Saya tahu kalian sedang marah-marah perkara BBM naik, tapi saya ingin ingatkan kalian, kalau negara kita masih punya satu drama konyol lagi: Putri Candrawati tidak ditahan karena alasan kemanusiaan.
Benar, ada pelaku kejahatan yang tidak ditahan karena alasan kemanusiaan. Negara, sekali lagi, berpihak pada orang yang punya kekuatan. Banyak orang yang punya kondisi yang sama, namun mereka tidak mendapat perlakuan yang sama.
Saya tak tahu dan sepertinya tak ingin tahu apa yang mendasari mereka hingga mengeluarkan keputusan seperti itu. Tapi, sudah jelas bahwa ini adalah masalah perlakuan yang berbeda. Putri Candrawati, pasti punya privilese tertentu hingga dia dapat keistimewaan ini.
Ya seperti yang saya bilang di atas, ada (dan banyak) yang punya kondisi yang sama, tapi tak dapat perlakuan yang sama.
Tiba-tiba saja, hak asasi manusia dan kemanusiaan dibicarakan begitu merdu dan detil ketika Putri Candrawati terkena kasus ini. Pada waktu lain, ketika rakyat diinjak-injak, “diserang”, demo mahasiswa dibalas gas air mata, kemanusiaan jadi bahasan yang amat tabu.
Saya jadi berpikir, apakah harus punya posisi penting agar dianggap manusia?
Logikanya, selalu lebih banyak orang yang biasa-biasa saja ketimbang yang punya pangkat dan kedudukan. Orang-orang ini, jika kemanusiaannya tak dianggap, saya jadi ngeri membayangkannya. Bahwa ratusan juta manusia di negara ini, tak lebih dari pohon pisang. Ketika mereka terkena kasus, mereka tak akan dapat perlakuan yang “manusiawi”.
Saya ngeri juga melihat ada orang seperti Putri Candrawati. Dia bisa melenggang meski terjerat kasus. Tak perlu susah-susah memikirkan betapa beratnya konsekuensi atas perbuatan yang ia tanggung. Padahal kasus yang menjeratnya juga bukan main-main, terlebih sampai bikin senegara naik pitam.
Orang-orang dengan “kartu bebas penjara” ini amat berbahaya. Sebab, menunggu waktu saja sampai semua jadi korban. Toh, konsekuensi tak berlaku untuknya. Dan itu diperlihatkan secara terang-terangan.
Negara macam apa yang bisa memberikan “kartu bebas penjara”? Yak betul, negara yang gagal.
***
Sedari kecil, kita diajari tiap hari tentang betapa pentingnya berbuat baik dan mengerikannya konsekuensi atas perbuatan buruk yang kita lakukan. Agama mengenalkan neraka, negara mengenalkan hukum. Tidak ada yang menyenangkan dari konsekuensi atas hal buruk. Tak ada yang gagal bikin kita bergidik.
Lalu, makin dewasa, kita tahu bahwa kodrat manusia itu berbuat baik. Tak perlu diberi ketakutan akan konsekuensi pun, kita tahu bahwa hal-hal seperti membunuh, mencuri, merampok, itu salah. Kita menyakiti manusia lain, dan itu salah.
Ajaran-ajaran dan keyakinan tersebut, kita pegang, demi dunia yang ideal. Meski tak ada yang ideal, setidaknya bisa menekan hal-hal buruk.
Lalu, entah bagaimana, tiba-tiba kita diperlihatkan ada manusia yang kebal konsekuensi. Bukan nabi, bukan reinkarnasi dewa, bahkan tak punya kekuatan super, tapi kebal konsekuensi. Alasannya? Menghormati ia sebagai manusia dan kemanusiaan.
Manusia tersebut, mengkhianati apa-apa yang kita yakini. Bahwa menyakiti sesama itu buruk. Bahwa membunuh itu adalah tindakan yang salah. Bahwa melanggar hukum, itu mencederai keyakinan tentang negara yang aman. Manusia tersebut, melenggang bebas, masih bisa menyesap kopi di luar sana.
Ketika konsekuensi tak berlaku, ketika hukum hanya dianggap sebagai hal lucu, hanya menunggu waktu akan terjadi kekacauan. Ketakutan-ketakutan jadi terasa nyata. Bahwa negara tak lagi berpihak pada rakyat, bahwa negara hanya ramah pada orang berpangkat terlihat amat nyata.
Dan sepertinya kita harus mulai menerimanya dan berjaga diri. Sebab, di luar sana, (sepertinya banyak) manusia kebal konsekuensi dan punya hak yang tak bisa dipegang rakyat kebanyakan, yaitu hak assassin manusia.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Harga BBM Naik, Dana Pensiun Diubah, Istri Ferdi Sambo Tak Ditahan tapi Rakyat yang Kudu Memahami