Honda Astrea Grand Impressa ‘99: Kebersamaan Dua Dekade yang Takkan Pernah Saya Lepas

honda astrea grand

Honda Astrea Grand Impressa ‘99: Kebersamaan Dua Dekada yang Takan Pernah Saya Lepas

Motor Honda Astrea Grand Impressa tahun 1999 adalah motor pertama milik bapak. Sebuah motor bekas yang didapatkan dengan cara kredit. Kalau saya tidak salah ingat, motor itu dipinang tahun 2001, ketika saya masih kelas 4 SD. Maharnya saya nggak tahu berapa. Yang saya tahu pasti, motor itu diangsur sebanyak 12 kali.

Saat itu saya menjadi saksi ijab kobul antara kang motor bekas dengan bapak. Mereka berjabat tangan erat banget. Sah. Bapak tanda tangan. Motor langsung diboyong pulang. Saya bonceng di belakang bapak. Saya ingat betul waktu itu bapak senang sekali. Jelas aja, ini motor pertamanya belio. Di tengah perjalanan pulang hujan turun deras. Bapak melambatkan laju motornya lalu berteduh di emperan warung. Beberapa saat turun dari motor bapak berseru, “Wah. Deras banget nih.”

“Ya udah tungguin aja sampe ujannya berhenti.” Sahut saya.

“Tenang. Katanya di jok motor ada jas hujan. Hadiah.”

Bapak menuju motor barunya itu meskipun nggak bisa dikatakan baru. Dia membuka jok. Benar, ada hadiah jas hujan model betmen. Bapak memakai jas hujan itu. Saya langsung melangkah cepat dengan baju yang sedikit basah, lalu naik ke atas jok. Motor distarter (cenge-nges, cenge-nges) dengan mudah. Mesin motor langsung nyala. Perjalanan pulang berlanjut.

“Bakal mogok nggak, Pak?”

“Tenang. Kita lihat aja. Grand mah bandel.”

Sejak itu saya menyebutnya Honda Grand. Saya nggak bisa lihat apa-apa di dalam jas hujan betmen. Boro-boro lihat jalan, lihat lutut sampai telapak kaki aja nggak bisa. Saya yang masih bocah udah kayak sayuran ditutupin pakai terpal. Saya Cuma bisa merasakan kaki saya yang dingin karena guyuran air hujan. Saya bertanya lagi ke bapak, “Udah sampe mana, Pak?”

“Tenang. Bentar lagi.”

Selanjutnya motor itu menjadi pelengkap kehidupan bapak. Menemani keluarga dalam segala kondisi. Kehidupan terus berjalan. Seperti motor legend pada umumnya, Honda Grand ini juga banyak kisah suka dan duka. Dan seperti motor keluarga pada umumnya, Honda Grand ini juga sangat bermanfaat sekali.

Ketika saya kelas 5 SD, saya mulai belajar mengendarai motor. Saya tersungkur di aspal. Foot step sebelah kiri bengkok lantaran jatuh karena jalanan licin. Di momen ini seolah batin saya dan batinnya si Grand saling klik. Layaknya seorang yang sedang jatuh cinta, saya semakin tergila-gila untuk selalu bersamanya.

Saat kelas 1 SMP, saya diberi tanggung jawab sepenuhnya untuk merawat motor ini. STNK saya yang pegang. Waktu itu bapak udah punya teman hidup baru yakni, Honda Supra X kelahiran tahun 2002. Di titik ini lah rasa memiliki si Grand semakin kuat. Demi masa depannya agar awet, saya memilih dunia otomotif untuk saya pelajari. Semata-mata cuma ingin Grand hidup dengan sehat, awet, mulus, dan disenangi banyak orang. Tentu saja saya akan bangga.

Saya akui, kalau soal perawatan Honda Grand ini sangat-sangat gampang. Saking gampangnya saat kelas 1 SMP saya udah bisa praktek servis karburatornya sendiri. Membersihkan karbu, filter udara, dan juga busi adalah momen-momen intim. Seolah saya sedang berkomunikasi dengannya ketika sedang menyeting asupan udara dan bensin. Saya harus benar-benar mendengarkan suaranya agar setingannya tepat.

Lama-kelamaan ketika saya duduk di bangku STM, si Grand udah menjadi teman setia saya. Banyak teman saya yang kagum dengan kemulusan body-nya dan juga kehalusan suara mesinnya. Jelas, saya rawat dengan penuh kasih sayang. Saat itu banyak teman yang memuji-muji suspensinya. Empuk, lembut, dan nyaman kayak mobil Mersi. Si Grand masih terus menemani saya sampai saya bekerja di sebuah bengkel mobil umum.

Pada tahun 2010, di Bekasi saya bekerja dengan gaji di bawah UMR per bulannya. Saya merasa nggak masalah dengan gaji segitu. Urusan bensin buat berangkat kerja, ya tenang aja. Pasalnya keiritan ras Astrea udah nggak perlu diragukan lagi, bahkan sudah menjadi sebuah legenda tersendiri di kalangan pengguna kendaraan roda dua. Kerja di bengkel semakin menyenangkan dengan peralatan kerja yang lengkap, semakin memudahkan saya buat merawatnya. Turun mesin pun saya lakoni sendiri.

Tahun 2011 saya harus berpisah dengan Grand, karena adik yang duduk di bangku SMA sedang membutuhkannya. Saya lungsurkan si Grand ke adik. Saya kredit motor baru, Honda Beat. Momen ini cukup bikin saya galau. Melewati satu dekade bersamanya bukanlah hal yang mudah. Akhirnya, saya ikhlas melepas Grand agar adik ada kendaraan untuk berangkat sekolah. Mungkin si Grand memang ditakdirkan untuk menemani anak-anak sekolahan, sebab faktor keiritannya nggak bikin kantong pelajar bolong.

Meskipun sudah bersama adik, tetap aja kalau soal perawatan harus di tangan saya. Pasalnya, saya benar-benar mengerti dia dari bohlam lampu sampai jeroannya. Kalau ada yang kurang enak dikit, saya juga yang pertama kali menyadarinya. Kalau adik, ya tinggal pakai aja. Seiring jalan di tangan adik, si Grand juga menjadi teman yang baik. Mereka saling belajar. Meski sekolah SMA yang nggak belajar soal teknik mesin, adik juga bisa mengerti soal mesin berkat si Grand ini.

Kini setelah bertahun-tahun saya nggak bersama dan nggak memperhatikan, si Grand kondisinya sangat mengenaskan. Rem depan blong, oli mesin bocor, dan jeroan mesin juga udah nggak standar lagi sebab dimodif sama adik layaknya, yaaa, motor balap liaran. Entahlah spek mesinnya kayak gimana, saya nggak paham lagi. Yang pasti udah nggak karuan dengan kenalpot obrongnya itu.

Beberapa bulan lalu, si Grand ditawar oleh seseorang dengan harga 1,5 juta. Murah banget sih kayak udah kehilangan harga dirinya. Tapi ya maklum, dengan kondisi nggak layak buat harian terus ditambah pajak kendaraan dan plat nomor jatoh tempo sejak tahun 2012. Tapi saya menolak keras buat melangsungkan transaksi itu. Pasalnya kenangan saya bersama si Grand nggak akan terlupakan, ditambah lagi punya sejarah panjang di keluarga kami.

Saya berkeinginan si Grand jadi motor turunan dari generasi ke generasi. Saat ini kondisinya memang nggak layak, tapi bukan berarti juga nggak layak di hati saya. Hampir dua dekade Grand menjadi bagian keluarga kami membuat saya sulit untuk melepas si Grand. Sungguh berdosa kalau menjualnya begitu saja. Ibarat sedotan ale-ale yang nggak ada jelly-nya lagi lalu dibuang. Sungguh, kejam! Suatu hari saya akan membuatnya selayak-layaknya kembali. Sedap dilihat dan layak ditunggangi.

Sumber Gambar: TMC Blog

BACA JUGA Kengenesan yang Dialami Pengendara Motor Smash atau tulisan Allan Maullana lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version