Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Gaya Hidup

Hidup di Desa Nggak Selamanya Murah, Social Cost di Desa Bisa Lebih Mahal daripada Biaya Hidup Sehari-hari karena Orang Desa Gemar Bikin Hajatan

Erma Kumala Dewi oleh Erma Kumala Dewi
13 Juli 2024
A A
Hidup di Desa Nggak Selamanya Murah, Social Cost di Desa Bisa Lebih Mahal daripada Biaya Hidup Sehari-hari karena Orang Desa Gemar Bikin Hajatan

Hidup di Desa Nggak Selamanya Murah, Social Cost di Desa Bisa Lebih Mahal daripada Biaya Hidup Sehari-hari karena Orang Desa Gemar Bikin Hajatan (unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Hidup di desa nggak selamanya murah. Barangkali harga kebutuhan pokok memang lebih miring dibandingkan kota-kota besar. Bahkan beberapa bahan mentah bisa dihasilkan sendiri dengan bercocok tanam maupun beternak. Namun ada satu hal yang membuat hidup di desa jadi mahal, yaitu social cost–nya.

Yap, kalian nggak salah. Biaya bermasyarakat di desa memang lebih mahal dari orang perkotaan. Bahkan social cost ini bisa lebih tinggi dibandingkan biaya hidup sehari-hari masyarakat desa. Sebab orang desa memang nggak pernah main-main kalau menyangkut soal hajatan.

Orang desa gemar bikin hajatan

Orang desa masih memegang nila-nilai adat dengan kuat. Maka dari itu mereka lebih patuh untuk mengadakan selamatan sesuai tradisi turun-temurun yang diwariskan. Masalahnya, apa pun bisa diselametin. Nggak cuma kehamilan, kelahiran bayi, atau kematian. Punya barang baru atau weton saja diselametin, lho.

Untuk hajatan-hajatan kecil seperti selamatan tadi, ada budaya ninjau, yaitu mengunjungi kediaman pemilik hajat dengan membawa buah tangan. Buah tangan yang dibawa bisa sembako, bahan makanan, atau simpelnya amplop berisi uang.

Untuk sunatan dan pernikahan cenderung dibuat besar-besaran. Tamu undangannya buaaanyak banget. Bahkan bisa ngadain tanggapan wayang dan sebagainya yang makan waktu nggak cukup satu hari. Private party yang makin digemari anak jaman sekarang jelas nggak relate dengan budaya desa.

Sebenarnya nggak masalah kalau hajatan yang perlu dihadiri hanya ada sesekali saja. Repotnya kalau hajatan ini diadakan beruntun, terlebih saat bulan besar (Dzulhijah dalam penanggalan hijriyah), atau bulan dalam penanggalan Jawa yang dianggap baik untuk menggelar hajatan. Pasti banyak orang desa yang sambat karena banyak buwuhan dan jadwal rewangnya full.

Konsep ketumpangan yang bikin pusing

Di desa, orang punya pola pikir yang unik tentang pemberian. Kalau kalian ketumpangan buwuhan atau ninjau tadi, kalian harus memberikan hal yang sama sebagai upaya balas budi. Masalahnya, upaya balas budi ini terkadang terlalu dipaksakan.

Ketumpangan menjadi hukum tidak tertulis yang mewajibkan kita mengembalikannya. Minimal nilainya setara dengan pemberian yang pernah kita terima. Kalau nilainya lebih rendah atau malah lupa nggak mengembalikan, maka siap-siap jadi bahan omongan di belakang. Meskipun nggak semua orang desa seperti ini, ya. Padahal kondisi ekonomi setiap orang kan bisa naik turun.

Baca Juga:

4 Hal yang Bikin Orang Kota seperti Saya Kagok Hidup di Desa

Realitas Pahit di Balik Hajatan: Meriah di Depan, Menumpuk Utang dan Derita di Belakang

Lucunya, terkadang ada orang yang sengaja suka bikin hajatan biar buwuhannya banyak. Hajatan paling aneh yang pernah saya ketahui adalah ulang tahun secara besar-besaran, pakai terop dan sound system. Tentunya menerima buwuhan juga.

Menurut warga setempat, si pemilik hajat cuma punya satu anak. Sedangkan dia sudah buwuh ke banyak tempat. Biar buwuhannya kembali ya dia bikin deh kondangan ulang tahun.

Konsep asul-asul yang terkesan memaksakan

Bagi pemilik hajat ada kewajiban tak tertulis lainnya untuk memberikan asul-asul. Asul-asul adalah pemberian yang diberikan sebagai ucapan terima kasih dari tuan. Untuk orang buwuh, biasanya diberi asul-asul berupa makanan dan  alat makan. Sedangkan untuk perewang, asul-asulnya berupa sembako dan sabun-sabunan.

Sangat wajar jika acara yang sifatnya longgar seperti pernikahan, sunatan, dan beberapa jenis selamatan memberikan asul-asul pada orang yang berkunjung. Yang saya nggak habis pikir adalah pemberian asul-asul pada saat menjenguk bayi dan melayat orang meninggal. Padahal pemilik rumah sedang repot-repotnya dan butuh dana besar. Kenapa masih dibebani dengan asul-asul?

Panjangnya rangkaian acara hajatan di desa yang sanggup menguras dompet

Percayalah, punya hajat di desa itu sangat melelahkan. Repotnya nggak cuma pas hari-H. Sebelum mengaturkan undangan, ada tradisi yang dikenal tonjokan. Tonjokan adalah memberikan sesuatu sembari menyampaikan undangan. Bagi warga biasa ada yang undangannya diselipin rokok, sabun, ataupun jajanan. Sedangkan sobat rewang, kerabat, dan tetangga sekitar rumah diperlakukan spesial dengan tambahan nasi berkat.

Ternyata budaya nonjok masih dilestarikan di banyak pedesaan Jawa. Berbeda dengan di kota, saya nggak pernah menjumpai tonjokan sebelum pagelaran hajat. Tonjokan kerap membuat orang yang menerima undangan merasa sungkan untuk tidak menghadiri acara.

Rewang di hajatan desa bukanlah perkara yang sepele. Massa yang dikumpulkan bisa sangat banyak. Tergantung skala acaranya. Semua harus diberi tonjokan berupa nasi berkat. Selama rangkaian rewang yang memakan waktu beberapa hari itu, pemilik rumah juga harus menyediakan konsumsi. Bukan cuma untuk orang-orang yang rewang, bahkan harus siap memberi makan keluarga si perewang.

Kalau tonjokan dan konsumsi selama rewang belum cukup membuat gelisah, masih ada berbagai rangkaian adat yang lain. Seperti mengirim doa ke leluhur, nyambung tuwuh, dan masih banyak lagi. Masing-masing acara tersebut mengharuskan penyediaan nasi berkat dan seperangkat konsumsi lainnya. Budaya ini benar-benar bikin saya geleng-geleng kepala. Nggak kebayang berapa banyak dana yang sudah dihabiskan bahkan sebelum acara inti dimulai.

Pagelaran hajatan di desa memang sangat kompleks. Baik pemilik acara maupun warga desa yang diundang sebenarnya sama-sama boncos karena social cost tadi. Namun nyatanya banyak warga desa yang nggak keberatan bikin hajat besar-besaran, bahkan cenderung jadi hobi. Katanya biar tetap guyub.

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 13 Juli 2024 oleh

Tags: DesaHajatanorang desaselamatansocial cost
Erma Kumala Dewi

Erma Kumala Dewi

Penggemar berat film kartun walaupun sudah berumur. Suka kulineran dan kekunoan.

ArtikelTerkait

rumah daerah persawahan

Ingin Punya Rumah di Daerah Persawahan? Pikir-pikir Lagi

29 Oktober 2021
Motor NMAX dan PCX Memang Nggak Cocok untuk Orang Desa, Mau Ngapain di Jalan Sekecil Itu?

Motor NMAX dan PCX Memang Nggak Cocok untuk Orang Desa, Mau Ngapain di Jalan Sekecil Itu?

13 Januari 2024
Disumbang Duit Gede Pas Hajatan Itu Nggak Selamanya Menyenangkan terminal mojok.co

Disumbang Duit Gede Pas Hajatan Itu Nggak Selamanya Menyenangkan

2 November 2021
Yamaha Vixion Nggak Cocok untuk Orang Desa di Madura, Mending Motor Bebek yang Lebih Multifungsi Mojok.co

Yamaha Vixion Nggak Cocok untuk Orang Desa di Madura, Mending Motor Bebek yang Lebih Multifungsi

18 Januari 2024
5 Fakta Unik Terkait Kampus STPMD "APMD" Jogja, Kampusnya Calon Pejabat

5 Fakta Unik Terkait Kampus STPMD “APMD” Jogja, Kampusnya Calon Pejabat

10 September 2023
Klaten Nggak Melulu Candi Prambanan dan Umbul Ponggok, Ada Desa Kemudo yang Tak Kalah Istimewa! klaten solo jogja

Klaten Nggak Melulu Candi Prambanan dan Umbul Ponggok, Ada Desa Kemudo yang Tak Kalah Istimewa!

11 Mei 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kerja Dekat Monas Jakarta Nggak Selalu Enak, Akses Mudah tapi Sering Ada Demo yang Bikin Lalu Lintas Kacau

Kerja Dekat Monas Jakarta Nggak Selalu Enak, Akses Mudah tapi Sering Ada Demo yang Bikin Lalu Lintas Kacau

17 Desember 2025
Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

22 Desember 2025
Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

19 Desember 2025
Motor Honda Win 100, Motor Klasik yang Cocok Digunakan Pemuda Jompo motor honda adv 160 honda supra x 125 honda blade 110

Jika Diibaratkan, Honda Win 100 adalah Anak Kedua Berzodiak Capricorn: Awalnya Diremehkan, tapi Kemudian jadi Andalan

20 Desember 2025
Setup Makaroni Kuliner Khas Solo, tapi Orang Solo Nggak Tahu

Setup Makaroni: Kuliner Khas Solo tapi Banyak Orang Solo Malah Nggak Tahu

19 Desember 2025
Nggak Punya QRIS, Nenek Dituduh Nggak Mau Bayar Roti (Unsplash)

Rasanya Sangat Sedih ketika Nenek Saya Dituduh Nggak Mau Bayar Roti Terkenal karena Nggak Bisa Pakai QRIS

21 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Melacak Gerak Sayap Predator Terlangka di Jawa Lewat Genggaman Ponsel
  • Regenerasi Atlet Panahan Terancam Mandek di Ajang Internasional, Legenda “3 Srikandi” Yakin Masih Ada Harapan
  • Jogja Mulai Macet, Mari Kita Mulai Menyalahkan 7 Juta Wisatawan yang Datang Berlibur padahal Dosa Ada di Tangan Pemerintah
  • 10 Perempuan Inspiratif Semarang yang Beri Kontribusi dan Dampak Nyata, Generasi ke-4 Sido Muncul hingga Penari Tradisional Tertua
  • Kolaboraya Bukan Sekadar Kenduri: Ia Pandora, Lentera, dan Pesan Krusial Warga Sipil Tanpa Ndakik-ndakik
  • Upaya “Mengadopsi” Sarang-Sarang Sang Garuda di Hutan Pulau Jawa

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.