Di negara di mana iman menjadi prioritas, para guru butuh sosok penentang teori ateistik macam teori evolusi. Dan pahlawan itu datang dari Turki. Harun Yahya, Jeng-jeng-jeng!
Ada yang aneh dengan guru saya di SMA. Tiap kali mengajar penyampaian materinya cuma di separuh waktu terakhir. Lho, separuh durasi pertama ngapain aja?
Dia ceramah, Guys.
Serius. Dia akan ngoceh ngalor-ngidul. Cerita pengalamannya, apa yang dia tonton, apa yang dia baca, dan semua diarahkan untuk memperkuat keimanan dan ke-Islam-an saya dan teman-teman.
Saya dan teman-teman waktu itu tidak menganggapnya sebagai problem. Maklum, masih kinyis-kinyis. Baru kelas 1 kok. Kami kira kebiasan itu termasuk biasa dilakukan sama guru-guru SMA. Kami bahkan merasa enjoy karena sesi itu kami perlakukan sebagai momen refreshing.
Apalagi kadang-kadang, guru saya memutarkan film atau video edukasi. Tapi, ya, sekali lagi, isinya nggak ada hubungannya dengan materi pelajaran yang dia ampu.
Misalnya, kami pernah menonton film Ayat-Ayat Cinta. Full. Dari awal sampai akhir. Diakhiri pesan-pesan moral tentang bagaimana cara menemukan pasangan secara syar’i.
Atau yang lebih memorable: sesi nonton video Harun Yahya, tentang bagaimana ia mematahkan teori evolusi. Uedyan. N666eri pokoknya. Gimana mungkin pria berjenggot itu bisa mengolah argumen yang mampu menggugurkan teori yang dirumuskan oleh intelektual sekelas Charles Darwin?
Itu pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya. Pertanyaan selanjutnya, gimana guru saya, yang memang terkenal cukup religius itu, bisa kenal sampai akhirnya ngefans sama Harun Yahya?
Jadi begini.
Semuanya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana masyarakat kita menjalankan keyakinannya, yang sebenernya nggak sekuler yang dibayangkan orang-orang. Apalagi sejak awal 2000-an. Pew Research Center sampai mengukuhkan Indonesia sebagai salah satu negara paling religius di dunia.
Oleh sebab itu, di negara ini iman bukan perkara sepele. Ia adalah sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan di kalangan generasi muda. Ia mesti dibentengi dari ((pengaruh luar)) yang dianggap bisa mengancam si iman itu sendiri.
Namun, di sisi lain, Indonesia juga mesti tunduk pada sains. Mau nggak mau. Namanya aja negara modern. Dan komitmen inilah yang membuat sekolah itu ada. Dari negeri sampai swasta, dari sekolah biasa sampai yang berbasis agama.
Nah, menariknya, sekali waktu sains bisa berseberangan dengan doktrin keagamaan. Contohnya? Ya teori evolusi.
Bayangkan. Doktrin keagamaan menetapkan bahwasanya manusia diciptakan oleh Tuhan, diturunkan ke bumi secara berpasangan, Adam dan Hawa, yang kemudian berkembang biak, sampai akhirnya keturunannya memenuhi bumi.
Di sisi seberang, teori evolusi berkata bahwa semua spesies adalah hasil evolusi, atau perubahan berangsur-angsur dalam waktu yang amat panjang, dari nenek moyang yang sama (common ancestors).
Thomas Huxley, sobat sejatinya Darwin, kemudian menerapkan gagasan Darwin pada manusia. Kesimpulannya, sesuai ilmu paleontologi dan perbandingan anatomi, terbukti kuat bahwa manusia dan kera memiliki nenek moyang yang sama.
Naaah. Ini nih yang sering dibilang orang-orang “masa kata teori evolusi manusia itu keturunan monyet?”
Oh iya, sebab Darwin merumuskan teorinya pakai pendekatan saintifik, disusun berdasarkan bukti-bukti empiris, teori evolusi kemudian diterima secara luas di kalangan akademisi. Evolusi adalah fakta, dan menjadi konsep dasar dalam ilmu pengetahuan.
Jadi kamu bisa membayangkan ya. Betapa dilematisnya guru-guru di Indonesia, khususnya guru biologi, saat harus membahas teori evolusi.
Jika dia membenarkannya, dia sebenarnya sedang memaparkan sesuatu yang bertentangan dengan doktrin agamanya. Dan jika dia memaparkan asal-usul manusia versi agamanya, bukankah itu pendekatan yang tidak saintifik?
Lalu mau dikemanakan pendidikan karakter ini?? Kenapa sih teori evolusi mesti kedengarannya ateistik banget? Why? WHY???
Nah, dilema itu pupus saat Harun Yahya muncul di tengah publik.
Siapa dia?
Nama aslinya Adnan Oktar. Penulis buku dan penceramah asal Turki. Ngakunya sih ilmuwan. Dia terkenal karena getol menolak teori evolusi. Dia setarakan tuh, teori evolusi sama sampah. Menurutnya, gara-gara teori evolusi pula di bumi terjadi banyak pembantaian massal sampai terorisme. Pokoknya segala kenestapaan duniawi.
Hm. Keras juga ya Bang Jago satu ini.
Intinya, Harun Yahya menganggap teori evolusi sebagai kibul-kibul semata. Semua makhluk lahir ada karena campur tangan Tuhan. Istilahnya kreasionisme, gagasan yang menitikberatkan pada keyakinan bahwa kehidupan di bumi adalah hasil dari “tindakan Tuhan”, dan sudah tercantum dalam ayat suci.
Ya apalagi manusia ya kan, masa nenek moyangnya dari monyet?!
Narasi Harun Yahya otomatis disamber sama banyak orang. Dia dianggap sang pencerah bagi banyak pengajar di Indonesia. Kini pendirian mereka kokoh, teori evolusi tetap disampaikan di kelas, tapi bukan untuk diamini kebenarannya, melainkan untuk dipatahkan melalui argumentasi Harun Yahya.
Harun Yahya dianggap sebagai pahlawan karena menyediakan jembatan atas kekalutan yang selama ini mereka hadapi. Harun Yahya membuktikan: sains dan agama tidak harus saling mengalahkan, dan bisa berjalan beriringan.
Saya yakin tidak hanya guru saya yang mengajarkan pemikiran Harun Yahya. Ada banyak guru lain di luar sana yang juga terpesona dengan Bang Jago kelahiran Ankara.
Faktanya, pemikiran Harun Yahya memang berkembang di kalangan masyarakat umum, mahasiswa, ilmuwan, sampai profesor. Serius. Oh iya, satu lagi, lembaga penyedia layanan motivasi yang jaringan pelanggannya adalah sekolah-sekolah di Indonesia. Ahoy~
Pertanyaannya: validkah narasi anti-teori evolusi ala Harun Yahya?
Kalau kamu sekadar yakin dan percaya, narasi itu bisa kamu anggap sebagai kebenaran. Tapi, proses menentukan kebenaran dalam sains tidak hanya didasarkan pada keyakinan. Satu teori mesti mengikuti kaidah penelitian yang amat ketat sebelum bisa difatwakan sebagai fakta.
Lalu bagaimana jika teori itu dirumuskan dari keyakinan personal, dengan cara mencomot fakta-fakta tertentu yang mendukung argumentasinya (cherry picking), kemudian dirumuskan memakai sistem cocoklogi?
Ya itu namanya pseudosains. Artinya, satu klaim yang tampak seperti ilmiah, padahal tidak. Kenapa? Sebab pertama, tidak melalui kaidah penelitian ilmiah, sehingga kedua tidak bisa dibuktikan keotentikan ilmiahnya.
Sayangnya, isi karya-karya Harun Yahya hanya sebatas pseudosains. Sekilas memang tampak masuk akal, tapi sebenarnya dihasilkan dari metode yang melenceng dari kaidah ilmiah. Orang membahasakannya sebagai sesat pikir, alias logical fallacy.
Jadi ya, guru-guru yang ngefans sama Harun Yahya pada dasarnya sedang mengajarkan pseudosains pada peserta didiknya.
Masalahnya tidak semua peserta didik akan tumbuh dengan menyadari bahwa yang ia pelajari bukan sebenar-benarnya ilmu ilmiah. Ia akan menjadikan metode mencari kebenaran ala pseudosains sebagai kerangka berpikir, bahkan bertindak.
Dan akhirnya, di matanya kebenaran akan kian kabur, semakin terdistorsi, apalagi di era post-truth seperti sekarang ini.
FYI, Harun Yahya baru saja dihukum penjara lebih dari 1.000 tahun karena bersalah atas 10 dakwaan. Antara lain pelecehan seksual terhadap anak, memimpin geng kriminal, perkosaan, pemerasan, penipuan, spionase politik dan militer, dan penyiksaan.
Dan saya pun penasaran, gimana respons guru saya pas baca berita itu ya?
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Mudik di Masa Pandemi: Lebih Horor Ketimbang Menetap di Jakarta dan tulisan Awal Hasan lainnya.