Perkenalkan, kami kakak-beradik empat bersaudara. Ini adalah keluarga yang normal, hanya saja, ibu saya bekerja sebagai anggota dewan sejak 2014 lalu. Dan sebelumnya lagi, periode 2004-2009 ayah saya yang duduk di sana.
Setelah turun dari DPR, ayah lanjut belajar S2 bidang politik di UI, dan bikin Ikatan Kewarganegaraan Indonesia (IKI) bareng teman-temannya. IKI ini mitra swasta dinas kependudukan dan pencatatan sipil (Dukcapil). Beberapa kali saya ikut ayah ke kantor IKI atau saat sedang turun ke daerah-daerah. Beliau bekerja dengan memberikan advokasi masyarakat yang belum mendapat haknya berupa dokumen kewarganegaraan, seperti akte kelahiran, KTP, surat nikah, dan sebagainya.
Sementara ibu, sebelum jadi DPR, banyak menghabiskan waktu di kampus sebagai dosen, atau menjadi pembicara pada pengajian ibu-ibu. Memang nggak sebeken Mamah Dedeh memang, tapi lumayanlah dikenal di daerah Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Yang akhirnya jadi Dapil ibu buat maju ke Senayan.
Sejujurnya saya lebih nyaman memperkenalkan orang tua sebagai dosen atau pekerja swasta, ketimbang anggota dewan. Anggapan orang sering ketinggian tentang keluarga DPR. Keluarga saya memang bukan kalangan menengah ke bawah, tapi kalau dibilang sebegitu kaya, saya juga mikir-mikir.
Terakhir kali saya pulang ke rumah, 2018 lalu, ayah malah sempat minjem uang 5 juta rupiah ke saya. Orang kaya mana ada yang ngutang? Batin saya. Sekarang kondisinya sudah lebih baik. Dulu pas masih SD, rumah kami malah kadang mati lampu karena belum bayar tagihan listrik. Saya sampai dengar kasak-kusuk di keluarga besar—DPR kok susah alias mlarat?
Latar belakang keluarga politik begini, bukan serta-merta kami di rumah sering bahas politik. Pertama, ayah-ibu memang jarang di rumah karena sering keluar kota. Begitu lagi dalam kota, seringnya pulang larut malam. Kedua, saat keduanya tak menjabat anggota DPR (antara 2009-2014), giliran anak-anaknya yang sudah tidak di rumah. Mas saya kuliah di Surabaya. Mbak ke Malang bareng saya—mbak kuliah, saya mondok. Tinggal si bungsu di rumah.
Kami lebih sering ketemu di grup WhatsApp keluarga—yang dibuat pertengahan 2014. Dan lagi-lagi, jarang bahas politik—malah hampir tidak pernah. Saya tahu ibu dan ayah milih presiden yang sekarang menjabat, wajar toh mereka kan kader partai pendukung. Namun saya, kakak-kakak, dan adik, tidak diultimatum buat nyoblos Jokowi. Yang jelas kami sepakat buat nyoblos nama ibu dan ampun deh, rumah kami itu macam gudang logistik kampanye, isinya spanduk ibu semua.
Saya bukannya antipati sama politik. Saya juga baca-baca berita, diskusi dengan teman-teman di warung kopi, kadang menggerutu, dan sesekali menulis. Namun di grup WhatsApp keluarga, kami punya semacam hukum adat yaitu agar menghindari pembahasan politik. Politik sedari kecil sudah merebut banyak waktu kebersamaan kami sebagai keluarga. Setidaknya kami kakak-beradik ingin guyub tentrem di grup WhatsApp. Macam keluarga cemara—jauh dari ingar-bingar politik itu.
Kemudian ibu maju lagi di Pemilu 2019. Masih di Dapil yang sama. Masih di partai yang sama. Namun nomor urutnya berubah jadi urutan pertama. Setelah pemungutan suara, ayah-ibu update bertahap perolehan suara ibu di pileg kali ini. Info terakhir ayah mengabarkan, “posisi DPR itu kayaknya lepas, Nak. Nggak apa-apa, jabatan itu amanah dari Tuhan. Saya minta anak-anak tetap enjoy, ambil hikmahnya. Allah sayang ibu, supaya lebih banyak memanjakan badan setelah diforsir selama 5 tahun belakangan.”
Padahal tanpa ayah bilang begitu juga, kami baik-baik saja. Saya bilang, ayah-ibu ini dua-duanya pernah nyalon, dua-duanya juga pernah gagal, dan pas gagal kemarin juga anak-anak masih bisa sekolah dan hidup bahagia. Kalau diminta enjoy, kami sudah lebih dari enjoy sejak dulu.
Setelah itu mbak kembali kirim-kirim foto perkembangan anaknya, yang sudah bisa berdiri tapi masih gemetar lututnya. Mas bolak-balik foto di tempat proyek, sebagai petugas K3. Adik jarang melapor, karena sibuk ngerjakan tugas dosen mungkin. Saya minta doa agar tahun ini bisa sidang thesis dan pulang. Ayah-ibu kencan melulu di bioskop atau warung makan.
Lalu saya ingat, suasana hati saya mulai resah pasca hari kemerdekaan itu, saat berita rasisme di sejumlah kota kembali ramai. Saya kira bukan hanya saya, tapi juga yang lain. Terbukti beranda media sosial saya penuh dengan isu pelanggaran HAM. Kala Pak Jokowi bilang bahwa “memaafkan itu lebih baik” saya sadar pemerintahan ini sedang tidak baik-baik saja.
Kejadian berturut-turut setelahnya makin terasa panas. Seakan jadi tanda bahaya sebelum periode kedua dimulai. Bencana asap di Sumatra dan Kalimantan, bentrok antara tentara dan sipil berebut tanah, kerusuhan di Papua, penangkapan aktivis HAM, pemilihan capim KPK yang bermasalah, pengesahan RUU KPK yang terkesan terburu-buru, pembahasan RUU yang kata sebagian orang tidak mewakili rakyat, dan lain-lain dan lain-lain. Dan saya paham, salah satu dari sasaran protes orang-orang adalah ibu saya.
Saya gatal sekali, ingin juga ikut menghujat sikap DPR dan pemerintah, tapi berarti saya pun akan menghujat ibu sendiri. Dan entah apakah itu masuk kategori durhaka. Dilema rasanya. Akhirnya saya bertanya duluan ke ayah, “Yah, apa ayah setuju dengan Revisi UU KPK?” dan diskusinya jadi panjang sebab ayah bilang ia setuju. Namun ayah menambahkan, seharusnya pimpinan KPK dan dewan pengawas nanti ditunjuk langsung oleh Presiden, bukan DPR.
Gayung bersambut, ternyata bukan saya seorang yang resah. Mas tiba-tiba mengirim berita ke grup WhatsApp keluarga: Pemerintah dan DPR Sepakat Permudah Pembebasan Bersyarat Koruptor. Lalu ia melanjutkan, “Bu, kok DPR malah mempermudah sih? Alasannya apa?”
Sejak lima tahun grup WhatsApp keluarga ini berdiri, rasanya baru sekarang kami menggugat. Begitu turun tagar #ReformasiDikorupsi di media sosial, suasana tambah pelik lagi. Pergerakan massa mahasiswa bahkan terasa walau hanya lewat perantara layar laptop. Mosi tidak percaya DPR bergema di mana-mana. Dalam arus perlawanan ini, dari keluarga kami harusnya menurunkan saya dan adik. Sebab hanya kami berdua yang masih mahasiswa—andai saja ayah belum lulus tahun lalu.
Sayangnya saya sedang di luar negeri. Dan adik, entah apa ia ikut turun aksi atau tidak. Mungkin juga ia khawatir minta restu orang tua, sebab di lapangan nanti ia akan meneriakkan mosi tidak percaya DPR—yang mana adalah mosi tidak percaya pada ibu. Dilema betul. Minta restu orang tua, hanya untuk menggugat mereka.
Lalu tiba-tiba mas kembali mengirim gambar di grup whatsapp keluarga. Foto peserta aksi yang memegang selembaran bertuliskan: Asline mager pol, tapi piye meneh? DPRe PEKOK!!
Ibu mengabari sedang terkurung di kantor. Entah apa bakal menginap di sana atau bisa pulang. Di sela-sela doa kami agar suasana kembali kondusif, dan orang tua kami aman di Jakarta, ibu dicecar dengan berbagai soal. Kami tidak tahu juga apa berbicara dengan ibu—yang hanya seorang dari ratusan anggota DPR itu—akan berpengaruh. Namun kami tetap bertanya, terus bertanya.
“Biarin perwakilan mahasiswa ketemu dengan DPR,” kata mas, “dengarkan tuntutannya.”
“Tadi Bamsoet udah mau keluar, tapi pas dilemparin gas air mata. Dibawa lagi ke dalam,” jawab ibu.
“Mahasiswa itu bukan cuma pengen ditunda, tapi dibatalin RUU yang bermasalah,” saya menyusul.
“Mereka melihatnya sepotong-potong. Nanti bisa dilobi-lobi lagi pasal yang tidak disepakati. Ini seperti ada yang gerakin, mereka nggak mau dengar.”
“Iya, memang banyak opini liar yang beredar, berarti kurang sosialisasi RUU-nya,” lanjut saya.
“Tapi mahasiswa kayaknya nggak ada yang nunggangin dan biayain deh, Bu,” sahut mas.
“Iya, nggak ada kok, Bu. Temen-temen di kampus nggak ada yang dibayar. Tadi ada yang ke Senayan juga dari Semarang, tapi di Brebes ditahan polres,” adik saya akhirnya muncul, jiwa mahasiswanya terpanggil.
“Iya, mahasiswa solidaritasnya tinggi.”
Mas meyakinkan ibu kalau demo ini benar-benar murni niat baik mahasiswa. “Liat temannya demo, yang lain ikut tergerak juga,” sambungnya lagi.
“Itu pada keberatan RUU KPK juga, Bu,” mbak menyahut sayup-sayup.
“Lagian juga udah tau banyak yang kontra kenapa buru-buru disahkan sih, Bu? Dua minggu lalu dosen-dosen yang nolak RUU KPK pada dapet teror. Katanya sampai dimiscall ratusan kali dari nomor luar. UGM, UNDIP, UI, pada begitu,” serobot adik. Tampaknya mulutnya juga sudah berbusa.
“Betul begitu?” ibu bertanya. Dan adik saya kembali menjawab dengan panjang lebar.
“Kalau mau ikutan aksi, telpon ibu ayah dulu,” saranku ke adik. Kalau-kalau adik sungkan mau minta izin. Sebelum adik sempat menjawab, ayah lebih dulu mengetik. Pesan lengkap ayah saya transkripkan tanpa saya ubah sehuruf pun:
Mala, kalo ada demo sesekali ikut nak. Gpp. Asal tdk terlibat dlm.aksi yg memgarah kekerasan. Yg keras2 biar mahasiswa cowok sj
Ya, orang tua kami memang politikus. Ibu mungkin akan dikenang sebagai bagian dari DPR pekok, DPR bego, nggak punya otak. Namun biarkan saya mengenangnya sebagai orang tua yang memberi restu kepada anaknya untuk menggugat. Dan dalam gugatan itu, andai saya berada di Jakarta, mungkin saja saya juga ikut menyanyikan yel-yel:
Dua lima jigo, dua lima jigo… DPR bego…
Dua lima jigo, dua lima jigo… DPR bego…
Dan di sela-selanya, saat jeda menata napas dan minum air botolan yang tinggal seperempat, saya mungkin akan menelepon ibu yang terkurung di kantor, “Bu, sudah makan malam? Semoga malam ini ibu bisa pulang. Besok kita ketemu lagi di Senayan. Istirahat yang cukup, Bu.”
Fes, September 2019 (*)
BACA JUGA Mahasiswa dan Polisi: Renggangnya Hubungan Baik Saya dengan Kakak Akibat RUU Ngawur dan Elite Politik atau tulisan Agus G. Ahmad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.