Sebagai anak Jawa Timur asli, yang asalnya beneran ke arah pucuk timur, saya merasa agak bingung ketika datang ke acara pernikahan saudara, yang kebetulan kedua mempelainya asli Jawa Tengah. Awalnya sih biasa saja, tapi begitu mengikuti rangkaian acara seserahan, akad hingga resepsi, saya berkali-kali takjub dan melongo. Akhirnya saya merangkum beberapa hal yang mungkin kamu alami, kalau kamu orang Jawa Timur juga, saat kondangan ke nikahan adat orang Jawa Tengah.
#1 Kagum dengan budaya dan beragam prosesinya
Setiap daerah pasti memiliki adat istiadat yang berbeda ketika menyelenggarakan acara pernikahan. Salah satu adat dan rentetan proses pernikahan yang membuat saya kagum adalah prosesi nikahan adat Jawa, khususnya Jawa Tengah. Pakaian dan riasan yang dipakai saat acara resmi adalah baju beskap dan kebaya, lengkap dengan dandanan yang mengikuti pakem-pakem riasan pengantin. Bau bunga melati biasanya semerbak di seluruh penjuru ruangan.
Paling seru ketika mengamati dan menghayati makna filosofis dari upacara temu manten atau upacara panggih. Begitu sakral dan masih menggunakan bahasa pengantar Jawa halus yang nggak saya mengerti artinya. Mulai dari prosesi pasangan saling bertemu, melemparkan bantalan dauh sirih, prosesi injak telur, lalu kedua mempelai digiring ke pelaminan dengan kain sindur, hingga kacar-kucur, semuanya membuat saya kagum. Meski kurang paham arti tiap prosesi, saya terhanyut ke dalam suasana sakralnya.
Sebenarnya di daerah Jawa Timur saya juga sering menemui prosesi yang serupa. Tapi ketika dilangsungkan di Jawa Tengah, entah kenapa feelnya jadi berbeda.
#2 Seluruh acara hingga hiburan menggunakan bahasa Jawa krama inggil
Setelah cukup dibuat melongo dan kagum di prosesi awal pernikahan, saya masih takjub dengan beragam unsur pendukung acara. Biasanya, atau yang pernah saya temui, ketika pernikahan orang Jawa Tengah yang menggunakan adat Jawa berlangsung, maka seluruh komponen hiburan akan menggunakan bahasa Jawa halus atau bahkan krama inggil. Masalahnya, sebagai orang Jawa Timur, saya kesulitan memahami bahasa Jawa halus lantaran nggak paham sama sekali.
Semua orang menggunakan bahasa Jawa super halus, sampai saya membayangkan mungkin begini rasanya kalau hidup di kerajaan Jawa. Mulai dari penghulu, MC, dalang atau orang yang mengatur jalannya prosesi temu manten, hingga penyanyi pun menggunakan bahasa Jawa halus. Saya mencoba beradaptasi dan susah payah menelaah sedikit kosakata yang saya kenali.
Ketika penyanyi mulai melantunkan lagu-lagu, lirik yang didendangkan pun adalah lirik dengan bahasa Jawa halus. Begitu pula pengiring musiknya yang menyapa tamu kondangan dengan bahasa serupa. Saya terharu sambil geleng-geleng kepala lantaran nggak paham mereka nyanyi dan ngomong apa.
#3 Suasananya chill banget
Acara paling seru dari mantenan biasanya ketika ada kesempatan menyumbangkan lagu. Keluarga besar saya yang banyak berasal dari Jawa Timur semangat ’45 kalau soal menyumbangkan lagu. Lha kok pas mau naik panggung, nyalinya mendadak ciut gara-gara hampir semua lagu yang didendangkan adalah lagu campur sari. Lagu-lagu tersebut menggunakan bahasa Jawa halus. Bukan hanya itu, bahkan ada yang bernyanyi layaknya sinden dalam pertunjukan wayang.
Jelas nyali kami langsung menciut karena awalnya mau nyumbang lagu koplo Jawa Timuran. Meski sedikit canggung, takut, dan ragu kalau tiba-tiba disuruh turun panggung, kami tetap menyumbangkan lagu. Paling aman ya menyanyikan lagu-lagu Alm. Didi Kempot. Ambyar-ambyar dah…
Ketika orang Jawa Timur menyanyikan lagu “Pamer Bojo”, para tamu undangan langsung tahu. Cuma ya karena yang nyanyi wong Jawa Timuran yang seringnya pakai genre koplo, vibe-nya jadi agak heboh sendiri. Selesai menyanyikan dua lagu, gantian penyanyi asli yang kembali mendendangkan lagu Jawa Tengahan, dan entah kenapa suasananya kembali chill.
Saat tengah menyanyi, tiba-tiba si penyanyi mengajak kami bernyanyi bersama. Kami biasanya hanya bisa geleng-geleng kepala, “Ora paham artine, Mbak. Asline ya pengin nyanyi pisan…”
#4 Menemukan menu makanan yang rasanya serba manis dan nggak pedas
Rata-rata orang Jawa Timur hidup di daerah yang masakannya cenderung ke arah asin dan pedas. Semakin ke timur, rasa asin dan pedasnya semakin nendang. Berbanding terbalik dengan masakan Jawa Tengah yang cenderung manis dan nggak terlalu pedas. Maka, ketika datang kondangan ke nikahan adat orang Jawa Tengah, lidah Jawa Timuran kami harus beradaptasi. Semuanya muanis… Enak sih, tapi yaaa karena nggak biasa jadi gimana gitu. Tapi masih bisa diterima kok rasanya, kami nggak sampai lari ke warung untuk beli garam dan menaburi makanan dengan bubuk cabe-cabean. Hahaha.
Selebihnya, pengalaman kondangan ke acara nikah orang Jawa Tengah itu seru kok. Setiap daerah punya style masing-masing, dan ternyata datang ke acara yang beda style dengan kita itu sesuatu banget. Yah nggak kapok lah kalau misalkan kondangan lagi. Besok-besok mungkin harus main lebih jauh lagi buat tour kondangan ke acara nikah dengan adat yang berbeda.
BACA JUGA Warteg Boleh Ada di Mana-mana, tapi Warsun Tetap Juaranya dan tulisan Rahmita Laily Muhtadini lainnya.