Engklek, Permainan Tradisional Warisan Kolonial Belanda yang Mulai Terlupakan

Engklek, Permainan Tradisional dari Belanda yang Mulai Terlupakan

Engklek, Permainan Tradisional dari Belanda yang Mulai Terlupakan (Unsplash.com)

Siapa yang dulu waktu masih kecil seneng main engklek atau sunda manda bareng temen-temen di halaman rumah?

Beberapa anak kecil sedang berkerumun dan bermain di depan halaman rumah seorang kawan saya di Desa Paseban, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dengan membuat garis pola kotak-kotak persegi panjang berukuran sekitar 30-60 cm, mereka asyik bermain dengan gacuknya yang dibuat dari pecahan genteng.

Anak-anak itu saling beradu ketangkasan dan keahlian kaki untuk bisa melompat dengan keseimbangan yang mumpuni. Hingga akhirnya ada yang menang dan yang lain berusaha untuk meminta permainan diulang.

“Pokoknya nggak boleh kalau lompatnya kayak gitu. Curang tau,” ujar bocah yang tak terima temannya menang.

“Yang curang mana? Wong memang aku yang menang, kok,” sementara bocah lain mencoba melerai keduanya.

Perdebatan itu nggak pernah mencapai titik temu hingga akhirnya saya pergi bersama kawan saya menuju jantung Kota Jember.

Engklek, permainan tradisional asal Belanda yang dikira dari Sunda

Oh ya, permainan yang dimainkan anak-anak adalah sunda manda atau engklek. Gara-gara namanya, permainan ini sering dikira berasal dari suku Sunda di Jawa Barat sana. Padahal permainan ini sebenarnya berasal dari Belanda dengan nama asli Zondag Maandag yang berarti Senin Minggu. Senin Minggu ini digambarkan dari tujuh kotak yang ada. 

Jadi, permainan tradisional ini awalnya memang populer di kalangan anak perempuan pada masa kolonial Belanda. Permainan ini biasanya dimainkan di halaman rumah utama mulai hari Senin sampai Minggu.

Konon, permainan engklek ini memiliki makna bahwa anak perlu berusaha keras untuk mencapai tujuan yang ia inginkan. Sebab, dalam permainan ini anak-anak harus melompat dengan satu kaki dari satu kotak ke kotak lain tanpa menginjak kotak yang memiliki gacuk. Hal ini mengajarkan mereka tentang ketekunan, konsentrasi, dan ketepatan dalam mengambil keputusan.

Selain itu, melompat dengan satu kaki dan menghindari kotak yang berisi gacuk juga mengajarkan anak-anak untuk berpikir secara strategis dan membuat keputusan yang baik. Mereka harus memperhitungkan gerakan dan jarak saat melompat agar dapat mencapai tujuan tanpa terjatuh atau menginjak kotak yang salah. Masih bingung?

Gacuk dan pola loncatan yang lincah

Jika masih bingung, saya jelaskan sedikit lagi. Permainan engklek ini melibatkan minimal dua orang yang bermain di dalam sebuah persegi panjang yang dibagi menjadi tujuh kotak dengan garis-garis melintang. Para pemain nantinya akan melompat dari satu kotak ke kotak lainnya sambil mengikuti pola yang telah ditentukan. Pola loncatan ini sering kali melibatkan gerakan yang artistik dan lincah, seperti melompat dengan satu kaki atau melompat sambil memutar badan.

Nantinya pemain akan melemparkan gacuk ke dalam kotak permainan secara berurutan dengan memastikan gacuk nggak melebihi garis kotak yang telah ditentukan. Para pemain bergantian melompat dari satu kotak ke kotak lainnya dengan satu kaki. Berdasarkan aturannya, pemain dilarang menginjak atau melewati kotak yang terdapat gacuk. Jika melanggar, berarti dia gugur.

Sementara itu kaki pemain nggak boleh bergantian saat melompat, kecuali saat menemui kotak yang sudah ditempati gacuk saat dilempar di awal permainan. Pada kotak tersebut, pemain boleh menginjak dengan kedua kaki. Kotak tersebut menjadi “sawah” yang hanya dapat diinjak oleh pemain yang memiliki sawah tersebut.

Setelah satu putaran selesai, pemain yang telah menyelesaikan putaran berhak melemparkan gacuk dengan cara membelakangi gambarnya. Pemain lain nggak boleh menginjak kotak sawah milik pemain lain selama permainan engklek berlangsung. Pemain yang memiliki jumlah kotak sawah terbanyak dianggap sebagai pemenang.

Engklek melatih anak-anak agar tidak menjadi generasi mageran bin rebahan

Bagi saya yang tumbuh dan besar saat permainan tradisional ini menjamur, engklek memang memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk berinteraksi, bergerak secara fisik, dan mengembangkan keterampilan koordinasi motorik. Istilah sekarang nggak mageran. Sebab permainan ini juga melatih ketangkasan, kecepatan, dan konsentrasi.

Meski saya akui seiring dengan perubahan zaman dan arus modernisasi, permainan tradisional seperti engklek ini telah mengalami penurunan popularitas. Faktor-faktor seperti perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup telah membuat permainan tradisional ini terlupakan di kalangan generasi muda.

Namun, saya cukup beruntung menemui permainan ini kembali di Desa Paseban, Kecamatan Kencong hingga bisa saya tuliskan di sini. Masyarakat pedesaan rupanya masih melestarikan permainan tradisional asal Belanda ini. Setelah bertanya pada beberapa teman di Jember, ternyata menurut mereka ada juga komunitas dan organisasi budaya yang berupaya untuk mengajarkan permainan tradisional lain kepada anak-anak sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya lokal. Keren, ya?

Tentunya dengan usaha kolektif dari masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan, permainan tradisional seperti engklek ini dapat terus dihidupkan dan dilestarikan. Bagi saya ini penting untuk mempertahankan warisan budaya yang berharga dan memastikan bahwa generasi mendatang dapat mengetahui dan menghargai permainan-permainan tradisional.

Penulis: Anik Sajawi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 6 Rekomendasi Permainan Anak Jadul untuk Rumah Tak Berhalaman Luas.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version