Saat saya berkunjung ke Jember, saya mengamati pola kehidupan orang-orang di sana. Ternyata banyak sekali perbedaannya dengan orang Sumenep Madura. Perbedaan-perbedaan itu semakin terasa ketika keluarga yang tinggal di Jember mampir ke Sumenep. Saya mendengar banyak cerita yang mengejutkan, bagi saya ya.
Sejauh pengetahuan saya, ada banyak hal yang biasa saja di Jember, tapi nggak lumrah di Sumenep Madura. Tiga hal di bawah ini hanya beberapa di antaranya:
Daftar Isi
#1 Memproses tembakau jauh lebih rumit
Menurut saya, menanam tembakau di Jember lebih rumit daripada di Sumenep. Di Jember, setelah panen, petani perlu memasukan tembakau ke oven (pengasapan). Perlu juga ditusuk dengan irisan bambu terlebih dahulu. Satu irisan bambu muat untuk 4-6 daun.
Setelah melewati proses itu, daun tembakau kemudian dijemur biar kering. Proses ini bisa menghabiskan waktu 10-15 hari. Setelahnya baru dipisahkan. Daun yang keringnya bagus dijadikan satu dengan. Sementara yang gagangnya belum matang juga dikelompokkan menjadi satu.
Proses seperti itu tidak dilakukan di Sumenep. Daun tembakau tidak perlu ditusuk-tusuk. Daun cukup dijejerkan, ditempel, atau disandarkan dari daun ke daun. Petani cukup menunggu 2 hari 2 malam hingga daun matang.
Setelah dioven hingga daun menguning, daun tembakau kemudian dirajang, lalu ditaruh di gedek. Setelahnya dijemur cukup 2-3 hari. Ketika kering, daun digulung lalu dibungkus ke dalam tikar. Siap ditimbang dan petani akan menerima uang.
Kakek saya yang berasal dari Jambuan, Jember mengakui, proses oven hingga penjemuran tembakau di Sumenep jauh lebih gampang daripada di Jember. Bayangkan saja, kakek saya sudah memproses tembakau yang ditanam pada Mei lalu, hingga kini (Oktober) masih belum merasakan hasilnya.
Sementara petani di Sumenep yang menanam pada Mei lalu, mayoritas sudah merasakan hasilnya pada bulan Oktober ini. Bahkan, ada juga yang hasil dari menanam itu sudah menipis.
#2 Waktu tahlilan di Jember setelah Maghrib
Hal kedua, yang biasa di Jember tapi tak lazim di perkampungan saya di Sumenep adalah waktu tahlilan. Di Sumenep tahlilan biasa dilakukan setelah Isyak. Beberapa keluarga saya yang berasal dari Jember kaget mengetahui hal ini.
Katanya, di Jember, tahlilan orang meninggal lumrah dilaksanakan setelah Maghrib. Lalu kakek saya mempertegas. Andai kata da 2 keluarga yang menggelar tahlilan orang meninggal dan rumahnya berdekatan, maka salah satu tahlilan dilaksanakan setelah Ashar. Sementara tahlilan lainnya digelar setelah maghrib.
Berbeda dengan kampung saya. Kalau hal seperti itu terjadi. Salah satu tahlilan akan digelar setelah magrib. Sementara tahlilan satunya setelah Isyak.
#3 Ongkos pasang wifi yang murah
Satu hal lain yang sangat terasa perbedaannya adalah ongkos pasang wifi di Jember jauh lebih murah daripada di Sumenep. Di Jember, ongkos pemasangan WiFi di bawah Rp 300 ribu. Bahkan, kata kakak sepupu saya, ada yang ongkosnya cuma Rp150.000.
Di Sumenep, khususnya di desa saya di pelosok Kecamatan Pasongsongan beda jauh! Ongkos pemasangan WiFi di sini dari Rp400 ribu hingga Rp500 ribu. Ketika saudara besar saya di Jember mengetahui hal, mereka kaget bukan main.
Di atas 3 hal yang biasa wajar saja di Jember, tapi ternyata tidak lumrah di Sumenep. Nah, kalau kebetulan sampean orang Sumenep Madura maupun warga Jember selesai membaca ini, jika punya pengalaman lain yang membedakan antar kedua kabupaten di Jawa Timur ini, bisalah ditambah apalagi yang biasa di Jember tapi tak lazim di Sumenep.
Penulis: Zubairi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Universitas Trunojoyo Madura Banyak Mahasiswa Abadi Gara-Gara Dosen Sering Ngilang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.