Sebagai eksportir minyak terbesar di dunia, Qatar menjelma menjadi negara adidaya melalui suplai minyak dan gasnya ke seluruh dunia. Bayangkan saja, produksi minyak mentah di Qatar mencapai angka enam ratus ribu barel minyak mentah per harinya. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang masif di Qatar tidak berjalan bersamaan dengan kesejahteraan tenaga kerjanya. Qatar memberikan bukti nyata kepada dunia bahwa akan (dan selalu) ada pengorbanan kelam di balik mewahnya pembangunan. Kita akan melihat isu ini lewat event yang akan kita saksikan sebentar lagi, yaitu Piala Dunia.
Menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 pada November mendatang adalah kehormatan besar bagi Qatar. Bagaimana tidak? Qatar berhasil mengalahkan Amerika Serikat, Korea Selatan, Australia, dan Jepang yang juga mencalonkan diri sebagai penyelenggara Piala Dunia 2022. Sebagai negara Arab pertama yang akan menyelenggarakan Piala Dunia, Qatar mulai melakukan pembangunan yang jor-joran sejak resmi ditunjuk pada 2010 silam.
Mengutip Syafran Naufal, Qatar telah membangun 9 stadion baru dan akan merenovasi 3 stadion. Total, terdapat 12 stadion yang nantinya akan didatangi oleh turis dari seluruh dunia. Ada 7 kota yang akan menjadi penyelenggara antara lain Doha, Al-Shamal, Al-Khor, Al Wakrah, Al-Daayen, Al-Rayyan, dan Umm Salal.
Pengembangan yang berskala besar tersebut tentu tidak dilakukan dalam satu atau dua tahun. Bahkan, persiapan Qatar dalam hal pembangunan itu sendiri menorehkan sejarah baru. Data menyebutkan bahwa Piala Dunia 2022 di Qatar akan menjadi turnamen sepak bola yang paling mahal. Dibandingkan dengan Piala Dunia 2018 di Rusia, dana yang digelontorkan oleh Qatar hampir mencapai 20 kali lipatnya.
Untuk perbandingan lebih jelasnya, Rusia mengeluarkan dana sebesar 11,6 miliar USD dalam menyelenggarakan Piala Dunia tahun 2018. Sedangkan, Qatar merogoh kocek sebesar 220 miliar USD untuk “menyulap” padang-padang pasir yang kosong di negaranya menjadi stadion, hotel, tempat latihan, serta kamp bagi para atlet dan staf kepelatihannya.
Namun, perlu diingat bahwa Qatar adalah salah satu negara anggota Gulf Cooperation Council (GCC) yang menggunakan kebijakan khusus untuk mengontrol migrasi dengan licik. Apa kebijakannya dan mengapa saya sebut “licik”? Sabar, pahami dulu tujuan organisasinya ya…
GCC merupakan sebuah organisasi negara-negara timur tengah, khususnya yang berada di bagian Teluk Persia (Teluk Arab) kecuali Irak. Adapun anggota GCC terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UAE).
Organisasi yang dibentuk pada 1981 ini bertujuan untuk mempromosikan persatuan bagi negara-negara anggotanya dengan latar belakang kebudayaan dan kepercayaan yang sama. Keenam negara tersebut memiliki sistem monarki dan nilai-nilai Islam Sunni di dalamnya.
Pada awalnya, GCC dibentuk dalam rangka membangun relasi dan pertahanan bersama dari situasi yang tidak stabil pada Perang Irak-Iran. Tujuannya adalah menghentikan perang dengan cara melakukan negosiasi bersama Irak serta memperkuat pertahanan di daerah perbatasan.
Sampai di sini, mungkin Anda bertanya-tanya: Apa hubungannya persiapan Piala Dunia dengan organisasi politik kayak gini? Justru organisasi politik seperti GCC inilah yang dapat melahirkan sejarah baru di dunia sepak bola. Dan sejarah yang saya maksud, tidak semenyenangkan yang Anda pikir.
Jadi begini, sebagai negara anggota GCC dengan populasi terendah kedua setelah Bahrain, Qatar membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk dapat melakukan pembangunan. Mengutip Human Rights Watch, jumlah tenaga kerja asing di Qatar mencapai lebih dari 2 juta orang. Sembilan puluh lima persen diantaranya merupakan total angkatan kerja di Qatar.
Artinya, ketergantungan pembangunan di Qatar terhadap tenaga kerja asing cukup besar. Dalam sebuah artikel, BBC mengungkapkan bahwa Qatar adalah “negara yang dibangun oleh para imigran”. Dari total 2 juta orang tersebut, setidaknya terdapat 1 juta pekerja asing yang ditugaskan khusus di bagian konstruksi, khususnya dalam rangka pembangunan stadion dan persiapan Piala Dunia 2022. Sedangkan 100,000 lainnya berprofesi menjadi pekerja rumah tangga.
Sadar akan ketergantungan tersebut, Qatar mengoptimalkan kebijakan Kafala yang telah berjalan sejak tahun 1950-an. Secara definitif, Sistem Kafala dapat juga diartikan sebagai sistem sponsor. Artinya, negara dalam hal ini mengizinkan individu atau perusahaan lokal menjadi “sponsor” untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.
Dalam hal ini, pihak sponsor akan menanggung biaya logistik dan akomodasi yang meliputi tempat tinggal atau asrama. Tidak jarang juga pihak individu (sponsor) menggunakan agen perekrutan swasta di negara asalnya untuk mencari pekerja dan memfasilitasi individu tersebut untuk masuk ke negara tertentu.
Sistem Kafala bertujuan untuk menyediakan tenaga kerja sementara dan bergilir yang secara cepat dapat diimplementasikan dalam sebuah negara. Hadirnya para pekerja dapat membantu akselerasi pembangunan terutama di negara-negara yang sedang mengalami ledakan ekonomi dan dapat dimanfaatkan untuk keluar dari situasi krisis.
Sikap yang saya sebut licik di sini adalah tentang status yang dimiliki para pekerja asing terkait dengan imigrasi. Pada Sistem Kafala, para pekerja memiliki ikatan hukum dengan majikannya (sponsor atau kafeel).
Dengan demikian, pekerja migran tidak dapat: memasuki negara tertentu, mengganti pekerjaan, berhenti dari sebuah pekerjaan, dan meninggalkan negara dengan alasan apa pun tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin tertulis dari Kafeel.
Pada kenyataannya, sering sekali Kafeel melakukan kontrol berlebihan sehingga merugikan pekerja migran. Kejamnya lagi, para Kafeel umumnya menyita paspor dan dokumen perjalanan para pekerja migran meskipun praktik ini tergolong ilegal di beberapa negara.
Yap, walaupun Sistem Kafala ini digunakan oleh seluruh negara anggota GCC, ada perbedaan yang signifikan kok terkait dengan aturan-aturan tertentu di dalamnya. Di Qatar misalnya, pekerja migran diperbolehkan untuk mengganti atau berhenti dari pekerjaannya untuk beberapa kasus tertentu.
Selain itu, pekerja migran juga dapat meninggalkan Qatar tanpa perlu ada persetujuan pihak sponsor. Nah masalahnya, upah yang diberikan kepada pekerja migran di hampir seluruh anggota GCC (kecuali Arab Saudi) dinilai sangat rendah. Hal inilah yang kemudian menjadi sorotan dunia terhadap persiapan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Sejak diresmikan sebagai tuan rumah pada 2010, laporan mengenai kasus kematian para migran meningkat drastis. Amnesti Internasional melaporkan bahwa Qatar tidak dapat memberikan penjelasan mengenai kematian ribuan pekerja migran dalam satu dekade terakhir.
Senada dengan kabar tersebut, The Guardian memaparkan bahwa terdapat lebih dari 6,750 kasus kematian pekerja migran yang terdiri dari warga negara India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka. Selain karena perampasan hak, underpaid, dan 24 jam kerja, cuaca ekstrem berupa peningkatan suhu pada 2019 silam diduga menjadi salah satu pemicunya.
Pemerintah Qatar pun angkat suara soal kasus kematian tersebut, pihaknya mengatakan bahwa tingkat mortalitas para pekerja telah diprediksi dan masih dalam taraf yang wajar. Selain itu, pemerintah juga mengambil langkah melalui kebijakan pada 2021 silam, yaitu tentang perpanjangan periode presiden dan penundaan pemilu larangan bekerja di musim panas. Akan tetapi, ahli epidemiologi melalui laporan Amnesti Internasional meragukan data tersebut akibat rendahnya kualitas data yang tersedia.
Setelah mendapatkan banyak perhatian dari dunia internasional, pemerintah Qatar mulai dari tahun 2020 melakukan banyak reformasi terkait dengan Sistem Kafala. Mulai dari penghapusan kebijakan mengenai izin dari majikan untuk keluar dan mengganti pekerjaan, menetapkan upah minimum di tahun 2021, dan memberikan denda kepada pihak sponsor (kafeel) yang menunggak pembayaran upah.
Tarik ulur kebijakan merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh sebuah pemimpin negara untuk mengambil langkah-langkah tertentu. Pada Februari 2021, perwakilan Majelis Syura di Qatar memberikan rekomendasi untuk menetapkan pembatasan izin berhenti dari pekerjaan dan pergi meninggalkan Qatar. Hal ini merupakan buntut dari meningkatnya pekerja migran yang meminta untuk berhenti dari pekerjaannya.
Sepanjang itu, apa hubungannya dengan sepak bola?
Tak perlu jadi jenius untuk memahami bahwa imigran-imigran tersebut banyak yang ikut andil dalam pembangunan sarana sepak bola untuk menunjang Piala Dunia. Masalahnya adalah, sepak bola menjunjung hak asasi manusia. Eksploitasi pekerja jelas jadi satu hal yang harusnya dilawan dalam sepak bola. Inilah ironinya, Piala Dunia, harusnya dirayakan sebagai event sepak bola terbesar dan membikin bahagia banyak orang. Tapi, ironisnya, banyak nyawa melayang hanya untuk kebahagiaan ini. Jadi, Piala Dunia 2022 ini, bisa dibilang, Piala Dunia paling berdarah yang pernah ada.
Mungkin Anda bertanya, gimana sih respons FIFA terkait dengan hal ini? Mosok nggak ada sanksi tertentu bagi Qatar? Nah, untuk menjawab sekaligus menutup pembahasan ngalor-ngidul mengenai Sistem Kafala dan persiapan Qatar dalam menyambut Piala Dunia 2022, izinkan saya mengutip beberapa respon tolol Presiden FIFA Gianni Infantino.
Dalam wawancaranya, Infantino mengatakan bahwa pekerja migran mendapatkan martabat dan kebanggaan tersendiri dari hasil jerih payahnya. Oh iya, menjawab masalah kematian 6500 pekerja migran, Infantino merespon bahwa FIFA bukanlah polisi dunia dan nggak punya wewenang apa pun terkait dengan itu.
Terakhir, Blio bilang para migran harusnya berterima kasih kepada FIFA dan kepada sepak bola karena dengan itu 1,5 juta orang mendapatkan lapangan pekerjaan dan bisa bekerja di Qatar. Jawaban itu keterlaluan? Memang. Tapi, hey, money is a great servant bud a bad master, right?
Akhir kata, tulisan ini memang bertujuan untuk merusak imajinasi Anda mengenai kemewahan tentang Qatar dan membuktikan bahwa perhelatan Piala Dunia 2022 adalah sejarah kelam bagi dunia sepak bola.
Penulis: Marshel Leonard Nanlohy
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nongkrong di Starbucks Itu Murah, Asal Tahu Strateginya