Bapak saya seumur-umur cuma pernah naik dua jenis sepeda motor, kalau bukan bebek ya vespa (eh, vespa itu motor atau skuter sih?). Tahun lalu, beliau bilang pengen move on dari motor bebeknya, tapi cuma punya duit 20 juta rupiah. Refleks yang saya lakukan tentunya menawarinya skuter matik sejuta umat, Vario 125 yang saat itu baru saja operasi angkat muka alias facelift. Desainnya memang lumayan keren, jadi nggak malu-maluin kalau dipakai membonceng cewek teman.
Spontan bapak saya menceletuk, “Emoh aku kalau matic!” Alamak, buyar sudah angan-angan saya nongkrong di parkiran kampus sambil ngelus neng Vario berpelat putih.
Akhirnya dengan setengah kagol saya menyebut nama CB150 Verza, yang langsung diterima Bapak dan Ibu saya selaku bendahara negara. Mengapa setengah kagol? Bukannya saya nggak mau membahagiakan orangtua, tapi ya gimana ya. Dilihat dari foto saja, sudah jelas tersirat bahwa desain motor ini tidak bisa dibilang keren. Tak heran bila sejak edisi pertama (Honda Verza), motor ini selalu sukses menggondol gelar “motor bapak-bapak”. Tetapi karena surga berada di telapak kaki ibu, saya pasrah saja. Lha wong jatah saya tinggal menungganginya je.
Setelah beberapa pekan mengurusi tetek bengeknya, si CB150 Verza ini akhirnya bersarang di garasi rumah kami. Bapak saya langsung menyambutnya dengan riang gembira, dan selama inreyen motor itu dipakai Bapak pergi ke mana-mana, meninggalkan saya dan Honda Supra yang bodinya kemlothok karena getarannya aduhai.
Saya sendiri tidak terlalu antusias. Akan tetapi setelah beberapa bulan bersama Honda CB150 Verza, saya merasa bahwa motor ini justru mampu mengangkat derajat ketakwaan saya. Lho, kok bisa?
Menghindarkan diri dari buang-buang uang
Belakangan ini harga motor sport 150 cc semakin tidak masuk akal. Harga Honda CB150R Streetfire naik terus, padahal kualitasnya begitu-begitu saja. Yamaha All-New R15 juga harganya sudah berkisar di angka 35 juta. Padahal uang segitu bisa dipakai beli Kawasaki Z250SL bekas atau KTM Duke 200 gres yang lebih bertenaga dan lebih worth it.
Honda CB150 Verza muncul untuk menjadi jawaban bagi orang-orang yang pengen motor sport 150 cc namun sangat mempertimbangkan faktor price to value (baca: kere). Selain harganya yang murah, mesinnya yang tidak berorientasi high performance membuat konsumsi BBMnya tidak bikin kantong jebol. Memang sih, tidak sekeren V-Ixion, CB150R Streetfire, atau GSX-S150, tetapi tetap saja 150cc. Toh motor gunanya buat ditumpaki, bukan disawang tok.
Mencegah sifat sombong dan suka pamer
Biasanya remaja tanggung seperti saya senang menyombongkan sepeda motornya. Tengoklah di jalan bagaimana si Dodi menggadaikan nyawa dengan ngebut memboncengkan cabe-cabean memakai Satria FU plus ban cacing atau si Panjul yang kemaki dengan KLX 150 yang spakbor belakangnya dicopot dan berknalpot Akrapovic made in Purbalingga.
Karma does exist, bro. Belakangan Dodi dan Satria FUnya mencium aspal karena ban cacingnya kepeleset di tikungan Jembatan Kewek. Panjul juga terpaksa menanggung malu lantaran mesin lemot milik KLXnya dia pakai menantang motor yang dikiranya Yamaha Byson modifan tetapi ternyata ER-6n, motor 650cc dua silinder keluaran Kawasaki.
CB150 Verza mencegah saya untuk menjadi sombong seperti Dodi atau Panjul. Boro-boro memikat cewek, diparkir jejeran dengan kedua motor tadi saja sudah bikin minder. Seperti yang sudah diduga sejak awal, desain motor ini memang ala bapak-bapak sekali. Serupa (tapi tak sama) dengan Honda Verza yang lama, bagian belakang motor ini mirip sekali dengan Megapro Primus keluaran sepuluh tahun yang lalu. Saya curiga sepertinya desainer motor ini cuma digaji lima puluh persen dari biasanya, sehingga yang diubah cuma bagian depannya saja.
Bagian depannya pun tak lebih baik. Dulunya saya berharap nuansa neo-retro yang disandang CB150 Verza kecipratan kerennya Honda CB150R Exmotion keluaran AP Honda Thailand. Sayangnya tingkat kekerenannya jauh sekali. Bentuk lampunya terlalu mancung, desain shroudnya juga tidak nyambung dengan tangki model jadul bertutup ala stupa Borobudurnya. Sepertinya satu-satunya kesamaan antara CB150 Verza dan CB150R Exmotion hanyalah bentuk lampu depannya yang sama-sama bulat.
Mesinnya pun tak bisa dibanggakan. Jangan harap bisa merasakan sensasi 13 ribu rpm seperti GSX-R150 atau hentakan Variable Valve Actuation (VVA) layaknya All-New R15, karena mesin CB150 Verza hanya mesin sederhana berteknologi purba keturunan Honda GL. Tenaganya sih lumayan, tetapi tidak lebih. Pas-pasan kayak isi dompet saya. Tampaknya mesin ini memang dimaksimalkan di putaran bawahnya, sehingga cukup kuat dipakai menarik beban berat. Konsekuensinya adalah tenaga di putaran atas yang angin-anginan, 90 kilometer per jam saja sudah mulai berat. Karakter mesin seperti ini memang cocoknya dipakai oleh tukang sayur, bukan pembalap pasar senggol. Jadi, lupakan saja ide pakai knalpot racing pada CB150 Verza. Ramashook!
Membiasakan hidup sederhana
Di saat sepeda motor lain berkutat dengan fitur-fitur terbaru, baik yang benar-benar berguna ataupun sekadar gimmick, CB150 Verza adalah motor yang menjunjung tinggi aspek kesederhanaan (maklum, murah).
Lampu LED? Jangan harap.
Speedometer digital full fitur? Iya sih digital, tapi bentuknya macam layar kalkulator. Boro-boro fitur pengukur konsumsi BBM, indikator gigi, atau pengingat waktu ganti oli, fitur standar seperti tachometer alias penanda RPM mesin saja tidak ada kok.
Kaki-kaki sangar? Yang ada hanyalah velg 6 palang zaman purbakala, dibalut ban standar 80/100 di depan dan 100/90 di belakang. Suspensinya juga underspec, teleskopik mini 31 mm di depan dan suspensi ganda.
Yaaa, setidaknya mesinnya nggak dibuat dari plastik.
Membahagiakan orang tua
Biar bagaimana pun, motor ini adalah favorit orangtua saya.
Bapak senang sekali mengendarai motor ini, terutama untuk perjalanan jarak jauh. Alasannya murni karena umur. Ya maklum, tulang berumur setengah abad memang harus naik motor nyaman. CB150 Verza ini setangnya tinggi dan posisi footstepnya cukup maju, jadi posisi berkendaranya rileks dan tidak pegal. Kalau orang seumuran Bapak disuruh naik motor macam GSX-R150, Ninja, atau CBR250RR yang bikin pengendaranya kayak mau sujud ya boyoken. Remuk bakule slondhok kalau kata Agus Mulyadi.
Ibu saya juga senang naik motor ini, padahal kerjaan beliau cuma membonceng. Tak heran, joknya yang panjang membuat perjalanan dari Mirota Kampus sambil menggendong kardus belanjaan jadi lebih nyaman. Ketinggian joknya juga pas, tidak seperti GSX-R150 yang bisa dipakai lompat tinggi.
Karena orangtua saya senang dengan motor ini, jadilah saya ikut senang.
CB150 Verza memang bukan motor buat gegayaan. Fungsinya memang basic sekali, namun tetap bisa memenuhi kebutuhan saya. Kecuali kebutuhan pencitraan. hehe