Flores Nggak Perlu Diromantisasi, Nggak Bakalan Bisa!

Flores Nggak Perlu Diromantisasi, Nggak Bakalan Bisa!

Flores Nggak Perlu Diromantisasi, Nggak Bakalan Bisa! (Pixabay.com)

Berbicara mengenai romantisasi kota, semua mata pasti akan tertuju ke arah Jogjakarta dan Bandung. Jogjakarta dengan romantisasi angkringannya atau Bandung dengan romantisasi Dago atau Buah Batu. Selain Jogja dan Bandung beberapa orang akan mengatakan kota lain yang bisa diromantisasi juga seperti Bali, Solo, atau Malang.

Setelah saya membaca beberapa artikel, saya menarik kesimpulan bahwa Jogjakarta dan Bandung memiliki satu persamaan sehingga bisa menjadi kota yang diromantisasi. Yaitu karena sama-sama memiliki destinasi wisata yang banyak dengan nuansa yang adem dan syahdu.

Jika faktor destinasi wisata bisa menjadi alasan kuat suatu daerah bisa diromantisasi, Flores pun sebenarnya bisa diromantisasi ala-ala Jogjakarta dan Bandung. Sebab, Flores memiliki banyak tempat destinasi wisata yang seksi. Suasana Flores yang hening dan syaduh juga mendukung untuk diromantisasi. Selain itu juga, eksotisme Pulau Flores juga akan sedikit menggodamu untuk mengunjungi. Akan tetapi, tidak semudah itu ferguso untuk meromantisasi suatu daerah seperti Jogjakarta atau Bandung.

Setelah merenung dan mengheningkan cipta di meja kerja, saya pun mencoba berselancar di Mbak Google untuk mencari-cari artikel ataupun tulisan orang lain terkait dengan romantisasi Flores untuk mendukung tulisan saya ini.

Dan hasilnya adalah… zonk. Sekalipun ada beritanya hanya berisi romantisnya senja di Labuan Bajo. Akan tetapi yang perlu kita ketahui bersama adalah Flores bukan cuman tentang Labuan Bajo. Ada banyak hal di Flores yang tidak serta merta dapat diromantisasi.

Berikut beberapa alasan kenapa Flores tidak mudah diromantisasi seperti Jogjakarta dan Bandung.

Lokasi dan jarak tempuh yang sulit

Flores memiliki topografi yang “sedikit” berat untuk dijelajahi. Hampir di setiap daerah yang ada di Pulau Flores memiliki paling tidak satu tempat wisata yang menyajikan pemandangan dan spot foto yang cantik nan Instagrammable dan Facebookable bagi para wisatawan yang berkunjung.

Akan tetapi untuk sampai ke tempat tersebut dibutuhkan waktu dan tenaga extra. Salah satu contohnya adalah Desa Wisata Wae Rebo yang ada di Manggarai yang mungkin sudah tidak asing lagi bagi para traveler. Untuk sampai ke Desa Waerebo, para pengunjungnya harus tracking dan memakan waktu sekitar 60 menitan dengan medan yang sulit karena mendaki dan licin tanahnya karena lembab.

Coba bayangkan, kamu dan pasanganmu menuju ke lokasi wisata dengan melewati jarak dan medan yang begitu rumit dan menghabiskan banyak tenaga sehingga membuat kamu ngos-ngosan. Apakah kamu masih sempat untuk ayang-ayangan sama pasangan kamu? Kalau saya sih mendingan istirahat biar pegal-pegalnya hilang lalu menikmati pemandangannya. Daripada meromantisasi situasinya dengan puisi dan lagu dalam kondisi capek suluruh badan.

Tidak banyak seniman

Seniman menjadi garda terdepan perihal romantisasi suatu tempat atau suatu momen tertentu. Hal inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan kenapa Bandung dan Jogjakarta bisa diromatisasi. Pidi Baiq dan Fiersa Besari yang meromantisasi Bandung melalui puisi dan lagu serta Pakde Nasirun yang meromantisasi Jogjakarta melalui lukisannya.

Nah, di Flores tidak banyak seniman terkenal yang menciptakan puisi atau lagu romantis lalu diviralkan oleh kaum-kaum kasmaran. Sehingga kadar romantisme daerah Flores ya tetap gitu-gitu aja. Musisi-musisi lokal yang ada di Flores lebih banyak menciptakan lagu-lagu daerah yang menceritakan kehidupan masyarakat sekitar. Kalau nggak ya menciptakan lagu-lagu daerah yang enak untuk dijogetin di dalam tenda pesta. Hal ini menunjukan bahwa di Flores, lagu-lagu pesta yang baru dan enak untuk dijogetin lebih dibutuhkan daripada lagu romantis.

Semakin ke Timur, semakin kasar

Flores merupakan salah satu bagian dari Indonesia Timur. Semakin ke Timur maka intonasi dan gaya bicara semakin kasar kedengarannya. Stigma negatif yang sudah terlanjur melekat pada orang-orang Timur bahwa orang Timur itu keras dan kasar berimbas juga bagi orang Flores.

Berbeda dengan orang-orang di Jogjakarta yang (terkenal) lemah lembut seperti yang dikatakan orang-orang. Sehingga selaras antara sisi romantisme kota Jogjakarta dengan karakter orang-orangnya.

Nah, susah meromantisasi Flores jika stigma ini terus-terus melekat dengan orang Timur. Sehingga membuat orang-orang untuk berkawan saja masih memiliki rasa takut. Ditambah lagi dengan perawakan khas orang timur yaitu kulit hitam, rambut kriting, dan mata merah menyala seperti materi stand up komedi Bang Arie Kriting.

Nah, inilah beberapa alasan menurut saya kenapa tidak semua tempat itu bisa diromantisasi seperti Jogja dan Bandung. Flores tidak bisa serta merta diromantisasi dengan puisi dan lagu.

Tapi, kayaknya nggak perlu diromantisasi pun, orang kayaknya setuju kalau Flores itu indahnya bukan main. Betul apa betul banget?

Penulis: Alexandros Ngala Solo Wea
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bisakah Kita Menciptakan Ramadan Tanpa Petasan?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version