Google Maps merupakan sebuah temuan yang luar biasa di era teknologi seperti sekarang ini. Saya pun dibuat takjub oleh penemunya. Ketika dulu para penjelajah samudera harus bersusah payah untuk menuntaskan perjalanannya. Sekarang semua dibuat simpel oleh Google Maps. Saya sempat berpikir bahwa penemu Google Maps adalah orang selo sekali. Kerjanya cuma muter-muter dari utara ke selatan, timur ke barat, sesuka dia.
Bagi saya Google Maps telah menjadi semacam “candu” ketika akan menempuh sebuah perjalanan. Saat akan menuju ke suatu tempat, saya pun selalu menyempatkan mengecek keadaan lalu lintas yang akan dilewati. Apabila berwarna merah tentunya jangan dilewati, kecuali kalau kamu punya ilmu ambles bumi. Tiba-tiba kamu sudah sampai di rumah mantan. Njuk mewek nangis, ambyar ra rampung-rampung!
Keasyikan menggunakan fitur yang dimiliki oleh Google Maps, membuat alam bawah sadar saya menjadi memiliki pola tertentu. Perjalanan sama dengan menggunakan Google Maps. Akhirnya sugesti itu begitu kuat menusuk.
Pengalaman menggunakan Google Maps pun saya terapkan ketika menuju luar kota beberapa waktu yang lalu. Kebetulan saya diberikan amanah untuk menjadi navigator. Di sinilah saya merasa SIM A saya hanya menjadi pengisi dompet agar terlihat tebal di tanggal tua.
Sebagai seorang navigator yang baik tentunya saya harus bisa memberikan panduan bagi sopir, dong? Berbekal dengan kuota dan baterai yang sudah full, maka saya siap menjadi navigator. Mirip kayak balapan rally mobil gitu deh, hanya bedanya nggak pake helm aja.
Titik tujuan dipasang. Tentu tak lupa doa mengiringi. Mobil pun dipacu berlari di atas aspal yang mulai memanas. Saya sangat yakin dan merasakan bahwa perjalanan akan berakhir dengan bahagia. Sungguh sangat yakin!
Dan ternyata dengan baik hati, Google Maps memilihkan rute yang tercepat. Awalnya kami masih berpikir bahwa jalan yang dilewati ini akan bisa dilalui mobil. Yang terjadi adalah sebaliknya. Di luar dugaan kami semua. Kami pun hanya tertawa menanggapi kelakuan Google Maps. Emang pengen minta dicubit tuh mbak yang jadi pengisi suaranya. Gemesin deh.
Singkat cerita, kami harus kembali ke Yogyakarta. Malam sudah turun bahkan mendekati pergantian hari. Sehingga kami mendapatkan banyak masukan untuk tidak melalui rute tertentu dari beberapa teman. Katanya sih membahayakan dan kami sepakat tidak melaluinya.
Perjalanan di tengah malam harus tetap kami lakukan. Teman saya sudah tak sabar bertemu dengan istri dan anaknya. Sedangkan saya? Tidak usah diteruskan ya. Skip! Titik akhir perjalanan sudah ditentukan. Mobil melaju ke Yogyakarta. Awalnya semua berjalan lancar hingga Google Maps tiba-tiba kembali lagi memilihkan rute tercepat menurut versi dia. Tuh kan iseng lagi.
Jalanan yang kami lewati sangatlah luar biasa. Berkelok-kelok, kelam, dan sepi. Sesekali hanya bertemu dengan kendaraan ataupun warga yang sedang ronda. Beruntung saya tidak memiliki kemampuan indigo. Kalau punya? Bisa mengoceh sepanjang perjalanan saya. Jalan tersebut tampak tak berujung. Malah semakin menanjak bukan menurun. Peran saya sebagai navigator mulai dipertanyakan oleh teman saya. Dia mulai menggugat arah yang ditunjukkan oleh saya.
Bergegas dia mengambil gawainya yang buatan Amerika itu. Apa daya saya yang hanya memiliki gawai buatan Tiongkok. Mungkin dengan beda teknologi akan memiliki hasil yang berbeda. Lah kok hasilnya sama saja. Si Google Maps tetap nunjukin rute yang sama dengan gawai saya. Ealah….
Google Maps tampaknya punya sudut pandang berbeda dengan kami berdua, manusia. Begitulah kesimpulan yang bisa saya peroleh dari perjalanan. Manusia memang butuh teknologi tetapi bukan sepenuhnya diatur oleh teknologi. Ada baiknya bersinergi. Memang sih teknologi membuat manusia semakin mudah. Bukan berarti pula membuat kita lupa sebagai manusia dan seharusnya tetap membuka ruang diskusi.
Perjalanan memang membawa kisah dan pengalaman baru. Setidaknya Google Maps sudah memberikan perjalanan yang seru. Lagipula prank yang dilakukan juga lebih bermutu dan otentik, nggak cuman ikut-ikut. Lha kami saja nggak bisa menerka kejutan yang dibuat sama Google Maps. Apa mungkin saya juga yang nggak bisa pakai teknologi. Bisa jadi lho ya. OK Google, makasih sudah di-prank….
BACA JUGA Cerita Unik tentang Tata Krama Ketika Tanya Jalan ke Orang atau tulisan Diaz Radityo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.