Saya sebetulnya agak takut kalau harus menulis soal orang-orang Pandeglang. Apalagi kalau sampai foto penulis juga ikut dimuat. Itu berbahaya bagi jiwa penulis yang hidup di tanah “bola api terbang”. Tapi itu dulu. Sebab, semakin modern, semakin hilang juga “bola api terbang” di langit Pandeglang.
Soal sejak kapan langit Pandeglang bersih dari bola api yang seliweran, saya sendiri tidak yakin. Terakhir saya melihat bola api terbang melesat dari arah timur menuju barat laut sekitar 24 tahun yang lalu. Di malam yang sama ketika Bapak khusuk menonton dunia dalam berita yang mengabarkan kematian Ibu Negara.
Cerita tentang bola api yang bisa terbang, sesungguhnya tidak asing bagi tiga generasi yang hidup di Kabupaten Pandeglang khususnya Pandeglang Selatan. Kalaupun belum pernah melihat, mereka akan percaya dengan penuh ketakjuban jika ada cerita tentang bola api terbang melintas di kampung mereka.
Tetapi, begitu usia menginjak akil balig, setiap orang akan mengubah penilaiannya tentang bola api terbang. Alih-alih tambah takjub dan mencobanya, kami akan segera menghapusnya dari isi kepala. Sebab ternyata, bola api terbang bukanlah sesuatu yang baik walaupun elok dilihat. Bola api terbang adalah salah satu produk ilmu purbakala yang hanya bisa dimiliki sedikit orang saja.
Dalam sejarahnya, orang yang sedikit ini adalah bagian dari kelompok masyarakat yang hidup menyendiri karena saking tingginya ilmu yang dimiliki. Orang-orang biasa akan segan bahkan takut sekalipun hanya untuk menyebut namanya. Saking sedikitnya orang yang memiliki kemampuan ini, apabila dihitung belum tentu dalam setiap tingkat kecamatan apalagi desa ada orang jenis ini.
Selain itu, ada pula kelompok yang beranggotakan orang-orang sakti dan dekat dengan aktivitas persilatan. Mereka adalah kelompok kedua dengan identitas khusus yang hidup di Pandeglang jauh sebelum datangnya Islam. Sekalipun zaman berubah dan kekuasaan berganti, kelompok ini tetap ada dan akan muncul.
Kelompok lainnya yang ada di Pandeglang adalah kelompok santri. Berdirinya Kesultanan Banten pada 1526 dan hadirnya Syekh Asnawi dengan mendirikan Madrasah pada 1884 di Caringin menuntun orang-orang Pandeglang menjadi kelompok terbesar yang hidup di daerah Pandeglang sehingga wajarlah di kemudian hari Kota Sejuta Santri dan Seribu Ulama begitu melekat dengan identitas Kota Pandeglang.
Untuk urusan administratif, Pandeglang menentukan 1874 sebagai hari lahir Pandeglang. Artinya, tahun ini Pandeglang telah berusia 146 tahun. Namun, sebagai sebuah peradaban sejatinya Pandeglang telah lahir dan tumbuh berkembang sejak abad ke-12 sampai ke-14. Sejak 900-700 tahun yang lalu, Pandeglang sudah memiliki peradaban maju dan berinteraksi dengan peradaban lain di luar sana.
Namun, lamanya usia Kota Pandeglang ternyata memang tidak ada sangkut pautnya dengan kemajuan. Toh, orang-orang Pandeglang tidak terlalu ambil pusing dengan angka-angka.
Sebagai sebuah hikayat, membaca dan merenungi Pandeglang dan orang-orangnya hari ini amatlah unik. Minimal terdapat 2 keunikan yang mencerminkan perilaku hidup orang-orang Pandeglang.
Pertama, orang Pandeglang sangat rasional. Perubahan lelaku orang Pandeglang dari dunia magis ke alam rasional terjadi sejak datangnya Islam ke Tanah Banten. Islam telah mengajarkan kami menjauhkan diri dari perbuatan syirik sehingga jimat, dan bola api terbang, ditempatkan pada ruang gaib yang tabu dan haram untuk dipercayai.
Jimat (azimat) adalah benda yang dianggap dapat membawa manfaat bagi orang yang membawanya. Sedangkan bola api terbang adalah produk purbakala yang diterbangkan oleh orang sakti dari kelompok yang “sedikit”. Bola api terbang adalah pesan yang melintasi langit hingga berkilo-kilo jauhnya dan mencari target penerima pesan bebas roaming. Oleh karena 2 hal ini dekat dengan dunia gaib, ulama mengharamkannya.
Kedua, orang Pandeglang sangat hangat dan bersahabat. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku orang-orang Pandeglang yang senang bergaul, bersosialisasi, dan bergerombol. Sifat dan sikap yang hangat ini tampak pada lelaku hidup orang-orang Pandeglang yang mudah berkenalan, bersosialisasi bahkan menyambut tamu yang baru dikenalnya sekalipun. Mereka akan menawarkan air minum, makanan, ataupun rokok yang tinggal 2 batang.
Wujud dari dua hal unik diatas, orang-orang Pandeglang menjalani hidup yang penuh percaya diri, penuh gairah, dan hidup dalam kenyataan. Orang-orang Pandeglang mempercayai apa yang dilihat dan dirasakan langsung ketimbang “katanya”,” menurut si A”, sekalipun berdasarkan data. Maka tidak heran segala sesuatu di internet hampir tidak akan berguna bagi orang-orang Pandeglang.
Selain itu, sajian nasi liwet, lalapan dan lauk pauk yang dibakar, tidak lupa sambal yang diolah dadakan, menjadi wujud dari kehangatan dan bersahabatnya orang-orang Pandeglang. Sajian ini akan ditempatkan di atas daun pisang dan dikerumuni orang-orang. “Babacakan” adalah arena mulia dan wujud keberhasilan orang-orang Pandeglang menarik turun bola api terbang dari dunia magis ke dunia nyata.
Nah, jika teman-teman ingin memastikan dan melihat dengan mata sendiri kedua ciri unik ini, dua bulan ke depan adalah waktu yang terbaik. Kedua ciri unik ini akan tampak di mana-mana hingga diseluruh pojokan Kabupaten Pandeglang.
Sesungguhnya bola-bola api tidak benar-benar hilang dari negeri para santri. Bola api tak perlu lagi diterbangkan karena segala sesuatu yang berada di langit adalah gaib dan segala sesuatu yang bisa dinikmati bersama adalah mulia.
BACA JUGA Suara Hati Muslimah yang Diberi Jilbab sejak Balita dan Kini Ingin Melepasnya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.