Awal tahun 2020 ini industri otomotif Indonesia dikejutkan oleh manuver duo pabrikan asal Korea Selatan, yaitu KIA dan Hyundai. KIA meluncurkan Seltos, SUV kompak bermodel crossover yang lumayan ciamik. Akan tetapi, manuver Hyundai lebih mengagetkan lagi. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Hyundai meluncurkan sebuah mobil yang bersistem full-electric alias bertenaga listrik yang diberi nama Hyundai Ioniq Electric.
Kehadirannya sama sekali tidak terduga, karena sebelumnya tidak ada tanda-tanda bahwa prinsipal Hyundai Indonesia akan meluncurkan mobil full-electric. Hal ini berbeda dari Nissan Leaf, yang fafifu tak kunjung dirilis di Indonesia padahal kabar burungnya sudah lama tersebar. Kebijakan ini sekaligus melangkahi pabrikan-pabrikan Jepang yang masih sebatas merilis mobil hybrid, seperti Mitsubishi Outlander PHEV maupun seri hybrid dari Toyota. Ini menjadi fenomena yang unik, karena Hyundai Indonesia sendiri malah belum pernah merilis mobil hybrid.
Ioniq juga menjadi mobil full-electric kedua yang dijual resmi oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) di Indonesia setelah BMW i3s. Sebagai catatan, mobil-mobil Tesla masuk ke Indonesia melalui Importir Umum (IU), bukan ATPM.
Mobil listrik? Mesti mahal!
Jangan buru-buru ngegas, banderol off the road Ioniq saat diluncurkan hanya sebesar 569 juta rupiah. Yaaa nggak murah juga sih, tetapi harga ini hanya setengah dari BMW i3s maupun Tesla yang dijual IU. Faktanya, Ioniq adalah mobil full-electric termurah di Indonesia, sekaligus satu-satunya mobil full-electric dengan banderol di bawah satu miliar rupiah. Oleh sebab itu, sebagian orang menganggapnya “mobil listrik merakyat”. Apalagi Ioniq juga sudah dijadikan armada taksi online, sangat merakyat sudah~
Lalu apakah mobil lisrik termurah ini murahan? Surprisingly, sama sekali tidak. Ioniq sudah memiliki berbagai fitur kekinian, seperti sistem multimedia layar sentuh, interior berlapis kulit, mode berkendara, tujuh buah airbag, hingga stability control dan cruise control. Mobil ini memang belum dilengkapi dengan sunroof, tapi kekurangan ini masih bisa ditoleransi.
Desain eksterior dan interiornya relatif “normal” dan tidak terlalu nyeleneh dan futuristik seperti mobil listrik keluaran BMW atau Tesla, tetapi hal ini justru membuat kita relatif merasa nyaman dan tidak kagok saat melihatnya. Mobil berdesain liftback ini juga memiliki tenaga dan torsi yang tidak malu-maluin, meski tidak bisa dibilang besar juga. Bisa dibilang mobil ini cukup revolusioner mengingat harganya yang murah untuk ukuran mobil listrik, tetapi tidak murahan.
Akan tetapi, nyatanya Ioniq tidak sekeren itu. Lalu apa masalahnya? Sebenarnya, masalah ini serupa dengan yang dihadapi mobil full-electric lainnya.
Masalah pertama adalah mobil listrik tidak memiliki sensasi yang sama seperti mobil biasa. Memang mobil listrik memiliki akselerasi yang sangat kencang berkat torsi yang merata sejak 0 rpm, tetapi bagaimana dengan sensasi deru mesin di putaran tinggi? Bagaimana dengan tarikan tenaga dan merdunya desingan turbocharger? Tidak ada lagi gerungan suara dari knalpot racing Toyota Agya.
Mobil listrik juga sangat senyap, tidak seperti mobil biasa. Di satu sisi, hal ini memang sangat nyaman. Bayangkan saja, di suatu senja ditemani kopi dan lagu indie Anda duduk dan menikmati perjalanan dengan tenang, tanpa gangguan dari suara mesin yang menderu. Akan tetapi, kesenyapan ini tidak selalu menyenangkan.
Berbagai penelitian telah menyebutkan bahwa mobil listrik lebih berpotensi menabrak pejalan kaki. Hal ini dikarenakan mobil listrik tidak menimbulkan suara seperti mobil biasa, sehingga sering kali pejalan kaki tidak menyadari jika ada mobil yang mendekat. Oleh sebab itu, beberapa mobil yang dapat beroperasi full-electric mengakalinya dengan memasang sound system yang menirukan suara mesin. Akan tetapi, mayoritas mobil listrik (termasuk Ioniq) tidak dilengkapi dengan sistem semacam itu.
Lagipula bagaimana ya, apakah zaman sekarang memang penuh hoaks, sampai-sampai suara mesin saja dipalsukan? 🙁
Masalah berikutnya adalah terkait jarak tempuh mobil. Dalam keadaan baterai terisi penuh, mobil ini dapat berjalan sejauh 373 kilometer sebelum kehabisan daya dan perlu di-charge kembali. Biaya pengisiannya sih murah, katanya dapat mencapai sekitar ¼ harga isi bensin.
Masalahnya pengisian dayanya paling cepat memakan waktu sekitar satu jam. Itu pun jika menggunakan stasiun fast charging yang keberadaannya masih sangat minim (bahkan di Jakarta sekalipun). Jika menggunakan daya listrik standar, pengisiannya dapat memakan waktu lebih dari enam jam.
Memang sih, untuk berkendara di dalam kota jarak tempuh segitu sangat mencukupi. Siang hari dikendarai, malam hari di-charge. Akan tetapi, bagaimana jika berkendara ke luar kota dan kehabisan daya di tengah jalan? Nunggu charging enam jam di Indomaret gitu?Yo wegah mbahhh!
Lebih baik naik Honda Brio saja, jika kehabisan bensin tinggal mampir pom bensin atau penjual bensin eceran. 10 menit kelar, tinggal ngeng~
Selain itu, seperti ponsel, baterai mobil listrik juga memiliki lifetime tertentu. Beberapa pabrikan mengklaim jika lifetime baterai mobil listrik dapat mencapai sepuluh tahun atau lebih. Akan tetapi, hal itu tentunya tergantung kembali kepada kualitas baterai dan cara penggunaan.
Masalahnya, kapasitas baterai mobil listrik berkali-kali lipat dari baterai ponsel. Tidak heran jika harganya dapat mencapai ratusan juta rupiah, sama sekali tidak murah. Remuk mas remukkk.
Kesimpulannya, kebijakan Hyundai Indonesia merilis Ioniq Electric adalah langkah yang berani. Mobil ini memang memiliki desain ciamik, fitur berlimpah, dan mesin listrik yang cukup mumpuni. Akan tetapi, meski Ioniq adalah mobil listrik termurah se-Indonesia raya, mobil ini tetap saja tidak merakyat.
Mobil ini cocok bagi Anda yang sudah punya mobil lain untuk dipekerjakan, atau hanya mencari mobil untuk berkendara di perkotaan. Anda juga harus menyiapkan isi dompet Anda untuk mengganti baterai mobilnya setelah sekian tahun, agar tidak menimbulkan serangan jantung mendadak. Singkatnya, mobil ini diperuntukkan bagi Anda yang sudah cukup kaya, atau setidaknya merasa kaya.
Selain itu, pengendara Ioniq (dan juga mobil listrik lainnya) harus dapat menoleransi hilangnya sensasi mesin internal combustion yang disukai para petrolhead. Mereka juga mesti lebih mengantisipasi potensi-potensi kecelakaan akibat kesenyapan mobil. Sebenarnya bukan masalah besar sih~
Sebaliknya, bagi Anda yang mencari satu mobil untuk segala kebutuhan atau isi kantongnya terbatas, lebih baik jangan membeli Hyundai Ioniq. Saran saya, beli mobil yang biasa-biasa saja. Bukan salah produknya sih, kita saja yang harus sadar diri kalo masih menjadi bagian dari sobat misqueen. Huhu~
BACA JUGA Cegah Pengemplang, Sudah Saatnya Pajak Kendaraan Disatuin dengan Harganya atau tulisan Rafie Mohammad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.