Beberapa hari ini kolom explore Instagram saya dipenuhi dengan video makanan yang lumayan viral. Video tersebut menunjukkan beberapa food vlogger atau content creator di bidang kuliner yang membeli es krim rasa vanila dari McD, meletakkannya secara terbalik di sebuah wadah, dan menghancurkan cone es krim tersebut sampai rata. Es krim tersebut lalu dimakan dengan sendok bersamaan dengan cone yang memberikan tekstur garing-garing. Saking viralnya, cara makan es krim ini disebut dengan “es krim geprek”.
Melihat es krim McD viral tersebut seketika membuat otak dan pikiran saya terbagi menjadi dua sudut pandang. Sudut pandang pertama saya adalah: What? Really, Dude? Es krim digeprek? Ini terlalu kreatif atau memang lagi nggak punya ide konten? Kesannya kayak berlebihan gitu.
Eh, tunggu dulu. Saya nggak menyalahkan para food vlogger yang ikut-ikutan tren ini. Saya paham kok mencari ide konten itu nggak mudah. Harus riset sana dan sini. Saya juga paham, kok, itu hak mereka untuk membuat konten. Selama nggak merugikan siapa pun ya nggak apa-apa. Yang saya soroti di sini bukan “ide” dari konten itu, melainkan cara mengeksekusi ide itu. Biar kalian nggak salah paham, biar saya jabarkan dengan rumus 5W dan 1H.
Tema: Konten tentang makanan yang menarik netizen
What: Apa yang akan dijadikan konten? Makanan yang akan digeprek.
Why: Mengapa harus dijadikan konten? Biar menarik netizen dan viral.
Where: Di mana harus melakukan syuting konten? Di McD.
When: Kapan akan melakukan syuting konten? Fleksibel.
Who: Siapa saja yang akan menontonnya? Netizen
How: Bagaimana cara agar makanan itu menarik? Ya digeprek.
Nah, masalahnya kenapa harus es krim? Oke, itu hak mereka, ya. Dari riset yang saya lakukan, tujuan es krim dan cone-nya digeprek adalah agar es krimnya memiliki tekstur krispi dan garing saat dikunyah. Kalau tujuannya itu, kenapa nggak beli wafer saja? Hancurkan wafernya, tuang es krimnya. Selesai, deh. Tapi, tentu bakal ada yang bilang, “Kalau beli wafer, nanti keluar uang, dong?”
Sob, di warung banyak kok wafer yang murah-murah harga dua ribuan ukuran kecil. Atau beli saja wafer Superstar yang ada gambar super heronya itu. Ketimbang cone yang rasanya nggak terlalu kuat, ya mending wafer sekalian, kan?
Yang membagongkan lagi, ada beberapa food vlogger yang setelah menggeprek es krim malah lanjut beli topping tambahan seperti Chacha, sereal, Astor, hingga Choco Balls. Bukankah itu mengeluarkan uang lebih banyak lagi? Ketimbang begitu kenapa nggak sekalian jajan es krim di toko yang khusus jualan es krim dengan aneka topping?
Sudut pandang kedua pikiran saya adalah betapa kreatifnya orang Indonesia dalam mengolah suatu ide atau mendapatkan ide untuk konten. Bermodalkan kata “geprek” saja malah kepikiran bikin es krim McD geprek. Ini nggak julid, ya. Padahal masih banyak makanan lain yang bisa digeprek, toh? Saya menyadari bahwa para food vlogger ini benar-benar cerdas dalam melakukan riset konten.
Kita semua tentu tahu salah satu tipikal orang Indonesia dalam urusan makanan adalah melawan kodrat makanan itu sendiri. Terkadang beberapa jenis makanan dimodifikasi dengan ekstrem dan menghasilkan makanan baru, misalnya nasi pecel rawon atau bubur kampiun. Karena sudah menjadi tipikal orang Indonesia inilah para food vlogger memanfaatkan ide konten es krim geprek yang tentu saja bikin netizen geger dan ikut-ikutan tren. Alhasil nama sang food vlogger akan melambung. Ini adalah taktik yang cerdas.
Fenomena penggeprekan es krim ini mampu dikatakan sebagai sebuah awal dari era geprek bagi makanan lain. Bukan hal yang mustahil jika setelah ini kita akan mendengar makanan antimainstream yang akan digeprek lagi. Siapa tahu dua bulan ke depan kita akan mendengar salad geprek, geprek jus mangga, atau nasi uduk geprek. Kesimpulan dari kasus geprek es krim McD di atas saya serahkan pada perspektif kalian semua. Apakah hal itu terlalu berlebihan atau malah sebaliknya benar-benar kreatif. Kalau saya sih pilih alasan kedua saja demi kebaikan kita bersama.
Sumber Gambar: Pixabay