Cukup menarik membaca artikel dari Tiara Uci yang notabene orang Surabaya yang setuju dengan pemindahan ibu kota Jatim ke Malang. Beliau mengutip dari wacana yang dilontarkan oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa tentang perpindahan ibu kota ke Malang. Ya, semua sudah tahu kalo ada wacana pemindahan ibu kota Jatim dari Surabaya sudah bergulir satu dekade silam, hanya saja waktu itu yang dipilih adalah Madura.
Penulis itu mengungkapkan alasan perpindahan ibu kota provinsi ini. Beliau mengatakan jika kepadatan Surabaya tinggi, properti kian mahal, polusi, dan macet. Selain itu, patokan Malang pantas menjadi pengganti Surabaya adalah memiliki tol, terminal, dan bandara. Bahkan, yang paling menggelikan menurut saya dari penulis tersebut adalah kampus. Wow, saya baru dengar ini.
Saya sebagai permanent resident selama hampir dua belas tahun di Malang, izinkan mengajukan balasan untuk orang Surabaya yang setuju kalo ibu kota Jatim pindah ke Malang. Jujur, saya keberatan dengan opini Tiara Uci. Artinya, saya nggak setuju dengan pemindahan ibu kota Jatim ke Malang. Kenapa? Berikut saya buatkan argumen yang bisa mematahkan argumen Anda.
#1 Infrastruktur lengkap? Yakin?
Anda bilang kalo fasilitas memadai guna mendukung segala bentuk aktivitas. Apa yakin dengan argumen Anda sendiri? Apa pernah “memiliki pengalaman tinggal di Malang minimal satu tahun”? At least, Anda bisa meriset secara langsung, susah kalo cuma hasil berkelana sama Mbah Google dari rumah sambil rebahan.
Terutama sarana transportasi. Malang beda jauh sama Surabaya yang punya angkot. Trans Jatim, dan Suroboyo Bus. Malang cuma angkot, itu saja enggak membantu banget. Malah, sorry to say, angkot ikut bikin jalan Malang ruwet karena mengetem sembarangan dan potong jalan tanpa permisi.
Asal punya tol saja nggak cukup. Harus didukung dengan sistem penunjangnya. Kalo di Malang, begitu keluar tol, langsung ketemu kemacetan! Masa iya begitu saja langsung dibilang cocok jadi ibu kota provinsi?
Soal kesehatan, bukan patokan. Kota Malang hanya punya satu RS provinsi, Surabaya? Ada Dr. Soetomo, malah ada RSAL. Soal adu RS, banyakan Surabaya, kenapa malah Malang yang Anda inginkan?
Izin ralat, banyaknya hotel bukan indikator suatu kota jadi ibu kota. Kalo jadi ibu kota pariwisata, itu yang benar. Apa hotel yang dimaksud untuk rakor? Kalo itu masuk akal sih, tapi sekali lagi itu bukan indikator jadi ibu kota provinsi.
Soal tower? Tambah kapasitas berarti tambah frekuensi sinyal. Kena paparan frekuensi sinyal malah bikin masalah kesehatan. Ini juga nggak bagus buat sistem navigasi pesawat juga, malah kontradiktif dengan apa yang Anda katakan tentang bandara internasional di Malang. Solusi agar frekuensi sinyal telepon nggak mengganggu navigasi adalah tambah tower lagi, tapi nanti didemo juga ujung-ujungnya.
#2 Banyak kampus bukan indikator ibu kota provinsi
Tolong bedakan antara ibu kota politik dengan ibu kota pendidikan ya. Banyak kampus bukan indikator ideal suatu daerah jadi ibu kota provinsi. Selain itu, kampus-kampus Surabaya nggak kalah bergengsi, tetapi sekali lagi ini bukan indikator untuk jadi ibu kota loh ya.
Saya baru menemukan teori ini loh, baru seumur hidup ini. Meski bukan anak FISIP, saya setidaknya tahu sedikit soal syarat jadi ibu kota.
#3 Jangan lempar polusi ke kota orang
Maaf lancang, tapi argumen Anda soal Surabaya waktunya pensiun dengan alasan polusi yang sudah memuakkan. Itu namanya melempar beban ke kota lain. Itu bukan pertimbangan yang bijak. Tiap kota yang jadi ibu kota bakal kena polusi, itu sudah hukum alam. Kalo argumen pindah ibu kota Jatim ke Malang karena sejuk, nanti dengan prinsip “ada gula ada semut”, sejuknya sudah hilang.
Oh iya, Anda bilang Malang itu sejuk itu referensi tahun berapa? Sekarang Malang sudah sumuk, adem kalo hujan saja. Beda panasnya agak mirip waktu musim kemarau, bedanya cuma malamnya yang dingin. BTW, Malang Kota Apel? Enarupes, apelnya ada di Batu, itu saja mulai berkurang gara-gara nggak sejuk lagi.
#4 Sejarah ya sejarah, politik ya politik
Kalo bicara sejarah, masih oke Surabaya dengan nama dahulu Hujung Galuh. Pelabuhan Hujung Galuh jadi saksi bisu Raden Wijaya mengusir pasukan Mongol setelah diajak bersekongkol melawan Jayakatwang. Di era keemasan Majapahit, Hujung Galuh malah jadi pelabuhan terbesar. Bahkan begitu jadi Surabaya pun masih mewarisi kejayaan Pelabuhan Hujung Galuh.
Sejarah dijadikan alasan pun bukan alasan yang tepat. Itu sama saja dengan membenarkan klaim Tiongkok atas Laut Natuna Utara karena alasan historis. Padahal, indikator ibu kota bukan kayak begitu. Saat ini, ibu kota idealnya karena infrastrukturnya sudah oke.
#5 Malang M-nya macet
Saya kasih tahu, sekarang itu Malang M-nya macet. Ini imbas dari selain banyaknya masyarakat yang gemar naik kendaraan pribadi dan angkot yang nggak bisa menolong lagi, juga soal mahasiswa yang lebih memilih Malang ketimbang Surabaya. Ada acara di satu titik saja yang kena macet hampir seluruh kota. Masalah sepele saja sudah bikin macet, padahal statusnya kota biasa, apalagi jadi ibu kota.
Anda dua minggu lalu ke Malang saja cuma menumpang lewat saja sudah misuh-misuh dengan kemacetan, apalagi saya yang sudah hampir dua belas tahun tinggal di Malang, bahkan yang dari lahir di Malang lebih dari saya. Coba Anda minimal tinggal setahun di sini. Mungkin Anda bakal mencabut pernyataan Anda sendiri soal Malang cocok jadi ibu kota provinsi.
Sekarang saja sudah macet, apalagi kalo jadi ibu kota provinsi? Kalo kemacetan sudah jadi indikator ibu kota provinsi, kenapa Jakarta yang notabene ibu kota negara yang macetnya menggila malah bikin moda transportasi umum yang terintegrasi kompleks?
#6 Harga properti mahal terus desak pindah ibu kota = fearful-avoidant
Saya tahu, pindah ibu kota biar harga tanah turun itu logis. Tapi coba nuraninya dipakai, orang Malang juga nggak mau harga tanah naik, entar dibilang boros padahal harga rumah tambah melambung. Belum lagi pendapatan kota ini nggak sebanyak Surabaya.
Kesannya kayak punya tipe kelekatan avoidant, lebih memilih menghindar. Kenapa bukan Anda yang pindah ke Malang daripada ibu kotanya yang pindah ke Malang kalo mau harga tanah dan properti murah? Intinya, bukan ibu kota yang harus dipindah. Tapi, Anda yang harusnya pindah domisili, pikir saya.
Memindahkan ibu kota itu, jujur saja, bukan solusi. Terlalu banyak yang dikorbankan, dan yang rugi terlalu banyak. Jadi, sampe sini paham ya?
Penulis: Mohammad Faiz Attoriq
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Duka di Balik Gemerlap Toko Kelontong Madura