Saya termasuk jenis orang yang bersiap-siap menyesal ketika menyambut Ramadan, setidaknya sebelum saya menemukan Gus Baha’ di kemudian hari. Bukan, bukan karena nggak bisa ngopa-ngopi sambil nyebat rokok saat siang. Juga bukan lantaran nggak bisa ngumpulin teman buat ngerumpi asyik. Melainkan, karena saya kerap merasa gagal memanfaatkan momentum Ramadan untuk tampil saleh di depan gebetan meningkatkan laku ibadah saya.
Saya sadar kalau saya ini tipikal cowok ndableg dan ibadahnya masing angin-anginan. Salat saja saya sering telat (apa lagi subuh), dengerin ceramah kiai cuma kalau ada iming-iming nasi tumpeng, dan ngaji juga pun seminggu sekali. Itu juga kalau ingat. Selebihnya, ya cuma ngopa-ngopi sambil nggosipin temen yang gagal membangun mahligai perpacaran. Namun, kalau soal bulan puasa, lain lagi ceritanya.
Bagi saya, kehadiran Ramadan merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan kegiatan ibadah seraya meng-upgrade kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.
Selayaknya tamu istimewa, saya yakin semua muslim mana pun tentu ingin menyambut Ramadan dengan cara istimewa pula. Orang-orang yang saban harinya cuma ke masjid waktu magrib, biasanya akan giat memadati saf-saf salat ketika Isya. Mereka yang sebelumnya jarang bersilaturahim, biasanya mendadak rajin mengikuti ceramah kiai dan buka bersama orang banyak—walau seringkali motivasinya cuma ingin makan gratis dengan menu variatif.
Saya pribadi termasuk orang yang suka membuat daftar kegiatan. Nah, khusus Ramadan, saya biasanya punya agenda-agenda ibadah seperti tadarusan sampai lima kali khataman, salat berjamaah selama satu bulan penuh, dan nggak akan mangkir tarawih sama sekali. Rencananya selalu begitu. Walaupun realitanya saya nggak pernah benar-benar bisa memenuhi semua daftar tersebut.
Itulah mengapa saya selalu bersiap-siap menyesal ketika Ramadan tiba.
Lima hari pertama saya biasanya masih antusias menjalankan semua daftar kegiatan yang sudah disusun. Namun menginjak hari keenam dan seterusnya, lain cerita. Jangankan rajin jamaah tepat waktu, berdiri buat tarawih 23 rakaat saja berat. Serasa ngangkat setengah karung pasir basah. Tadarusan saya pun nggak konsisten dan rasanya, tiap hari, makin menurun intensitasnya.
Saya sadar betul bahwa ini akibat dari perlaku “suka menunda-nunda” dalam diri saya. Sudah begitu, saya malah kerap melakukan kegiatan yang kurang relevan untuk kebaikan hidup saya sendiri.
Pagi hari bukannya bangun lalu nyicil ngaji, malah tidur karena capek begadang main PES dan ngerasa waktu masih panjang. Eh, bangun-bangun udah jam 1 siang, gagal jamaah dan akhirnya salat di rumah, terus tidur lagi karena kesal. Lalu bangun jam 4 sore, mandi, salat, terus nyari makan sambil jalan-jalan ngabuburit. Berharap habis magbrib akan lebih semangat mengaji.
Tapi realitanya, setelah buka puasa malah kekenyangan dan nggak kuat tarawih ke masjid. Ujung-ujungnya ketiduran terus bangun jam 9 malam. Pengen tadarus barenga mbak-mbak di masjid tapi malah sumpek mikir tugas-tugas kuliah dan akhirnya memilih untuk main PES lagi atau malah nggosipin teman lewat telepon sampai sahur. Begitu terus.
Ramadan tahun ini, saya sudah siap untuk menyesal lagi. Nggak tahu kenapa, saya seringnya ingat tentang agenda-agenda yang gagal saya wujudkan campur rasa muak sama diri sendiri karena selalu terjebak dalam masalah yang sama, berulang-ulang kali. Bukan cuma itu, saya bahkan kerap merasa telah melewatkan kesempatan-kesempatan untuk menjadi lebih baik. Singkatnya, saya sempat merasa seolah hidup saya nggak lebih baik dari nyamuk apes yang terbang di dekat seekor cicak.
Sampai akhirnya kemarin, seorang kawan yang ngontrak bareng saya, membuka Youtube dan dia memutar penggalan ceramah seorang kiai di sebuah channel. Kiai tersebut bernama Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha’. Beliau ini ulama asal Rembang yang belakangan memang bikin saya penasaran. Sebab, menurut beberapa orang ceramahnya enak didengar dan refrensi kitabnya kuat.
Dalam channel tersebut, Gus Baha’ tengah menjelaskan tentang betapa sombongnya orang yang terus mengingat-ngingat kesalahannya lebih dari ia mengingat kebaikan dalam dirinya.
Awalnya saya kaget dan membatin, “Lho ini maksudnya gimana? Bukannya lebih baik sering ingat kesalahan biar tetap sadar kalau dirinya manusia? Ketimbang terus-menerus ngerasa baik kaya Fir’aun sama Namruz?”
Tapi terus saya mulai tercenung mendengar penuturan beliau kala menerangkan salah satu pemikiran Abul Hasan Asy-Syadzili. “Orang hanya ingat dosa itu sombong, mestinya dia juga mengingat sisi-sisi hidayahnya Allah, sisi kebaikan-Nya.” Demikian kata Gus Baha’ dalam Bahasa Jawa.
Beliau menjelaskan betapa rahmat Allah kadang datang dalam wujud-wujud yang sederhana. “Hari ini kamu tidur dan terhindar dari zina, kamu minum dan nggak nyabu, dikasih kesabaran waktu ketemu orang macam-macam di jalan, itu semua rahmat dari Allah. Lha kok kamu malah ingat keburukanmu terus seakan-akan Allah nggak pernah nolongin kamu.”
Kata-kata Gus Baha’ itu tergiang di telinga saya hampir semalaman. Masuk akal juga omongan beliau. Ini seperti saya punya teman, tapi selalu merasa sendiri dan kesepian. Padahal, teman saya itu udah berkali-kali nolongin saya, menghibur saya, bahkan ada saat-saat ketika kami melewatkan hari-hari penuh canda tawa bersama. Dan, saya tetap merasa kesepian, seolah nggak mengakui usaha dan eksistensi teman saya itu.
Dalam penggalan ceramah singkatnya Gus Baha’ tersebut, saya seolah diingatkan supaya jadi manusia yang nggak terus-terusan mengingat kesalahan atau dosa-dosanya semata seraya melupakan bahwa rahmat Allah itu nggak terbatas dan bisa kita temukan di mana-mana.
Mungkin pagi ini saya memang gagal nyicil 30 juz karena tidur melulu, tapi, hey, paling nggak saya jauh dari maksiat dan bisa menjalani ibadah tanpa sambat entah dalam bentuk apa pun. Mungkin saya hari ini bangun kesorean, tapi lihatlah saya jadi melalui hari dengan lebih cepat dan bisa segera berbuka tanpa perlu melewati cuaca siang yang terik. Selalu ada rahmat Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, dalam setiap napas yang kita embuskan.
Saya hanya perlu menjadi lebih giat, lebih disiplin. Kalau nggak bisa hari ini, maka besok pasti ada kesempatan selama janur kusing masih belum melengkung di depan rumah untuk jadi lebih baik. Untuk itu, saya bisa memulainya dengan membuka Alquran dan mengaji hari ini atau mengusir kemalasan dengan mulai melangkah ke masjid tiap azan berkumandang.
Dari nasihat Gus Baha’, saya jadi sadar bahwa saya hanya harus bergerak menyongsong rahmat-rahmat Tuhan yang lain, dan bukan cuma memahaminya sebagai keniscayaan yang akan selalu ada. Hidup dengan perspektif demikian, menurut saya lebih positif. Daripada terus jadi orang yang menyesali kesalahannya sendiri.