Sebagai warga Madiun nyel yang lahir dan menghabiskan masa kecilnya di kampung halaman, tentu dalam kesehariannya tidak bisa dipisahkan dari makanan khasnya, pecel Madiun. Ibarat induk sama anak, kapan pun dan ke mana pun selalu bareng. Anehnya, selama lebih dari dua windu hidup menikmati asin gurih dunia, kok nggak bosen ya pagi siang sore malam makan pecel.
Pun, bisa dipastikan menu sarapan yang tersaji di atas meja makan hampir setiap harinya ya pecel. Palingan yang membedakan kalau hari ini pecel lauk telor, besok pecel lauk tempe tahu, kalau nggak pecel lauk lele. Begitu terus. Diulang-ulang. Seakan pecel adalah menu sarapan wajib bagi keluarga saya. Nggak ada pecel rasanya kayak habis makan nggak ngudud. Ra kepenak.
Terserah mau varian pecel lauk apa, intinya pecel Madiun selain khas karena sambalnya, juga harga yang tertera tidak terlalu menguras tabungan dan cocok bagi kaum-kaum proletar seperti saya.
Cuman gini, masalahnya akhir-akhir ini, pecel Madiun yang dijual di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lainnya dengan iming-iming “Pecel Khas Madiun 2.500-an” itu cuman clikcbait dan sama sekali jauh dari ciri khas Madiun. Entah dari rasa, sambal hingga harganya. Harga segitu cuman pecel doang, kalau tambah lauk ya tambah juga harganya.
Gini deh, mungkin sama dengan kasus masakan nasi padang. Tidak sedikit banyak dari warga lokal menggantungkan kelangsungan hidupnya dengan membuka usaha warung makan. Misalnya, di kota manapun kan sering kita lihat di pinggir-pinggir jalan banyak warung masakan nasi padang. Saya yakin penjualnya nggak semua orang Padang. Masa iya ngadu nasib ke luar kota cuman buka usaha warung doang, kan ya nggak mungkin.
Ya sebenarnya nggak apa-apa sih, itu hak mereka. Cuman nggak etis saja. Mereka itu seperti bangsa kolonial. Datang dengan niat mengadu nasib untuk mencari kerja, eh sesampainya kok kebetulan malah membuka usaha warung makan. Warung makan yang dibuka kok ya warung yang menjual makanan lokal daerah situ juga. Hashh…
Imbasnya bukan perihal merusak citra makanan khas saja yang antara satu warung (penjual asli) dengan warung lainnya (penjual pendatang) beda cita rasa dan aroma. Tetapi juga menyangkut jati diri dan martabat makanan itu. Jangan salah lho. Sebagai manusia yang beretika, harusnya sadar dan mau bicara mengenai Hak Asasi Makanan. Urusan mangan, Bos, ra iso dianggep sepele iki!
Anggapan seperti itu semakin membulat ketika saya pergi ke luar kota dan menyempatkan istirahat di salah satu angkringan pinggir jalan. Ditanya lah saya asal dari mana. Dari jawaban saya saja itu lho, lumrah tidak hanya dia, orang lain pasti juga bakal sudah tahu kalau Madiun dikenal dengan makanan khas pecelnya.
Cuma yang bikin sakit hati, dia malah bilang, “Pecel Madiun kok sudah beda nggak kayak dulu ya, Mas?” Waduh, mau menepis tapi memang begitu kenyataannya. Mau jawab iya kok malah bikin malu. Kalau kata serial film Warkop DKI, maju kena mundur kena. Berat berat.
Memang benar, Bung. Mencari Pecel di Madiun yang asli benar-benar asli Madiun itu susah. Di Madiun, dari pinggir jalan, alun-alun, pasar hingga area stadion tidak luput dari entah angkringan kaki lima atau warung menjual pecel. Jadi saking banyaknya itu lho, bikin bingung membeli yang mana. Tidak hanya pendatang yang main ke Madiun, kadang saya pun juga dibikin bingung; ini mana yang benar-benar asli Madiun.
Sampai sini, kayaknya harus ada intervensi dari pihak berwenang. Intervensinya kek gimana? Ya nggak tahu, lha kalau saya yang mikir, yang di atas itu suruh ngapain? Pokoknya keaslian pecel Madiun mau tak mau harus dikembalikan dalam tempo sesingkat-singkatnya!
BACA JUGA Patung Merlion di Madiun Nggak Perlu Digugat karena Orang Kampung pun Berhak Bahagia dan tulisan Muhammad Lutfi lainnya.