Sudah nonton drama Korea berjudul Extraordinary Attorney Woo yang sedang tayang di Netflix? Drama yang dibintangi Park Eun Bin ini punya cerita yang cukup unik, berkisah tentang seorang perempuan bernama Woo Young Woo yang berhasil menjadi pengacara autis pertama di Korea.
Lantaran mengidap autisme, pengacara Woo Young Woo memiliki pendekatan tak biasa tiap kali menangani kasus hukum yang rumit. Analogi yang digunakannya adalah kehidupan paus. Iya, paus, mamalia raksasa penghuni laut dalam. Sudah terbayang kan seperti apa keseruan yang terjadi dalam pikiran Young Woo?
Sayang, kisah Young Woo nggak selalu sempurna. Pada episode ketiga Extraordinary Attorney Woo, ketika klien yang perlu dibela olehnya juga menderita autisme, Young Woo justru ditolak oleh keluarga klien yang dibelanya. Alasannya apa lagi kalau bukan karena Young Woo mengidap autisme. Padahal menurut rekan-rekan pengacara yang satu tim dengannya, Young Woo lah yang paling cocok mendampingi klien kali ini karena sama-sama mengidap autisme. Kontradiktif, kan?
Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang kita melihat fenomena serupa. Pernah dengar soal fenomena glass ceiling? Glass ceiling adalah metafora yang menggambarkan adanya hambatan bagi kaum minoritas untuk mendapatkan peran yang lebih tinggi dalam sebuah organisasi. Situasi ini membuat seseorang yang sebenarnya layak untuk menduduki jabatan tinggi, dibatasi pada tingkat yang lebih rendak karena beberapa bentuk diskriminasi. Fenomena ini umumnya terjadi pada perempuan dan kelompok minoritas lainnya seperti penyandang disabilitas.
Hal ini jelas bertolak belakang dengan semangat yang diusung oleh era disrupsi informasi yang justru berusaha menghilangkan segala sekat yang masih membatasi kehidupan masyarakat.
Nah, bila kalian termasuk kaum minoritas yang rentan terganjal fenomena glass ceiling, jangan gentar. Ada cara untuk menyiasatinya. Kalian bisa berkaca pada Woo Young Woo dalam Extraordinary Attorney Woo dengan melakukan beberapa hal berikut.
#1 Menjadi spesialis
Menjadi generalis memang baik, tetapi kunci untuk mendobrak fenomena glass ceiling justru dengan menguasai keahlian yang lebih spesifik alias menjadi spesialis. Mengapa begitu? Karena nggak banyak orang yang mampu menguasai keahlian khusus, sehingga ini akan meningkatkan bargaining position kita. Bila sebuah perusahaan membutuhkan tenaga ahli yang sesuai dengan bidang keahlian yang kita kuasai, tentu fenomena glass ceiling nggak berlaku lagi.
Woo Young Woo dalam Extraordinary Attorney Woo membuktikannya. Dia mempelajari secara spesifik ilmu hukum sejak masih sangat muda dan menjadi pengacara. Tentu nggak banyak orang yang bisa menguasai keahlian yang sama seperti dirinya.
#2 Berpikir secara kreatif
Setiap kali menghadapi permasalahan pelik, Young Woo dalam tiap episode Extraordinary Attorney Woo menganalogikannya dengan paus sehingga ia mendapat solusi untuk memecahkan masalah. Hal itu adalah cara unik yang dipakai Young Woo untuk mengeluarkan buah pikiran dari kepalanya.
Masing-masing orang tentu memiliki cara yang berbeda untuk memecahkan masalah. Namun pada dasarnya, untuk mendobrak fenomena glass ceiling, kita perlu menggunakan sel-sel kelabu di kepala kita untuk berpikir kreatif. Memiliki kedudukan tinggi di perusahaan identik dengan kemampuan memecahkan masalah pelik yang tak mampu dihadapi oleh karyawan biasa. Bila kita mampu melakukannya, meskipun kita tergolong kaum minoritas, tentu nggak ada alasan lagi bagi orang lain untuk mencegah kita mencapai posisi lebih tinggi.
#3 Mendobrak keterbatasan dalam diri sendiri
Sebenarnya hal terakhir ini paling sulit dilakukan, mengingat hambatan itu berada di dalam diri kita sendiri, bukan dari luar. Meski penyandang autis, sosok Young Woo dalam Extraordinary Attorney Woo berani menghadapi siapa pun untuk membela kliennya. Hal ini tentu saja nggak mudah apalagi mengingat keterbatasan yang dia miliki.
Sebagai kaum minoritas yang rentan terimbas diskriminasi, untuk bisa mendobrak glass ceiling, mengatasi keterbatasan dalam diri sendiri wajib dilakukan. Keterbatasan mestinya bukan sesuatu yang harus membuat kita terbelenggu. Dengan mengatasi keterbatasan kita dengan berani, maka glass ceiling tak lagi menghalangi.
Penulis: Margaretha Lina Prabawanti
Editor: Intan Ekapratiwi