Sebagian besar dari kita tentu sudah tidak asing dengan kata baper. Kata baper itu sendiri adalah singkatan dari (ter)bawa perasaan. Dalam situasi tertentu, baper bisa digambarkan sebagai keadaan saat seseorang merasa tersentuh hatinya ketika membaca, mendengar, atau menyaksikan suatu kejadian. Sementara pada situasi yang lain, kata baper digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang terlalu serius menanggapai sesuatu hingga mudah tersinggung. Nah, kata baper dalam situasi yang kedua lah yang ingin saya bahas dalam tulisan ini.
“Ya…gitu aja baper”
“Ah…baper banget sih, akutu cuma bercanda kali”
Dua kalimat di atas adalah contoh kalimat yang mungkin sering sekali kita dengar belakangan ini. Kalau boleh dibilang, kalimat di atas adalah penggambaran dari fenomena sejak ada kata baper, kata maaf jadi semakin susah diucapkan. Ya, ketika apa yang terucap ternyata menyakiti orang lain, alih-alih merasa bersalah lalu minta maaf, sebagian orang malah lebih gampang untuk menganggap orang lain yang terlalu baper. Hmm…
Banyak yang bilang, seharusnya kalau sudah bersahabat lama atau saling akrab satu sama lain, mau diejek atau di-bully seperti apa pun, dia tidak akan baper atau tersinggung. Harusnya sudah pahamlah bahwa hal tersebut sekadar bercandaan saja.
Benarkah begitu? Bagi saya pribadi sih tidak juga. Persahabatan yang baik adalah persahabatan yang saling mengerti satu sama lain. Kadang, justru sebagai sahabat, kita dong yang harus mengerti mana yang pantas untuk dijadikan bahan bercanda mana yang tidak. Enak banget bisa bebas nge-bully karena berlindung di balik kata, “kita kan sahabat,”
Disadari atau tidak, pada dasarnya setiap orang itu memang punya persepsi dan pandangan yang berbeda-beda. Hal yang biasa saja menurut kita, bisa jadi malah adalah sesuatu hal yang sensitif bagi orang lain. Tidak bisa kita menggunakan apa yang ada dalam diri sendiri untuk menilai orang lain. Setidaknya, begitu yang saya yakini. Jika ada yang tidak sepakat, bebas-bebas saja.
Saya sendiri sejauh ini ketika ngumpul dengan teman atau sahabat, saya akan santai-santai saja ketika ada yang mencela hidung saya yang mancung ke dalam alias pesek. Akan tetapi, bagi salah satu teman saya, mencela atau menjadikan hidungnya yang minimalis sebagai bahan bercandaan, sama saja dengan menabuh genderang perang. Pada mulanya dia mungkin hanya akan membalas dengan senyum kecut, tapi jika dia sudah meminta berhenti lantas masih terus-terusan diejek, dia akan memilih diam. Diam dalam waktu yang sangat lama sampai susah untuk diajak ngumpul lagi.
Mungkin ada yang akan berpikir, masak gitu aja marah? Lah pada kenyataannya kita memang punya batas rasa sensitif yang beda-beda. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, hal yang menurut kita biasa saja bisa jadi adalah hal yang sensitif—yang bisa membuat tersinggung—bagi orang lain.
Kalau dilakukan sekali, masih bisa dimaklumi lah yah. Mungkin terbawa suasana. Saking bahagianya bisa ngumpul lagi, jadi khilaf atau kelepasan dalam bercanda. Tetapi, jika sudah ditegur lantas masih dulang? Ya kelewatan namanya. Apalagi kalau ternyata, sudah tidak merasa bersalah, tidak mau minta maaf, malah menuduh orang lain yang baper lagi. Huuuuu…malu woyy malu.
Itulah mengapa saya menganggap persahabatan yang baik adalah persahabatan yang saling mengerti satu sama lain. Sahabat yang baik adalah sahabat yang tahu batasan. Saya sendiri menaganggap, kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa membuat kita tersinggung sampai pada saat ada orang yang melakukan atau mengucapkan apa yang bisa membuat kita tersinggung.
Saya tidak berani menganggap diri saya tidak gampang baper atau tidak gampang tersinggung hanya karena melihat ada orang lain yang tersinggung karena masalah yang menurut saya sepele. Bukan tidak mungkin nantinya saya yang akan tersinggung karena sesuatu yang menurut orang lain ah cuma gitu doang.
Selanjutnya, jika berbicara tentang kata maaf, tidak bisa saya mungkiri juga, meskipun kita sudah sangat akrab dengan kata maaf, pada kenyataanya meminta maaf bukanlah hal yang mudah—setidaknya bagi sebagian orang. Terutama bagi mereka yang selalu berlindung di balik ucapan “Ya elah, itu sih dianya aja yang baper.” Ya, meminta maaf itu memang butuh kebesaran hati sih. Banyak yang enggan meminta maaf karena ego atau gengsinya yang terlalu besar.
Nah, kembali lagi soal hidung minimalis teman saya. Dia sendiri sadar, dia tidak bisa menerima kalau yang dijadikan bahan bercandaan adalah kondisi fisiknya yang satu itu. Oleh karena itu, dia selalu membatasi diri untuk tidak terlalu akrab dengan orang yang suka menjadikan kondisi fisik sebagai bahan bercandaan. Loh, nanti risikonya jadi bakalan kekurangan teman dong. Menurutnya sih, dia lebih baik punya sedikit teman tapi bisa saling menghargai dan saling mengerti daripada punya banyak teman tapi tiap ngumpul harus selalu dia yang dianggap gampang baper. Sederhananya, dia lebih memilih mencegah daripada mengobati.
Ya, apa pun itu—terlepas dari siapa pun yang menjadi objek—bagi saya pribadi, kondisi fisik memang tidak layak untuk dijadikan bahan bercanda. Namanya kondisi fisik kan sesuatu yang diberikan Tuhan, mosok dijadikan bahan bercanda. Nggak sopan tahu~