Dalam suasana Ramadan di tengah pandemi seperti ini, bermain gim adalah kegiatan yang paling berfaedah. Titik. Itu kalau menurut saya. Selain itu, sebagai upaya untuk menghilangkan kerinduan terhadap sepak bola, maka gim bergenre sepak bola yang saya pilih untuk menemani WFH saya. Ralat, GFH saya–gaming from home.
Namun di sini saya tidak akan ikut serta dalam debat sampai mati antara kaum fanatik FIFA dengan kaum fanatik PES. Karena hanya akan menyita waktu gabut ibadah saya. Sangat unfaedah.
Sebagai gantinya saya akan sedikit menceritakan pengalaman saya bermain gim sepak bola yang bukan PES atau FIFA. Yaitu gim Football Manager. Gim yang paling cocok dengan mahasiswa Teknik Industri macam saya, jurusan yang kata dosen saya lulusannya kelak akan menjadi manajer itu.
Seperti yang gugel bilang, Football manager atau FM adalah gim simulasi manajemen tim sepak bola keluaran Sport Interactive. Gameplay FM menitikberatkan pada pengelolaan tim sepak bola yang mencakup filosofi, strategi, manajemen pemain dan staff, hingga aspek finansial.
Memang pada kedua gim sebelumnya juga menyediakan mode manajerial tim seperti Master League pada PES atau Career mode pada FIFA. Namun, di sini saya tidak akan menjadi pihak ke-tiga yang berlagak sebagai juru adil karena akan sangat tidak etis jika lantas membandingkan FM dengan kedua gim sebelumnya. Selain karena sangat tidak apple-to-apple, jujur dibanding-bandingkan itu rasanya tidaklah enak, Kawan. Percayalah! Hiks.
Dalam bermain Football Manager jangan harap bisa merasakan sensasi menggocek lawan atau melancarkan umpan antar kota-antar provinsi. Sebaliknya kita akan disibukkan dengan kesibukan seorang manajer tim sepak bola, mengepalai seluruh aktivitas tim yang di bawahi.
Gameplay Football Manager akan membawa kita untuk dapat merasakan kuasa penuh atas suatu klub. Mulai dari menentukan filosofi sepak bola, melakukan jual-beli pemain, menentukan strategi, hingga membangun sarana dan prasarana klub. Bahkan ketika nantinya kita dapat memberikan kesuksesan, petinggi klub tidak akan segan untuk mengabadikan nama kita sebagai nama mantu, eh salah, nama stadion.
Pada awalnya kita akan di-hire oleh suatu klub. Setelah mendapat pengarahan dari pemilik klub, kita akan dituntut untuk menentukan filosofi dan ekspektasi klub untuk satu musim mendatang. Selain itu kita juga akan dihadapkan dengan pemain-pemainnya untuk menjelaskan ekspektasi dan strategi-strategi yang akan digunakan selama satu musim mendatang. Untuk mendukung strategi tersebut, sebagai manajer kita akan diberikan keleluasaan untuk melakukan transfer pemain. Namun itu juga tergantung pada pemain yang bersangkutan, apakah ia setuju atau tidak. Selanjutnya kita hanya akan melakukan otak-atik strategi guna memenangkan pertandingan dan menuntun klub meraih trofi.
Juga yang tak kalah penting adalah permainan media. Tidak hanya di dunia nyata, di FM pun ocehan atau sekedar nge-twit akan dapat berdampak pada lawan, pemain kita, atau bahkan kita sendiri. Jika tidak di-handle dengan baik akan menjadi senjata makan tuan.
Terbilang mudah? Iya, ketika klub yang ditukangi adalah klub konglomerat macam Real Madrid, Barcelona, PSG, atau Manchester City.
Sensasi bermain Football Manager akan lebih terasa jika kita menukangi klub antah berantah dengan segudang masalah dan finansial yang mereka punya. Sebut saja FC Lorient, St. Pauli, Spartak Subotica, atau bahkan klub-klub lain yang bahkan kita tidak pernah menjumpai nama tersebut sejak kita mengenal macam-macam huruf dan angka.
Sensasi tersebut muncul ketika performa tim yang terus merosot yang mengharuskan kita untuk menaikkan moral para pemain yang terlanjur jeblok. Belum lagi ketika ada pemain yang unhappy dan memilih hengkang dari klub. Maka tidak menutup kemungkinan para petinggi akan memecat kita ketika performa klub tak kunjung membaik.
Namun sebaliknya apabila berhasil mengatasi masalah-masalah tersebut dan memimpin klub memenangi kompetisi-kompetisi elite, maka akan muncul suatu kebanggaan tersendiri. Tidak heran akibat sensasi yang ditimbulkan ini yang menyebabkan FM menyertakan addicted level atau level kecanduan bagi para pemainnya.
Yap, dengan bermain gim ini, saya pun bisa merasakan kegembiraan Om Klopp saat mengangkat si kuping besar bersama Liverpool di masa puasanya atau bahkan perasaan Mbah Wenger terdiam kala melihat spanduk #wengerout terbentang di atas stadion yang dibangun dari jerih payahnya sendiri.
Di luar itu semua, dengan pengalaman saya bermain gim ini setidaknya saya tidak keder saat ditanyai oleh calon mertua tentang profesi dan prestasi saya.
“Le, sebelum kamu meminang anakku, sebelumnya aku pengin tahu nanti anakku ini kamu akan beri makan apa?”
“Gini, Pak. Sebelumnya saya tidak mau sombong kalau saya itu manajer Lazio. Dua kali juara copa Italia, sekali juara Europa League, dan sekali juara Serie A. Untuk gaji saya, nggak besar-besar amat, Pak. 150 ribu paun per minggu cukup lah buat biaya macak sampai masak buat anak Bapak, itu juga belum termasuk bonus.”
“Oalah, Le. Bagus, bagus. Tapi sayang sekali. Kamu belum bisa, Le.”
“Wadaw. Kalo boleh tahu, kenapa ya, Pak?”
“Hehehe. Saya Romanisti, Le.”
“$#!1?!$&!$”
Ambyarr, Pak Dhe. Lalu njoget.
BACA JUGA Soal Game Sepak Bola, PES Lebih Baik daripada FIFA, Titik! atau tulisan EmArif lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.