Beberapa waktu yang lalu, saya menulis sebuah artikel di Mojok berjudul “Stigma soal Ukuran Payudara yang Bikin Emosi”. Ketika saya sedang menikmati tulisan saya yang dimuat itu (ehem), sebuah komentar menarik perhatian saya. Si empunya komentar itu menyebut bahwa suka tidak suka, tulisan saya itu adalah tulisan seorang feminis. Iya, saya dicap feminis.
Kenapa komentar ini muncul? Ya, karena dalam tulisan itu, saya menggaris-bawahi bahwa saya tidak mau disangka feminis. Tapi, setelah membaca komentar itu, saya jadi mikir sendiri. Kenapa juga saya harus menekankan kalau saya bukan feminis? Memangnya feminis itu dosa ya? Memangnya Feminisme dilarang undang-undang juga kayak korupsi, kolusi, dan nepotisme?
Cuma setelah saya inget-inget, rasanya bukan cuma saya lho yang suka menekankan diri bukan feminis.
Sering saya membaca utas atau artikel dari orang-orang di dunia maya yang berbicara soal hak-hak perempuan. Tapi setelah itu yang bersangkutan menggaris-bawahi bahwa dirinya bukan feminis. Saya tidak tahu apa alasan yang bersangkutan emoh dicap feminis. Tapi secara pribadi, saya merasa kurang sreg disebut feminis karena ilmu dan praktik saya sangat kurang. Kalau ditanya tokoh-tokoh feminis dengan teorinya, saya pasti melongo. Siapa itu Simone de Behaviour eh Beauvoir? Nawal El-Saadawi? Apa saja teori mereka? Ah, mbuh.
Konsep-konsep Feminisme yang sedang tren seperti mansplaining dan manspreading juga rasanya asing buat saya. Sudahlah bahasanya terlalu mentereng, konsepnya pun kadang bikin saya bingung untuk diterapkan. Jadi, ya akhirnya cuma bisa “Ooo” aja ketika ada temen feminis yang membahas itu.
Nah, selain tidak pernah memahami Feminisme secara kffah, saya juga tak pernah mengikuti kegiatan-kegiata Feminisme. Women March pun saya tak pernah ikut. Dulu sewaktu masih lajang, tiap ada kesempatan libur, pasti saya manfaatkan untuk jalan-jalan ke mal.
Kini ketika sudah berkeluarga, hari libur selalu saya habiskan dengan anak dan suami biarpun di rumah saja. Tak ada alokasi waktu untuk berdiskusi atau berdemonstrasi bersama para feminis. Makanya saya merasa tidak nyaman disebut feminis.
Saya juga merasa sangat amat remeh di depan kenalan-kenalan saya yang feminis beneran. Kebetulan, saya kenal dengan beberapa aktivis perempuan yang kerjaannya membantu masalah KDRT sampai turun aksi terkait dengan kebijakan pemerintah. Buset deh… kalau lihat perjuangan temen-temen saya itu, saya pasti malu sekali karena saya sering egois mementingkan keperluan sendiri.
Profesi dan jenis pekerjaan saya juga tak membantu banyak. Saya yang merupakan seorang ibu rumah tangga sangat jauh dari bayangan orang mengenai sosok feminis yang biasanya wanita karier. Interaksi dengan feminis di dunia maya juga membuat isu ini jadi perkara sensitif. Sebab bukan sekali dua kali saya mendapati akun-akun yang menyebut diri feminis itu merendahkan ibu rumah tangga. Hiks, padahal, temen-temen feminis di dunia nyata baik-baik aja tuh sama saya yang IRT.
Singkat kata, saya merasa gelar feminis itu terlalu berat. Dilan mungkin kuat, tapi saya mah apa. Dan bertambah semakin berat karena pandangan orang yang sangat negatif ke feminis dan Feminisme. Banyak yang menganggap feminis kurang asyik, kurang santai, terlalu galak, dan lain sebagainya. Ada juga yang menyebut feminis sudah kebablasan dan tidak sesuai dengan norma di Indonesia.
Feminis juga sering dianggap sebagai pembenci laki-laki. Malah pernah juga saya menemukan postingan WA yang menganggap feminis itu tukang seks bebas dan aborsi. Astagfirullah.
Coba bayangkan. Kamu tuh mau ngomong soal marital rape yang menyakitkan. Tapi sama orang-orang kamu dikonotasikan sebagai seorang perempuan nakal. Kamu dianggap ngikutin budaya barat dan mau merusak budaya Indonesia. Gila tidak?
Saya yakin bukan cuma saya yang takut dianggap yang tidak-tidak seperti ini. Tapi, meski saya sering enggan disebut feminis, pada 90 persen kesempatan, saya hampir selalu sepakat dengan para feminis. Saya sepakat dengan ide-ide mereka soal marital rape, masalah stigma pakaian perempuan, dan lain sebagainya.
Melihat perjuangan kenalan-kenalan saya, juga membuat saya kagum ke para feminis. Saya sering diceritakan soal si X yang dipukuli suaminya, sampai si Y yang dipaksa berhubungan intim sampai trauma. Jadi terlepas dari label, saya sepakat dengan kakak yang mengomentari tulisan saya bahwa ide-ide Feminisme pasti ada di kepala seorang perempuan. Suka tidak suka, perempuan pasti memiliki kadar Feminismenya sendiri.
BACA JUGA Pahitnya Menjadi Feminis Nanggung yang Tidak Diakui Sister Feminis dan Ukhti Fillah dan tulisan Nar Dewi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.