Ngapain jauh-jauh liburan ke Venesia Italia? Kalau cuma mau cari “kota dengan genangan air” sih ke Eretan Wetan Indramayu aja.
Kalau kalian adalah kaum mendang-mending yang bermimpi liburan romantis ke Venesia tapi tabungannya cuma cukup buat beli seblak ceker, saya punya kabar gembira yang mengguncang jiwa. Lupakan Italia. Lupakan ribetnya mengurus visa dan paspor. Cukup jalan kaki ke terminal, naik Elf jurusan Pantura yang sound system-nya bikin jantung berdebar, lalu bilang sama keneknya dengan lantang, “Kiri di Eretan Wetan, Bang!”
Selamat datang di Water World dengan kearifan lokal yang hakiki.
Di Eretan Wetan, Indramayu, kami tidak mengenal istilah “banjir tahunan” atau “banjir lima tahunan”. Itu terlalu amatir. Bagi kami, banjir itu bukan tamu agung yang datang setahun sekali, tapi sudah dianggap keluarga sendiri, meskipun tipe keluarga parasit yang nggak tahu diri.
Di sini, air laut masuk rumah itu rutinitas, seakrab notifikasi tagihan paylater di HP kalian. Kalau orang kota bangun tidur langsung cek notifikasi WhatsApp atau Instagram, warga Eretan Wetan bangun tidur refleknya beda. Kami cek lantai. “Wah, hari ini airnya semata kaki, lumayan, bisa buat cuci muka sekalian cuci kaki tanpa perlu repot ke kamar mandi.”
Tinggal di Eretan Wetan Indramayu jadi punya “kemampuan super”
Coba perhatikan struktur bangunan di Eretan Wetan Indramayu. Ini adalah fenomena arsitektur yang layak masuk studi kasus mahasiswa Teknik Sipil. Pintu-pintu rumah di sini makin lama makin pendek. Bukan, ini bukan karena kami terobsesi dengan film The Hobbit atau ingin meniru gaya hidup kurcaci. Ini murni karena lantainya yang terus-terusan diurug (ditinggikan).
Ini adalah kompetisi paling aneh sedunia. Lomba Cepat Meninggikan Lantai vs Naiknya Permukaan Air Laut.
Tahun ini kami menang urug setengah meter, eh, bulan depan air lautnya tambah tinggi semeter. Begitu terus siklusnya sampai jarak antara lantai dan kusen pintu atas makin intim. Lama-lama, masuk rumah sendiri rasanya kayak masuk gua pertapaan. Warga harus membungkuk khidmat. Bukan karena sopan santun kepada tuan rumah, tapi karena takut jidat benjol kejedot kusen.
Tak jarang, tamu dari luar desa yang belum terbiasa akan mengalami culture shock. Masuk rumah harus nunduk, duduk di kursi kakinya masih kebasahan, dan kalau mau ke toilet harus pakai teknik navigasi pelaut ulung.
Kendaraan berteman dengan karat
Mari bicara soal kendaraan. Kalian yang di Jakarta mungkin pusing mikirin uji emisi atau ganjil-genap. Kami di Eretan Wetan Indramayu punya musuh yang lebih nyata: karat.
Motor di sini punya siklus hidup yang tragis, mirip kisah cinta yang kandas di tengah jalan. Baru lunas cicilan, eh, knalpotnya sudah keropos dimakan ganasnya air garam. Rantai motor warnanya bukan lagi hitam atau silver mengkilap, tapi oranye karat yang estetis kalau dilihat dari kacamata seni rupa kontemporer, tapi bikin nangis getih kalau dilihat dari dompet.
Servis motor di bengkel Eretan itu bukan lagi sekadar ganti oli atau ganti kampas rem, tapi ganti rangka. Montir di sini adalah profesi paling prospektif, karena setiap hari ada saja motor yang menyerah pada nasib dan butuh pertolongan pertama akibat keracunan air laut.
Belum lagi masalah penyakit kulit. Rangen atau kutu air adalah sahabat karib jari-jari kaki kami. Di Eretan Wetan Indramayu, salep kulit itu statusnya sama pentingnya dengan beras. Wajib ada. Jadi kalau kalian lihat warga sini jalannya agak jinjit-jinjit lucu, jangan diketawain. Itu bukan gaya jalan model catwalk, tapi karena sela-sela kakinya lagi perih digerogoti air asin.
Respons pemangku kebijakan
Dari semua hal di atas, yang paling jenaka dari semua penderitaan ini tentu saja respons para pemangku kebijakan. Eretan Wetan Indramayu ibarat spot foto wajib, semacam hidden gem politik, bagi pejabat atau calon legislatif menjelang pemilu.
Biasanya mereka datang bergerombol dengan mobil dinas yang AC-nya dingin, memakai rompi oranye atau seragam partai, dan sepatu bot necis yang masih bau toko. Lalu dimulailah ritual itu: menunjuk-nunjuk genangan air dengan wajah prihatin (pastikan angle kameranya bagus dan pencahayaannya dramatis), mengangguk-angguk seolah paham beban hidup kami di sini. Lalu berjanji akan membuat tanggul raksasa, breakwater, polder air, atau apalah istilah teknis yang terdengar canggih di telinga rakyat jelata.
Setelah foto didapat dan potensi suara diamankan, mereka pulang ke rumahnya yang kering, nyaman, dan bebas nyamuk. Sementara kami warga Eretan Wetan Indramayu? Ya tetap lanjut nyerok air, Lur!
Janji mereka itu sifatnya water soluble, alias larut dalam air. Begitu kena rob pasang, janjinya hanyut entah ke mana. Mungkin terbawa arus sampai ke Laut Jawa.
Ironi ini makin terasa perih kalau kita ingat posisi Indramayu di peta nasional. Indramayu itu katanya daerah kaya. Lumbung padi nasional, katanya. Kota Mangga, julukannya. Punya kilang minyak raksasa yang apinya menyala 24 jam, menyumbang devisa triliunan buat negara.
Tapi kok ya, mengurus satu wilayah di pesisir saja rasanya berat betul? Apa mungkin kami ini dianggap sebagai eksperimen evolusi manusia?
Saya kadang curiga, jangan-jangan pemerintah pusat diam-diam sedang melakukan riset biologi jangka panjang. Mereka berharap warga Eretan Wetan Indramayu lama-lama bermutasi punya insang di leher dan sirip di punggung. Jadi nanti nggak perlu anggaran buat relokasi atau bikin tanggul, karena warganya sudah bisa bernapas dalam air. Aquaman cabang Pantura.
Kalau kalian merasa dunia tidak adil, coba main dulu ke Eretan Wetan Indramayu
Di sisi lain, hidup di Eretan mengajarkan kami tentang romantisasi yang gelap. Orang pacaran di sini punya tantangan tersendiri. Kalau mau ngapel ke rumah pacar, pastikan cek pasang surut air laut dulu. Jangan sampai berangkat ganteng pakai parfum wangi, eh, sampai rumah pacar celana basah kuyup sepinggang dan motor mogok kemasukan air.
Cinta memang butuh pengorbanan. Tetapi kalau pengorbanannya tiap minggu ganti busi, ya boncos juga, Bos.
Jadi, buat kalian yang hidupnya lagi capek, merasa dunia tidak adil karena gaji numpang lewat, atau overthinking karena gebetan nggak balas chat, mainlah ke Eretan Wetan Indramayu. Lihatlah bagaimana kami hidup berdampingan dengan air laut yang makin agresif merampas tanah kami, namun kami tetap bisa tertawa. Di sini, kami belajar satu hal penting: harapan itu sama seperti air rob. Kadang pasang tinggi sekali, tapi seringnya bikin becek dan meninggalkan lumpur masalah yang nggak kelar-kelar.
Salam dari kami, calon warga Atlantis cabang Pantura.
Penulis: Akmal Maulana
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Potensi Wisata Indramayu yang Belum Tergarap Maksimal.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















