Untuk menjawab pertanyaan yang dijadikan judul di atas sepertinya penting untuk mengenal tanaman fenomenal yang satu ini dulu. Untuk yang belum tau tanaman sawit (Elaeis guineensis, Jacq) ini berasal dari Afrika yang dalam Bahasa inggris dikenal dengan nama oil palm. Tanaman sawit mulai dikenal di Indonesia sudah sejak sebelum perang dunia kedua. Mulanya pada tahun 1848 ketika empat biji sawit dibawa langsung oleh seorang belanda yang bernama Dr. D. T. Pryce terus ditanam di Kebun Raya Bogor dan berhasil tumbuh dengan subur di sana. Dari penanaman sawit itulah biji-biji selanjutnya disebar sampai ke Sumatera.
Nah, beberapa hari lagi adalah peringatan Hari Sawit Nasional yang jatuh pada 18 november 2021. Hari sawit nasional sendiri pertama kali dimulai pada 18 November 2017, ditetapkan untuk memperingati penanaman sawit pertama kali secara komersial di Indonesia tepatnya di Kebun Sungai Liput dan Pulu Raja pada 1911.
Mengapa dianggap penting memperingati Hari Sawit Nasional?
Sederhana, karena sawit diklaim pemerintah telah banyak membantu mendongkrak perekonomian negara. Misalnya pada 2020 bersama dengan komoditi pertanian lainnya kelapa sawit berkontribusi 2,5 persen di triwulan III 2020. Indonesia juga adalah negara pemasok produksi sawit terbesar di dunia. Pada 2019, negara kita dapat memproduksi hingga 43 juta ton rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 3,61 persen. dengan luas lahan mencapai 11,5 juta hektar.
Tanaman sawit sendiri juga katanya dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Sebab, pengelolaan sawit akan sangat banyak membutuhkan tenaga kerja.
Apakah sawit punya dampak lain selain dampak positif?
Perkebunan sawit di Indonesia banyak melahirkan konflik agraria. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat pada 2018 ada 83 kasus yang terjadi di perkebunan sawit. Tingginya angka kasus tersebut disebabkan meningkatnya ekspansi lahan sawit secara masif di Indonesia. Data BPS 2020 mencatat perkebunan besar di Indonesia telah didominasi oleh tanaman sawit dengan jumlah lahan mencapai 8,9 hektare. Bahkan di Sumatera dan Kalimantan ada banyak perkebunan sawit yang ditemukan berada dalam kawasan hutan.
Tak hanya mengambil lahan hutan, perkebunan sawit banyak menyumbang dampak lingkungan yang merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan. Seperti erosi tanah, kekeringan air di wilayah hulu dan banjir di wilayah hilir, pemicu laju perubahan iklim global, hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, ditambah lagi dengan pencemaran pembuangan limbah perkebunan sawit ke sungai-sungai.
Pada Februari 2021 kemarin, pemerintah telah mencoret limbah sawit atau spent bleaching earth dari kategori bahan berbahaya dan beracun. Hanya saja banyaknya kasus pencemaran yang membahayakan warga dan ekosistem sungai tak dapat dianggap angin lalu saja. Contoh kasus seperti di perkebunan sawit yang berada di Desa Barakkang, Budong-Budong, dan Kambunong Kabupaten Mamuju tengah yang diliput langsung oleh Mongabay Indonesia.
Warga mengeluhkan pembuangan limbah pabrik sawit ke sungai yang menimbulkan banyak masalah. Seperti polusi udara dari bau busuk limbah pabrik sawit, tercemarnya ekosistem sungai, terganggunya pendapatan ekonomi warga sekitar yang berprofesi sebagai penambak ikan dan nelayan sungai, hilangnya sumber air bersih warga, serta membuat warga enggan beraktivitas lagi di sungai, dan masih banyak lagi. Kemungkinan ada banyak kasus yang serupa yang juga terjadi di sekitar lokasi perkebunan sawit yang di Indonesia.
Sebagai kesimpulan, Hari Sawit Nasional harusnya tak hanya sebagai momen untuk memuji keberhasilan sawit dalam peningkatan ekonomi negara. Tapi, juga sebagai peringatan bahwa yang kita rayakan juga adalah kerusakan sosial dan ekologi yang ditimbulkan oleh ekspansi lahan perkebunan tanaman sawit. Apalah arti sebuah peningkatan ekonomi di atas ekologi yang sudah rusak?
Sumber gambar: Pixabay