Ketika pasangan memutuskan untuk menikah, persiapan-persiapan seperti undangan, rias pengantin, suvenir, katering, dekorasi, dll. harus disiapkan secara matang dan terkonsep. Dalam adat pernikahan Jawa, adanya pengiring pengantin atau domas dan pendamping pengantin atau pengapit manten tidak boleh terlewatkan begitu saja. Untuk pengapit manten sendiri biasanya terdiri dari 2 anak gadis kecil dengan rentang usia 5-10 tahun yang duduk di samping pengantin pria dan wanita. Mereka didandani dengan pakaian yang seragam dengan pengantin sambil memegang kipas. Kipas tersebut digunakan sebagai aksesori dan juga berfungsi untuk mengipasi pengantin.
Dalam memilih pengapit manten, calon pengantin—terutama perempuan—akan menunjuk sendiri saat acara resepsi nanti. Biasanya dicari dulu dari kerabat, sanak saudara, atau tetangga apakah ada yang mau menjadi pengapit manten atau tidak. Sebenarnya tidak ada syarat khusus untuk menjadi pendamping pengantin ini. Yang paling penting si anak mau didandani dan tidak cengeng karena saat resepsi nanti, ia akan tampil full makeup lebih dari 3 jam dan harus standby menemani pengantin hingga acara selesai.
Dulu, saya pernah menjadi pendamping pengantin satu kali saat saudara ibu saya menikah. Tepatnya saat saya kelas 3 SD. Awalnya saya menolak lantaran saya termasuk anak yang tidak suka didandani dengan makeup yang tebal. Rasanya risih dan gatal. Saya dipaksa oleh saudara ibu saya tersebut dan diiming-imingi akan dapat hadiah. Selain itu, saudara yang lain juga mengatakan kalau seorang anak pernah menjadi pengapit manten berarti anak tersebut sudah mendapat predikat cantik. Gara-gara dipaksa banyak orang, akhirnya saya mau, walaupun dengan muka cemberut. Hehehe.
Di sisi lain, ternyata ada teman sekolah saya yang hampir tiap kali ada yang menikah di kampungnya pasti dia yang menjadi pengapit manten. Seperti sudah menjadi langganan saja. Ketika saya tanya, “Kok kamu mau, sih, jadi pengapit manten terus? Nggak capek memangnya?” Jawabannya sangat polos dan sedikit membagongkan. “Iya, nih. Kata ibuku, aku anak tercantik di kampung. Makanya aku mau jadi pengapit manten.” Halah!
Perbincangan antara kalangan orang tua dulu tentang anak siapa yang pernah menjadi pengapit manten menjadi sebuah topik yang asyik untuk dibahas. Bagi siapa yang anaknya pernah menjadi pengapit manten, berarti dipastikan bahwa anaknya termasuk anak yang cantik dan juga pemberani. Apalagi kalau anaknya sudah berkali-kali kebagian tugas seperti itu. Fix, orang tuanya pasti akan bangga dan menganggap anaknya adalah anak yang paling cantik di antara anak yang lain.
Obrolan-obrolan setelah dewasa tentang siapa yang pernah menjadi pengapit manten juga menjadi bahan yang menarik untuk diperbincangkan. Siapa yang pernah mendampingi pengantin, berarti termasuk anak terpilih karena memiliki paras yang rupawan. Dan siapa yang belum pernah, siap-siap dianggap menjadi anak yang kurang beruntung karena dianggap punya wajah yang tak menawan. Walaupun konteksnya bercanda, ada suatu anggapan di masyarakat umum kalau pernah menjadi pengapit manten berarti termasuk anak yang cantik, begitupun sebaliknya.
Padahal dalam kenyataannya, mendampingi pengantin itu tidak semudah yang dibayangkan. Capek duduk, lalu berdiri di atas singgasana pengantin selama berjam-jam dengan riasan yang tebal serta rambut yang disanggul membuat gerah dan gatal. Yang tadinya leluasa bergerak ke sana kemari, terpaksa harus berperilaku manis dan selalu menebar senyum saat ada tamu datang hendak bersalaman. Ditambah lagi dengan sesi pemotretan yang tak kunjung selesai. Bikin badan pegal-pegal karena kelelahan.
Anggapan tentang pengapit manten yang identik dengan anak perempuan cantik memang tidak bisa dihilangkan begitu saja dalam masyarakat. Makna sebenarnya tentang dipilihnya anak kecil untuk mendampingi pengantin karena dianggap masih suci dari dosa sehingga saat mendoakan pengantin doanya akan dikabulkan menjadi hal yang perlu ditekankan daripada hanya menilai anak dari rupanya saja.
Walaupun tidak pernah menjadi pengapit manten sewaktu kecil, bukan berarti seorang perempuan gagal menjadi cantik, dong. Tiap perempuan itu pasti cantik. Asal bisa menjaga kodratnya dan selalu menghindari perilaku-perilaku yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
BACA JUGA Nasihat Pernikahan: Istri Memang Orang Lain bagi Suaminya dan tulisan Istiqomah lainnya.