Jagat film Indonesia sudah berkembang dengan baik, bahkan sangat bagus, sih menurut saya. Masyarakat bisa menerima produk-produk lokal, bahkan ada film yang bisa tembus 10 juta penonton. Nah, salah satu genre yang ramai dan selalu ada “yang baru” adalah film horor Indonesia.
Rasa-rasanya, hampir setiap bulan, saya melihat ada poster atau iklan film horor Indonesia. Wajar, sih, kalau melihat sejarah film Indonesia. Dulu, sekitar tahun 2000, banyak film horor yang laku keras karena menjual tubuh perempuan. Kalau sekarang lebih mendingan, agak normal, dengan sinematografi yang lebih baik.
Namun, ada satu kesamaan dari film horor Indonesia zaman dulu dengan sekarang. Mereka Sama-sama fomo melakukan eksploitasi. Kalau dulu eksploitasi cewek seksi, sekarang banyak film horor eksploitasi agama Islam maupun hal-hal yang berbau Jawa.
Film horor Indonesia overdosis jualan agama Islam
Yah, kita sama-sama tahu aja betapa seksinya eksploitasi agama. Termasuk untuk tema film, khususnya film horor Indonesia. Kalau menjelajah Twitter/X, kamu bisa dengan mudah menemukan bahasan tentang eksploitasi tema-tema Islam untuk menjadi sebuah tema film baru.
Misalnya saya, menemukan sebuah twit yang menggelikan. Adalah akun dengan nama Faza Meonk membuat sebuah kompilasi. Kamu bisa melihatnya sendiri di sini:
sholat cinematic universe pic.twitter.com/iz3aCUm0OW
— Faza Meonk (@FazaMeonk) March 21, 2024
Faza menggunakan kalimat “sholat cinematic universe” untuk twitnya. Lagi dan lagi, menggunakan unsur agama untuk dieksploitasi. Padahal, beberapa teman saya yang muslim merasa kurang nyaman dan agak nggak terima dengan kondisi ini.
Lalu, baru-baru ini muncul film horor yang bikin umat muslim lelah, judulnya “Kiblat”. Entah kenapa, alih-alih membuat film yang membuat para pendosa lebih takut setan, filmmaker Indonesia malah lebih memilih membuat salat maupun zikir menjadi seram.
Kalau semua formula itu terasa kurang nendang, pakai saja “pocong” di film. Seakan-akan pocong nggak punya harga diri lagi di kancah film horor Indonesia
Eksploitasi budaya Jawa juga terjadi
Selain eksploitasi agama Islam, film horor Indonesia banyak menggunakan unsur Jawa untuk menakut-nakuti. Seakan-akan kalau mau laris, pakai saja atribut Jawa. Misalnya, temanya setan “asli” Jawa, menggunakan kosakata Jawa di judul, dan bikin adegan kesurupan lalu artisnya mengigau kata-kata pakai Bahasa Jawa.
Oya, jangan sampai lupa menambahkan tembang Jawa, yang liriknya sebenarnya tentang cinta. Lalu, akhirnya, filmnya bikin itu lagu itu terkesan mistis. Ya kayak lagu “Lingsir Wengi”, yang katanya lagu pemanggil kuntilanak.
Saya setuju dengan tulisan Mas Paksi Raras dalam tulisannya yang berjudul “Film Horor Indonesia Semakin Menistakan Budaya Jawa”. Dia menulis begini:
“Apa yang dilakukan oleh sineas film horor Indonesia ini melanggengkan konstruksi sosial akan unsur-unsur kejawaan yang negatif. Pemaknaan masyarakat akan kejawaan yang mistis akan semakin tebal. Cara filmmaker horor mendiskreditkan kejawaan dengan terus-menerus ini, pada akhirnya berdampak pada “kenyataan” di masyarakat yang cenderung diskriminatif dan menganggap negatif segala aspek kejawaan yang sebenarnya bisa saja berarti positif, jika mau dibaca lebih mendalam.”
Menurut saya, sineas Indonesia itu pasti kreatif. Kalau mau bikin film yang unik dan memenuhi unsur kebaruan pasti bisa. Saya yakin pasti ada pakem baru, yang nggak perlu mengeksploitasi agama dan budaya Jawa supaya laku. Yang penting, penikmat dan penonton film seram itu besar. Pasarnya sudah ada, tinggal bagaimana menangkap atensi mereka dengan sesuatu yang baru.
Penulis: Arsyanisa Zelina
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.