Kalau kau pernah menuliskan surat cinta untuk mencurahkan segala letupan perasaan dalam hati, percayalah, hal itu bukanlah tindakan pengecut, meski kau tak pernah menyampaikannya sekalipun.
Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang yang pernah menulis surat cinta tanpa pernah bisa menyampaikannya. Bukan rahasia lagi jika menuangkan perasaan senang, marah, kecewa, ataupun kekesalan dalam bentuk tulisan adalah salah satu cara untuk merilis emosi dan mengenali perasaan tersebut lebih baik. Bentuk tulisannya memang variatif, tapi salah satu yang paling saya suka adalah menulis surat.
Untuk saya, tingkat menengah pertama adalah masa yang menyenangkan untuk menulis banyak-banyak. Menulis surat menjadi opsi yang seru selain nulis catatan harian dan puisi. Di masa itu, usia kita sedang labil-labilnya dan emosi masih sangat fluktuatif, sedangkan di sisi lain, kita juga menggebu-gebu karena keinginan mengeksplorasi banyak hal. Sehingga, menulis seringkali membantu saya untuk menguraikan isi kepala. Termasuk ketika saya jatuh hati.
Cowok tidak beruntung yang saya jadikan bahan tulisan selama tiga tahun itu bukan anak populer di sekolah. Tapi, seperti tipikal inceran cewek ABG labil lainnya, cem-ceman saya ini anggota ekskul basket di sekolah. Namanya muncul di buku catatan harian hingga curhatan tongkrongan. Pun satu-dua kali saya buatkan ia surat cinta, yang tentu saja tidak berani saya sampaikan. Kalau dipikir memang bodoh sih, rasanya pengen balik ke masa lalu terus bilang, “Kamu ngapain sih bocaaah? Masih kecil udah ngomongin cinta!” Tapi kalau diingat lagi, banyak juga yang bisa kita pelajari dari konyolnya menulis surat cinta tidak tersampaikan.
Refleksi
Kalau surat tak tersampaikan itu masih kita simpan dan bisa kita baca, kita jadi sadar kalau kita pernah bocah juga. Kalaupun surat itu sudah dibuang atau entah terselip di mana, kita tetap bisa merefleksi perasaan kita semasa SMP dulu. Ternyata cara kita melihat hidup di masa itu dan sekarang jelas jauh berbeda. Pun hari ini kita menyadari kalau cinta itu jauh lebih luas dan dalam dari sekadar perasaan suka kepada lawan jenis. Meskipun sampai saat ini masih sering merasa gagal jadi orang dewasa, tapi ternyata kita benar-benar tumbuh dewasa.
Gaya tulisan kita juga ternyata banyak berubah. Dulu tulisan kita cuma curhatan bocah labil, tapi hari ini menulis menjadi instrumen penting dalam menyampaikan cara pandang. Anjaaay.
Memaafkan diri sendiri
Kalau diingat-ingat, menulis surat cinta waktu SMP itu lucu sekaligus memalukan, rasanya alay dan cheesy banget. Kita menulis seolah-olah dia adalah pusat semesta kita. Memang banyak banget sih, hal-hal aneh yang seharusnya tidak kita lakukan hanya demi dapet perhatian doi. Padahal masa itu, perasaan kita riil dan tulus banget!
Nah, hal-hal memalukan itu malah lucu setelah tahunan berlalu, menjadi bahan candaan kalau lagi kumpul dengan kawan-kawan dulu. Di sini kita jadi sadar, ternyata kita pernah berhasil memaafkan kebodohan-kebodohan kita di masa lalu dan menerimanya sebagai bagian dari diri sendiri.
Tidak mengapa meski tidak disampaikan
Oleh karena surat cinta tersebut tidak pernah kita sampaikan, mungkin sampai sekarang dia nggak tau perasaan kita. Tapi, setelah tahunan berlalu, kita tahu ternyata tidak disampaikan pun bukan masalah besar. Kita masih hidup baik-baik, masih bisa tertawa bahagia, masih bisa kuliah, kerja, dan menikah. Nggak ada yang perlu disesali dari perasaan yang tidak tersampaikan di waktu dulu. Toh ternyata dia tetap hadir sebagai bagian dari pendewasaan kita.
Semakin kita dewasa, kita juga sadar kalau ternyata ada perasaan-perasaan yang lebih baik tidak disampaikan. Apalagi kalau perasaan itu cuma emosi yang tidak melibatkan logika dan perasaan orang lain.
BACA JUGA Cinta Apa Adanya Itu Sesat, Cinta Ada Apanya Baru Masuk Akal dan tulisan Azizah Amatullah lainnya.