Beberapa waktu lalu, saya menulis artikel di Terminal Mojok soal mahasiswa FIB. Di sana saya sempat menyinggung sedikit pengalaman saya menjadi guru bimbel Bahasa Indonesia di tengah-tengah kesibukan kuliah..
Nah, kali ini saya akan membahas lebih dalam soal pengalaman tersebut. Menurut saya, guru bimbel merupakan pekerjaan yang tak boleh dianggap remeh. Bahkan saya berani mengatakan bahwa guru bimbel merupakan profesi paling pengertian di dunia. Kok bisa?
Daftar Isi
Guru bimbel mengerti kondisi murid
Selama menjadi pengajar bimbel, saya selalu berusaha untuk mengerti kondisi para murid yang saya ajar. Saya mencoba untuk berada di posisi mereka dan merasakan kegalauan apa saja yang mungkin terjadi selama mengikuti bimbel.
Coba bayangkan, mereka telah menuntut ilmu di sekolah dari pagi hingga siang hari. Kemudian sore harinya, mereka masih harus melakukan hal yang sama di tempat bimbingan belajar. Apakah itu tidak membuat mereka kelelahan, baik secara fisik maupun mental?
Makanya saya tidak masalah jika ada murid yang meminta “free time” ketika jam belajar sejatinya belum usai. Beberapa kali terjadi momen di mana waktu masih menyisakan sekitar lima sampai sepuluh menit, tetapi para siswa sudah menunjukkan tampang lelah dan meminta saya untuk menyudahi aktivitas penyampaian materi ataupun pembahasan soal. Jika sudah begini, saya memilih untuk mengikuti kemauan mereka. Toh, bukankah akan menjadi suatu kesia-siaan jika saya tetap memaksakan kegiatan mengajar, tetapi orang-orang yang mau diajar justru sudah kehilangan fokus?
Tak cuma itu saja, saya juga mengizinkan para murid untuk makan-minum ketika kelas bimbel telah dimulai. Saya paham, banyak dari mereka yang belum sempat mengisi perut karena harus terburu-buru pergi ke tempat bimbel dari sekolah. Terlebih, saya termasuk ke dalam golongan orang yang percaya bahwa perut kosong adalah salah satu hambatan terbesar dalam berkonsentrasi penuh.
Jadi, tak masalah jika anak-anak tersebut ingin mengikuti pelajaran sembari melaksanakan aktivitas “kunyah-mengunyah”, asalkan yang dikunyah bukan nasi tumpeng atau nasi Padang, ya. Bisa-bisa seisi kelas jadi ikutan heboh. Hehehe.
Saya rasa, “pengertian” semacam ini tidak hanya dimiliki oleh saya seorang. Banyak guru bimbel lain di luar sana yang juga mempunyai kepekaan yang sama. Ingatlah, para murid tersebut bukan robot. Mereka juga dapat merasa jenuh, suntuk, bosan, ngantuk, dan lain-lain. Di tempat bimbel, sudah sepatutnya mereka merasakan pengalaman menimba ilmu yang tidak “seketat” di sekolah.
Mengerti keseluruhan materi
Dalam konteks pengajaran, sesungguhnya tidak begitu ada perbedaan di antara guru bimbel dan guru di sekolah konvensional. Jika betul-betul mesti menyebutkan ketidaksamaan di antara keduanya, maka yang paling menempel bagi saya adalah dalam hal panggilan, di mana guru bimbel lebih sering dipanggil “Kak”, alih-alih “Pak” atau “Ibu” seperti di sekolah-sekolah.
Akan tetapi, kembali lagi, pengajar bimbel juga memiliki kewajiban yang sama seperti guru-guru pada umumnya dalam memahami keseluruhan materi yang diajar. Hal ini tentu sesuai dengan alasan para murid mengikuti bimbel: untuk memperdalam materi yang mungkin kurang dibahas secara detail di sekolah. Maklum, di sekolah, mata pelajarannya kan banyak, ya. Sementara di bimbel, pelajaran-pelajaran yang dibahas dapat dikatakan hanya yang vital.
Menariknya, ada beberapa kali kejadian di mana ada murid yang menanyakan suatu materi yang sebenarnya di luar materi yang saya ajarkan. Misalnya, hari ini seharusnya saya mengajarkan materi tentang puisi. Namun, sang murid malah menanyakan materi tentang teks anekdot dengan alasan materi itulah yang sedang ia pelajari di sekolah.
Apakah tindakan si murid salah? Ya, tentu tidak! Sebagai guru bimbel yang baik, saya tentu akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Namun,momen tersebut betul-betul menguji kapabilitas saya sebagai seorang pengajar yang dituntut untuk selalu mengerti semua materi dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para murid.
Jangan sampai begitu ditanya, saya justru memasang ekspresi kebingungan dan berujung berkata, “Maaf, Kakak nggak tahu.” Auto rusak reputasi saya sebagai pengajar.
Mengerti pentingnya pendidikan di luar sekolah
Terus terang, saya tidak pernah menjadi siswa bimbel seumur hidup saya. Saya tidak pernah relate dengan kisah-kisah perjuangan mengikuti les sehabis pulang sekolah yang dahulu kerap diceritakan oleh teman-teman saya.
Dahulu, selain karena masalah bujet, saya beranggapan bahwa mengikuti bimbel merupakan suatu aktivitas yang tidak penting-penting amat. Saya merasa cukup dengan apa yang saya peroleh di sekolah.
Namun, begitu menjadi guru bimbel, anggapan tersebut langsung saya tolak mentah-mentah. Teruntuk seorang pelajar, tampaknya tidak cukup jika hanya menerima materi yang disampaikan oleh bapak-ibu guru di sekolah. Sebab, seperti yang saya bilang, pembahasan materi di sekolah cenderung terbatas dan kurang mendalam karena banyaknya mata pelajaran yang diajarkan. Makanya bimbel dan lembaga pengajaran di luar sekolah memegang peranan penting.
Jika target yang dicapai sekadar “tahu”, anggapan kuno saya dulu memang ada benarnya. Namun, setelah dipikirkan kembali, jika seorang siswa ingin betul-betul paham dan sepenuhnya menguasai suatu materi, tidak ada salahnya untuk mengikuti bimbel. Hal ini tentu akan bercabang ke banyak aspek.
Contohnya, selama mengajar, saya kerap terpukau dengan betapa cepatnya para murid dalam mengerjakan soal-soal. Tidak hanya cepat, jawaban yang mereka pilih juga tepat. Hal ini tentu akan memberikan dampak positif ketika mereka mengikuti tes masuk perguruan tinggi kelak. Mereka jadi lebih terlatih; jadi telah terbiasa untuk melakukan sesuatu yang mungkin jarang dilakukan oleh siswa-siswi yang tidak mengikuti pendidikan di luar sekolah.
Intinya, setelah menjadi guru bimbel, saya jadi makin mengamini betapa beratnya tanggung jawab seorang pengajar. Pokoknya jauh lebih berat daripada menjadi fans Manchester United ataupun Chelsea saat ini. Wkwkwk.
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Noda dan Dosa Guru: Sisi Gelap Sebuah Profesi yang Dianggap Mulia.