Di Hari Keluarga Berencana ini, saya pengin bilang kalau punya banyak anak itu namanya juga sudah “berencana”. Saya prihatin sama istri saya yang sering mendengar kalimat-kalimat kayak gini:
“Saya menyarankan Ibu untuk ikutan KB!” Tegas petugas kesehatan.
“Lu hamil lagi? Emangnya engga KB?” Bacot sahabat sendiri.
“Yaelah, kondom bocor?” Komentar jahat netijen.
Ungkapan di atas sangat mengganggu tentunya bagi seorang wanita yang sedang hamil muda. Setuju enggak kalau saya katakan, ungkapan semacam itu sangat mengganggu psikologi seorang wanita? Meskipun bukan seorang psikolog, saya dapat mengetahuinya, wong istri saya setiap malam cerita ke saya sambil nangis manjah.
Wahai para petugas kesehatan,di Hari Keluarga Berencana ini, saya pengin bilang: meskipun istri saya salah menurut keyakinan kalian, mbok kalau bicara itu disaring! Ibaratnya, tuh, sudah terlanjur hamil masa harus digugurin demi terciptanya “sebuah kelaziman”? Iya, lazimnya kan ikutan program KB dengan begitu jarak beranaknya tidak terlalu mepet.
Wahai para sahabat budiman, kalau istri saya memberi kabar tentang kehamilannya ke kamu, itu artinya dia percaya kamu tidak akan menyakiti perasaannya, kan? Jadi tolong pahami perasaannya, jika benar dia sahabatmu! Minimal dukung dia terlebih dulu, sehabis itu baru deh kalau mau memberi nasihat. Dengan begitu mungkin sahabatmu akan lebih bisa menerima, ye kan?
Kalau saya menjadi istri saya, pasti sudah jawab begini, “Saya ikutan KB kok, bukankah ini bagian dari rencana keluarga saya?” Sayangnya seorang istri tidak seteguh itu, padahal ia tidak bersalah. Seandainya memiliki tiga anak dalam waktu kurang dari lima tahun adalah sebuah kesalahan, maka seluruh dunia tidak saya izinkan menyalahkan dia, istri saya tercinta.
Terlebih istilah “kondom bocor”. Ungkapan itu sangat menyakitkan hati, loh, buat saya, buat istri saya, dan mungkin buat anak saya yang masih dalam kandungan. Ibaratnya kelahiran itu tidak pernah diharapkan atau lebih tepatnya kehamilan itu merupakan sebuah kecelakaan. Bayangkan deh, jahat engga, tuh, istilah “kondom bocor”?
Mungkin memang kondom bocor itu sangat menjengkelkan bagi orang-orang yang memang melakukan hubungan seks tanpa keinginan bisa hamil, misal cuma buat enak-enak. Tapi ya mbok jangan disamakan dengan orang yang memang berencana memiliki banyak keturunan. Selama mampu secara finansial, lahir dan batin, tidak masalah menurut saya.
Lah kalau memang saya cuma mau enak-enaknya saja mending engga usah menikah. Jalani dulu aja pacaran sampai bosan! Kalau putus, tinggal cari pacar lagi mulai dari awal. Begitu saja terus. Sekiranya itu rencana jahat saya kalau memang saya sekadar ingin bersenang-senang.
Lagian menurut saya, memiliki banyak anak itu tidak salah, kok. Saya sudah mencoba membuka situs resminya BKKBN untuk mencari pembelaan, eh untuk mendukung argumen saya. Silakan menelisik tujuan dibentuknya BKKBN!
Ternyata BKKBN bukan sekadar lembaga yang melayani pemasangan alat kontrasepsi loh, mylov. Di Hari Keluarga Berencana ini, saya ingin menegaskan kalau salah satu misi BKKBN yang paling jarang dirasakan adalah memfasilitasi masyarakat untuk membangun keluarga yang berkualitas. Memang isinya ada dengan cara membatasi usia pernikahan, lalu jaga jarak kehamilan, dan pembatasan jumlah anak.
Namun sekali lagi, semua langkah itu ditawarkan oleh BKKBN bagi keluarga yang memang berencana menunda untuk memiliki anak demi terciptanya keluarga yang berkualitas. Tentu kesiapan setiap keluarga berbeda-beda, tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya.
Seperti saya memang berencana memiliki anak balita dengan selisih usia di bawah dua tahun. Tentu hal itu sudah dibicarakan, namanya juga rencana. Kita sudah membayangkan kelebihan dan kekurangannya. Lagi-lagi kami sesuaikan dengan kondisi keluarga demi terciptanya keluarga berkualitas.
Misalnya, mumpung dalam lima tahun ke depan ini saya memang sedang menggarap proyek lumayan besar. Saya mampu membiayai semua kebutuhan istri dan anak-anak, bahkan untuk membayar tiga pengasuh anak. Apakah rencana semacam itu salah?
Sedangkan mengenai usia pernikahan, tentu usia muda tidak menjamin lebih baik atau tidaknya kualitas keluarga. Namun yang menentukan adalah kesiapan. Lah kalau usia 18 tahun sudah siap menikah, sudah paham seluk-beluk pernikahan minimal dari membaca, dan orangnya memang penuh tanggung jawab tentu keluarga seperti ini akan lebih berkualitas daripada pernikahan yang dilakukan di usia matang tanpa pemahaman.
Di Hari Keluarga Berencana yang baik ini, saya ingin mengingatkan kalau ada orang yang sudah dewasa tapi otaknya seperti anak-anak. Banyak kok orang dewasa yang menikah hanya demi menghalalkan status pacarannya, padahal sebenarnya tidak siap sama sekali untuk menikah. Mungkin hukum yang memaksanya harus menikah, atau sekadar ikut-ikutan tren menikah. Intinya, secara umum kualitas keluarga tidak ditentukan dari usia pasangan suami istri.
Sementara pengaturan jarak waktu untuk anak satu dengan yang berikutnya tentu penting untuk diperhatikan. Saya sepenuhnya menyadari mengurus bayi satu saja sudah banyak menyita tenaga, waktu, dan perhatian. Lah bagaimana jadinya kalau tiga balita?
Ini tentunya membutuhkan strategi khusus untuk mendukung terbangunnya keluarga berkualitas. Kita bisa ikutan kelas parenting atau sejenisnya. Jangan sampai berencana memiliki anak banyak tapi tidak memperhatikan hak-hak anak. Engga mau, kan, anak yang banyak itu justru menjadi malapetaka karena kelalaian kedua orang tua?
Lah kalau tiba-tiba ada pihak luar mengomentari dengan seenak jidatnya, itu tuh jadinya lucu. Seandainya komentarnya dibalas dengan sinis, seakan-akan kami ini keluarga yang tidak memiliki rencana. Sedangkan kalau dijawab serius, kok ini komentar terlalu lucu untuk ditanggepi serius. Ya sudahlah, begini saja.
Seandainya memang benar dengan memiliki banyak anak adalah sebuah kesalahan, karena berakibat buruk, bagaimana dengan Gen Halilintar? Apakah kualitas mereka lebih buruk dari kalian?
Lalu bagaimana dengan ibu Nafisah yang memiliki sepuluh anak, dan semua anaknya berhasil menjadi dokter? Halo! Yang sudah membuat hati perempuan saya tersakiti, kalian bisa bilang apa?
Saya pikir teori dua anak lebih baik itu kurang tepat. Kurang tepat buat keluarga saya dan beberapa keluarga lainnya, mungkin. Namun mungkin tepat untuk keluarga dengan kondisi tertentu. Bahkan BKKBN saja sudah mengubah slogan itu. Salut!
Nah kalau BKKBN saja sudah memperbaiki diri, masa kalian tidak? Semoga saja tulisan saya ini sedikit bisa membantu kalian berpikir dulu sebelum berkomentar ya, tapi engga apa-apa sudah biasa kok, minimal kalian tidak menyakiti orang lain di kemudian hari.
Silakan bila kalian tetap menganggap memiliki banyak anak dengan jarak yang mepet adalah sebuah kesalahan! Salahkan saja saya yang telah menghamilinya dengan suka cita! Tapi jangan pernah menyalahkan istri saya, ya!
BACA JUGA 4 Usaha ini Cocok Buat Kalian yang Pengin Kaya tapi Nggak Mau Ribet dan tulisan Erwin Setiawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.