Hidup dengan syair-syair yang mengalir dari bagian cerita perjalanan kehidupan ini tentu sangat amat menarik. Merangkai kata, mengolah makna, mengilhami intisari kehidupan, lewat kata-kata yang rangkai seindah mungkin. Kadang kala saya sering berpikir, andai saja saya ini sedikit puitis, tentu postingan di Instagram saya akan penuh dengan potongan-potongan petikan puisi. Atau paling tidak, sehari sekali, saya akan ngetweet sajak-sajak pendek yang ciamik.
Tapi sayangnya tiap kali membuat puisi, otak saya mendadak tumpul. Saya tak bisa menemukan metafora-metafora yang cocok untuk kalimat dalam syair saya. Mau dipaksa kayak apa pun, yang ada saya hanya bengong berjam-jam memandangi kertas kosong. Sedangkan puisi tak kunjung tertulis.
Kadang saya sering berpikir juga, alangkah bahagianya jika memiliki tangan seromantis Eyang Sapardi. Ketika saya jatuh cinta, saya akan lekas menulis puisi ‘Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana‘. Lalu puisi itu akan di-retweet oleh jiwa-jiwa yang tengah jatuh cinta. Duh, manisnya~
Namun sayang seribu sayang, saat kecil dulu sebelum saya sempat mengenal WS. Rendra, Chairil Anwar, Taufiq Ismail, ataupun Goenawan Mohamad, saya justru berkenalan dengan Arya Dwipangga terlebih dahulu. Apesnya, pendekar syair berdarah itulah penyair pertama yang saya kenal dalam kehidupan ini. Saya jadi memiliki kesan buruk soal dunia syair menyair karena ulahnya itu.
Arya Dwipangga merupakan tokoh fiktif dalam sebuah sandiwara radio yang legendaris yang berjudul Tutur Tinular. Cerita ini merupakan hasil karya S. Tidjab. Secara garis besar, cerita ini mengisahkan tentang kesatria hebat bernama Kamandanu. Tutur Tinular ini mengambil latar tentang runtuhnya Kerajaan Singosari hingga berdirinya Kerajaan Majapahit. Di cerita ini, nantinya juga akan terselip tentang cerita penghianatan Ronggo Lawe dan juga Ra Kuti.
Arya Dwipangga sendiri bukanlah tokoh utama dan bisa dibilang dia ini tokoh antagonis. Dia merupakan kakak kandung Arya Kamandanu. Namun berbeda jauh dengan adiknya yang rajin berlatih ilmu kanuragan, Arya Dwipangga memilih jalan ninjanya sendiri. Dia orang yang bermalas-malasan untuk berlatih ilmu kanuragan dan sibuk bersyair setiap hari.
Berkat syair-syair buatannya inilah, Arya Dwipangga akhirnya berhasil menggoda Nari Ratih yang merupakan pacar adiknya sendiri. Ratih terhasut oleh kata-kata indah buatan Arya Dwipangga, hingga akhirnya jatuh cinta dan melupakan kekasihnya sendiri. Bahkan karena ulah Arya Dwipangga itu Ratih pun hamil di luar nikah.
Saya ikut bersedih untuk Arya Kamandanu kala itu. Bahkan saat Arya Kamandanu mengahajar habis-habisan Arya Dwipangga, saya ikut-ikutan geregetan. Namun si Ratih ini justru membela kakaknya, karena dia telah mengandung anak dari kakaknya itu. Duh, ini nih yang namanya sakit tapi tak berdarah.
Arya Kamandanu akhirnya berhasil move on dan memiliki kekasih baru yang merupakan orang Cina, Mei Shin. Namun nahasnya, sebelum Arya Kamandanu ini berhasil menikahinya, Arya Dwipangga kembali menggoda kekasih adiknya lagi hingga ia hamil juga. Duh, baru kali ini saya liat tokoh utama kok di-zalimi terus sih sama si penyair itu. Padahal secara nalar, kekuatan tempur Kamandanu ini jauh melampaui Dwipangga, tapi sungguh kata-kata indah itu bisa melangalahkan segalanya.
Saya yang merupakan fans garis keras Arya Kamandanu, merasa tersakiti oleh ulah penyair menyebalkan itu. Sebagai bentuk protes, saya menjadi kurang respek dengan puisi. Tiap kali melihat puisi, saya kembali teringat akan kelakuan jahat Dwipangga yang sungguh amat menyebalkan itu. Saya jadi curiga, apakah syair di muka Bumi ini diciptakan untuk membuat orang terhanyut dan lupa akan segalanya? Betapa besarnya efek dari sebuah rangkaian kata-kata.
Pernah saat SD dulu saya diberi tugas untuk membuat puisi oleh guru bahasa Indonesia. Saya yang otaknya buntu karena tak bisa membuat puisi ini akhirnya mengutip syair lagu Sekuntum Mawar Merah yang dibawakan Bunda Elvy Sukaesih. Pas disuruh maju di depan kelas untuk membacakan puisi tersebut, ternyata guru saya tahu kalau puisi saya itu kutipan lagu. Nggak cuma dimarahi, tapi saya juga ditertawakan oleh semua orang di kelas. Hingga lulus SD bahkan teman-teman saya masih suka mengolok-olok dengan mendendangkan lagu Sekuntum Mawar Merah tersebut.
Kekuatan magic Arya Dwipangga ternyata berpengaruh besar bagi saya. Saya pikir-pikir, setelah sekian lama saya hidup, saya baru beberapa kali membuat puisi. Itu pun kalau cuma terpaksa disuruh membuat tugas. Selebihnya tak pernah.
Saya sepertinya belum bisa move on dari bayang-bayang Arya Dwipangga. Padahal saya sudah melakukan terapi jiwa dengan menonton video-video pembacaan puisi Rendra, saya bahkan juga membeli buku-buku puisi milik Widji Thukul ataupun Joko Pinurbo.
Tapi bayang-bayang Arya Dwipangga saat mengeluarkan Ajian Kidung Pamungkas masih teringang di kepala saya.
Ketika kata-kata
Sudah tidak bisa menjawab tanya
Maka bahasa pedanglah yang bicara
Bahasa para ksatria
Bahwa bumi menuntut sesaji darah manusia
……