Guru Ngaji Cabul Bikin Hidup Sesama Guru Ngaji Menderita, Orang-orang Jadi Curiga dan Mem-bully dengan Panggilan “Walid”

Guru Ngaji Cabul Bikin Hidup Sesama Guru Ngaji Menderita, Orang-orang Jadi Curiga dan Mem-bully dengan Panggilan "Walid" Mojok

Guru Ngaji Cabul Bikin Hidup Sesama Guru Ngaji Menderita, Orang-orang Jadi Curiga dan Mem-bully dengan Panggilan "Walid" unsplash.com

Akhir-akhir ini saya sering menerima DM Instagram atau pesan WA dari beberapa teman. Pesan tersebut berisi reels atau video terkait kasus pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru ngaji. Sialnya, kasus-kasus tersebut ternyata marak terjadi di kabupaten tempat saya tinggal, di Demak

Modusnya pun beragam, di antaranya ada yang disuruh setoran hafalan al-Qur’an kemudian dilecehkan. Ada pula yang punya pondok pesantren kemudian mencabuli santri-santrinya. Dan, masih banyak lagi. 

Melihat berita-berita yang demikian getirnya, tentu saya merasa miris. Bagaimana bisa seseorang yang diberi anugerah kepandaian dalam ilmu agama, malah berperilaku bejat terhadap murid-muridnya. Bukannya mendidik mereka supaya kelak menjadi orang bener, tapi ternyata kok malah merusaknya. Tolol emang!

Sebagai seseorang yang mengabdi sebagai guru ngaji, jujur saja saya merasa nyesek sekaligus resah. Sebab, sampai detik ini saya punya kedekatan dengan isu tersebut. Saat ini saya masih melanjutkan apa yang diperjuangkan almarhum bapak sejak dulu, membimbing anak-anak kampung agar bisa membaca al-Qur’an. Namun, munculnya berita terkait guru ngaji cabul ini benar-benar membuat saya resah. Daftar keresahan tersebut selengkapnya sebagaimana di bawah ini.

#1 Minat anak-anak kampung untuk ikut ngaji kian menurun

Saya kurang tau sejak kapan pastinya. Namun, kalau diperhatikan, anak-anak ngaji di kampung kami seakan terus merosot peminatnya. Dulu, ngaji selepas maghrib yang diinisiasi oleh almarhum bapak bisa diikuti hingga lebih dari 30 anak. Bahkan, anak-anak kampung sebelah juga rela jauh-jauh datang. 

Melihat antusias tersebut, almarhum bapak dan saya sebagai pengajar sering kelimpungan. Akhirnya kami mendatangkan satu guru dari luar lagi untuk membantu mengajar ngaji.

Sekarang beda cerita. Jangankan 30 anak, bisa ada 15 anak yang ikut ngaji al-Qur’an saja sudah alhamdulillah banget. Sesekali bahkan tidak menyentuh jumlah 10 anak. 

Terus terang saya sangat khawatir. Maraknya kasus guru ngaji cabul ini akan mendatangkan perasaan traumatik pada anak-anak hingga akhirnya mereka memilih untuk tidak mengaji.

#2 Para orang tua menjadi trust issue terhadap guru ngaji

Dikarenakan beberapa wali murid ngaji adalah tetangga saya yang pada dasarnya memang sering srawung bareng. Saya banyak menerima pertanyaan kritis dan keluh kesah terkait oknum guru ngaji cabul dari mereka. Misal, pertanyaan “Mas, kemarin ada kasus guru ngaji kok cabul tuh gimana menurutmu? Kurang ajar banget sih.” Ungkapan kepedihan misal “Ya Allah, kok yo tega, ono guru ngaji sampe melecehkan murid-muride ya mas” dan sebagainya.

Sejak awal saya sudah paham. Berita-berita terkait oknum guru ngaji yang cabul jelas akan berdampak signifikan pada tingkat kepercayaan orang tua. Menanggapi pertanyaan kritis itu, berulang kali saya menekankan, salahkanlah perilakunya, bukan profesinya. Kalau kita kemudian pukul rata dengan mengatakan guru ngaji “pasti” cabul. Itu justru logika yang amburadul dan salah kaprah dong.

Selain itu, jika boleh mengutip dari tuturan Gus Baha, kasus-kasus cabuk tersebut sebenarnya ada dampak positif yangbisa dipetik.  Lha kok? Kenapa begitu? Ya sebab, kita jadi bisa belajar bahwa kita tidak berhak mengkultuskan seseorang. Lebih-lebih menganggap seseorang yang berpakaian agamis, bahkan ngajar ngaji pasti orang baik. Buktinya ada kan, guru ngaji yang ternyata cabul.

#3 Guru ngaji dipandang sebagai pengabdian yang sepele

Saya sempat merasa jengkel tatkala membaca salah satu komentar di akun instagram Info Kejadian Demak saat memberitakan kasus pencabulan oleh oknum. Salah satu netizen ada yang nyerocos begini, “Untung dadi wong ndablek, nek dadi guru ngaji pora celutak manukmu?” sembari ngetag salah satu temannya. Terjemahan bebasnya, dia seakan berkata pada temannya, “Beruntung jadi orang nakal, kalo jadi guru ngaji apa nggak pecicilan burungmu itu?”. Saya kurang paham dia melontarkan kalimat itu dengan serius atau sekadar gurauan. Namun, hemat saya, jika pun toh dianggap gurauan, tentu ini bukan lelucon yang lucu. 

Padahal, jika berkaca pada almarhum bapak, beliau sejak tahun 2006 sampai wafat di tahun 2024 mengajar ngaji anak-anak kampung dengan tanpa dibayar. Niatnya cuman satu, agar anak-anak di kampung tempat kami tinggal minimal bisa membaca al-Qur’an. Udah, itu saja. Lha kok sekarang ada stigmatisasi kalau guru ngaji selalu dikaitkan dengan dunia seksual. Sepele banget, kan asyuuu.

#4 Sebagai guru ngaji, saya sering dipanggil “Walid”

Poin yang terakhir, keresahan yang nggak terlalu saya resahkan. Sebab saya tahu, teman-teman memanggil saya dengan panggilan “walid” itu tuh hanya sekadar gurauan saja. Tidak dalam rangka bullying yang serius. Selain itu, saya toh juga bukan pelaku sebagaimana “walid” dalam film Bidah, jadi nggak perlu terlalu resah juga. Justru ini malah menjadi pengingat bahwa guru ngaji itu punya beban moral yang berat, makanya jangan jadi seperti Walid.

Setidaknya, itulah empat keresahan yang saya rasakan sebagai seseorang yang notabene menjadi guru ngaji tatkala berita oknum guru ngaji yang cabul kian marak. Seharusnya pemerintah memberikan sanksi yang tegas pada kasus-kasus beginian. Biar kejadian-kejadian menyedihkan nggak terulang lagi.

Penulis: Ahmad Nadlif
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA HRD yang Merasa Dirinya Superior dan Paling Berkuasa Menentukan Nasib Pekerja Memang Pantas Jadi Musuh Bersama. 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

 

Exit mobile version