen untuk menjustifikasi pasangan yang berada dalam tenda. Ia membuat caption, “Gunung bukanlah tempat mesum. Bagaimana perasaan para pendaki di sini? Curahkan!”
Sayangnya bukan pembenaran dan dukungan yang ia dapatkan malah hujatan dan caci maki. Sampai akhirnya pelaku yang mengunggah rekaman ini malu dan memutus pensiun bermedia sosial, entah sementara entah selamanya. Niat menjadi polisi moral dan menghukum orang malah sendirinya kena hukum dan mendapatkan sanksi sosial. Sampai saking malunya akun Twitter-nya menghilang.
Tidak ada juga hubungannya antara cinta alam dan aktivitas seksual yang dilakukan pasangan pendaki dalam tenda. Belum lagi tidak ada informasi pasangan tersebut adalah pasangan legal formal, eh ndilalah sudah main hukum saja tanpa tahu kepastian informasi. Lagian aktivitas tersebut dilakukan tidak di ruang publik tapi di ruang privat, tidak merugikan orang lain. Kecuali kalau tenda itu memang milik Anda dan pasangan itu seenaknya asoy geboy di tenda Anda.
Kita seharusnya menghentikan segala praktik main hakim sendiri. Selain karena tidak manusiawi sama sekali, perbuatan ini bisa membuat kita yang sebelumnya beradap menjadi biadab. Kecuali Indonesia sudah berubah, bukan lagi sebagai negara hukum tapi negara main hakim sendiri.
BACA JUGA Hukum Catur Haram dan Kegemaran Menyusahkan Diri dengan Selalu Bertanya “Hukumnya Apa?” atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.